Jurnalistik Mau Dibungkam, Pakar dan Masyarakat Diam?

Dr. KRMT Roy Suryo - Pemerhati Telematika, Multimedia, AI & OCB Independen - Mantan Anggota Komisi-1 2009-2019 dan Badan Legislasi DPR-RI 2016-2017

Dr. KRMT Roy Suryo - Pemerhati Telematika, Multimedia, AI & OCB Independen - Mantan Anggota Komisi-1 2009-2019 dan Badan Legislasi DPR-RI 2016-2017

Diperbarui 15 Mei 2024 11:09 WIB
Ilustrasi Pers/Jurnalist/Wartawan (Foto: Ist)
Ilustrasi Pers/Jurnalist/Wartawan (Foto: Ist)

TULISAN ini akan lebih komprehensif bilamana dibaca sesudah menyimak apa yang saya tulis kemarin: "ADA APA (APANYA) DRAFT UU PENYIARAN ?' karena prolog permasalahan dan background referensinya sudah ditulis disana, agar tidak mengulang kembali untuk dituliskan disini.

Intinya, insan pers saat ini sedang harap-harap cemas (H2C), bukan H2SO4 alias asam sulfat (Samsul) karena Komisi I DPR dan Badan Legislasi (Baleg) DPR RI sedang merumuskan RUU Penyiaran sebagai revisi dari UU Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002, namun didalamnya "menabrak' UU Pers Nomor 40 Tahun 1999.

Kondisi hari-hari ini saya rasakan juga mirip suasana awal-awal tahun 2024 kemarin, saat saya sempat merasa "sendirian" mengkritisi KPU, khususnya Sistem Informasi Rekapitulasi Pemilu (Sirekap) yang acak adit semenjak awal.

Bahkan kacau balau di akhir perjalanannya, karena terbukti banyak sekali kebobrokan sistem. Mulai dari program stagging/beta-version yang dipakai, cloud-server disembunyikan di luar negeri, tepatnya aliyun computing (Alibaba.com Singapore).

Ditemukannya JASON-script untuk penyelundupan algoritma tertentu, peniadaan filter di OCR/OMR-nya, penggelembungan paslon dan partai tertentu, hingga penghentian tidak jelas alias tanpa ada tanggung jawab sama sekali sistem yang bernilai miliaran tersebut.

Kenapa sendirian? Karena pakar-pakar  IT republik ini yang biasanya mau tampil dan berbicara lantang mengkritisi kalau ada ketidakberesan teknologi, tampak "diam seribu bahasa" bahkan terkesan "bersembunyi" di balik tindakan yang diindikasikan terjadi kecurangan bahkan kejahatan teknologi tersebut.

Nama-nama seperti OWP, RZA, BSD dan sebagainya 'bak menyublin' alias lenyap ditelan bumi, segendang-sepenarian dengan kampus ternama di Bandung, tempat Bung Karno dulu menimba ilmu, semasa bernama Technische Hoogeschool te Bandoeng (THS) karena memang terlibat dengan adanya MoU dengan KPU untuk pembuatan Sirekap.

Alhamdulillah dengan perjuangan gigih melalui berbagai platforn dan didukung media-media yang masih punya etika dan hati nurani, bukan yang hanya prorezim yang menunggu "cair" dan tampak "tutup mata" dengan segala bentuk penyelewengan teknologi kemarin.

Akhirnya satu demi satu pakar-pakar IT Independen mulai berani juga bersuara jujur demi kebenaran, seperti Dr Leony Lidya, Hairul Anas Suaidi Mahmud, Agus Maksum, Abi Akhmad Syarbini, Akhyar, Jay Sofyan, Yasmin Shahab, Soegianto, Benhard Mavis Anggiat, Yudi Prayudi dan beberapa nama lain yang akhirnya terus berjuang dalam Aliansi Penegak Demokrasi Indonesia (APDI).

APDI sampai dengan saat ini juga terus bergerak untuk menyampaikan kebenaran dan bersuara lantang, karena sampai kapanpun seorang akademisi dan peneliti sejati akan terus mengkritisi bilamana ada hal-hal yang memang tidak benar.

Prinsip yang dipakai masih tetap sama dan berlaku universal, yakni ahli bisa saja ada kesalahan, mungkin akibat alat ukur atau teori yang dipakai sudah tergantikan oleh inovasi yang lain.

