Pertemuan Hambalang, Simbol Rekonsiliasi dan Persatuan?

No Name

No Name

Diperbarui 18 September 2023 21:43 WIB
Oleh: Andre Vincent Wenas/Direktur Eksekutif, Lembaga Kajian Strategis Perspektif (LKSP), Jakarta BARUSAN Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) diundang ke Hambalang, kita mengartikannya Partai Demokrat masuk ke kubu Prabowo Subianto, untuk apa? Ya untuk mendukungnya dalam pilpres 2024 nanti. Lalu peristiwa ini jadi bahan berita. Tapi tak kalah ramainya adalah pemberitaan soal hadirnya Grace Natalie (Wakil Ketua Dewan Pembina PSI) di perhelatan itu. Katanya alasannya demi menghormati SBY yang mau datang ke Hambalang, beliau kan mantan Presiden RI. Padahal PSI sudah berkali-kali menyatakan belum menentukan arah dukungannya, apakah ke Prabowo ataukah ke Ganjar. Ojo kesusu atraksi politik belum usai, begitu pesan Jokowi kepada PSI saat audiensi di Istana Negara beberapa waktu lalu. Tapi de-facto sampai saat ini memang pihak Prabowo Subiantolah yang rajin merangkul dan menjalin komunikasi politik. Gestur politiknya yang mau membuka diri dan “rendah hati” sehingga sampai seorang SBY pun merasa “lebih nyaman” untuk bergabung kesana. Gestur politik ini penting, political-behavior adalah political-message. Kalau dulu Marshal McLuhan bilang, “the medium is the message” maka Prabowo seolah berkata “the behavior is the message”, kalimat lengkapnya jadi “the political-behavior is the political-message”. Walau belum terbilang dalam parlemen (DPR), PSI toh diundang dan diberi “penghormatan” untuk duduk melingkar dalam perbincangan bersama SBY dan AHY (Partai Demokrat), Airlangga Hartarto (Partai Golkar), Zulfikli Hasan (PAN), Anis Matta (Partai Gelora) dan tokoh lainnya. Ditambah dengan kehadiran Wiranto (mantan Panglima ABRI yang dulu mencopot Prabowo sebagai Pangkostrad) memberi nuansa rekonsiliasi politik di lingkaran elit. Ini suatu semiotika-politik yang bebas penafsiran. Fungsi cakrawalanya berwarna-warni. Tergantung luasnya horison pemikiran dari siapa pun yang menginterpretasikan fenomena “pertemuan Hambalang” ini. Sementara itu, sinkronisasi data yang dilakukan KPU per 11 Februari 2023 mencatat jumlah pemilih mula dan muda mencapai 117 juta pemilih atau setara dengan 57% dari total pemilih. Katanya pemilih muda ini tidak suka diatur-atur walau suka akan keteraturan (harmonisasi) dalam banyak aspek kehidupan. Keselarasan dengan alam dan kebersihan (isu lingkungan), kesempatan kerja dan berkreasi (isu ekonomi). Sampai ke soal jaminan kesehatan dan isu korupsi yang de-facto telah menggagalkan pemerataan akses informasi (korupsi BTS), dan konspirasi pembalakan anggaran oleh oknum parpol maupun pejabat, semua jadi perhatian anak muda. Partai politik mesti membenahi posturnya sendiri. Ke 57% pemilih muda ini sangat menentukan dalam Pemilu 2024. Merekalah “bonus demografi” yang bakal menentukan masa depan Indonesia. Kita butuh kerja sama, persatuan dan kekompakan, agar bonus demografi ini tak jadi prahara. Tantangan bukan cuma dari dalam negeri, tentakel kekuatan asing pun ikut cawe-cawe. Disclaimer: Monitorindonesia.com tidak bertanggung-jawab atas kiriman artikel langsung dari pembaca dalam rubrikasi forum atau opini.