Namun demikian, ahli tetap harus berkata jujur apa adanya, tidak boleh bohong apalagi melindungi ketidakbenaran dengan menggunakan teknologi. 

Prinsip tegas ini InsyaaAllah menjadi pegangan yang tetap terus dijaga sebagaimana sudah dilakukannya sejauh ini, meski dengan resiko yang pasti terjadi dan harus terus dihadapi.

Bentuk nyata dari perjuangan sejati para pakar independen dalam APDI tersebut adalah dengan segera menggelar rangkaian "Road Show NoBar Film DIRTY ELECTION" dan Diskusi "Membongkar Aktor Intelektual Kejahatan Pilpres 2024" bersama Forum Alumni Pendidikan Tinggi Indonesia Perubahan dan TPDI diberbagai Kampus/Kota. 

Dimulai dari Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya dan daerah-daerah lain yang sedang direncanakan. Kegiatan pertama akan diselenggarakan bertepatan dengan Hari Kebangkitan Nasional pada Senin (20/5/2024) pukul 13.00 WIB, di HEYOO Coffee Jl. Pierre Tendean 41, Jakarta Selatan.

Sebenarnya apa yang dilakukan oleh para pakar independen ini secara prinsip mirip dengan yang sudah sering juga dilakukan oleh para jurnalis kita dengan membuat berbagai tayangan liputan investigatif.

Tayangan-tayangan cerdas dan mengedukasi masyarakat tersebut dibuat tidak dengan asal kejar tayang namun melalui proses riset dan analisis ilmiah sebelumnya, karena tidak jarang pembuatannya juga melibatkan para pakar dibidangnya sehingga saling sinergi.

Judul-judul acara tayangan investigatif yang tayang di TV nasional kemarin sudah saya tulis seperti SiGi, Realitas, Telusur, Berkas dan sebagainya dan ada juga yang menggunakan nama Anchor/Host-nya (Aiman, AFD, Rosi, Ni Luh, Rully dan sebagainya).

Semuanya merupakan karya jurnalistik investigatif menarik yang layak diapresiasi, bahkan menjadi judul film yang bisa ditonton melalui YouTube seperti Sexy Killer, Dirty Vote dan sebagainya.

Masalahnya dalam RUU Penyiaran yang sedang dibahas sekarang mendadak dimunculkan ide kontroversial untuk membatasi bahkan bisa disebut melarang jenis jurnalistik investigatif di atas. 

Padahal kalau pembuatan RUU adalah untuk antisipasi terhadap munculnya teknologi baru yang belum diatur oleh UU sebelumnya, itu wajar dan justru harus dilakukan, misalnya tentang penyiaran digital.

Khususnya layanan Over The Top (OTT), User Generated Content (UGC), bahkan Artificial Intelligence (AI) yang kini mulai marak. Namun kalau dibuat justru untuk menghambat kehidupan media yang sudah berjalan benar sebagai "The fourth pillar of democrazy" bersanding dengan kekuatan eksekutif, legislatif dan yudikatif, hal tersebut menjadi salah dan patut dipertanyakan, ada apa dibaliknya? 

Kalaupun revisi harus dilakukan karena adanya perubahan bentuk atau lembaga penyiaran, misalnya penggabungan Lembaga Penyiaran Publik (LPP) RRI dan TVRI menjadi RTRI dalam Pasal 15A (1) hal tersebutpun masih bisa dimaklumi.

Namun terkait dengan jurnalistik investigasi, mendadak RUU ini memuat Pasal 50 B ayat 2 huruf (c) yg melarang media menayangkan siaran ekslusif jurnalistik investigasi?

Tak hanya itu, RUU ini juga disisipkan Pasal 42 ayat 2 yang mengatur soal penyelesaian sengketa pers di Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Hal ini jelas tumpang tindih dengan UU Pers Nomor 40 Tahun 1999 yang menyebut bahwa sengketa pers seharusnya diselesaikan oleh Dewan Pers.

Secara lebih detail saya tuliskan disini Pasal 2 RUU Penyiaran, berdasar bukti versi tanggal 27 Maret 2024 yang Kontroversial tersebut:

1. Pasal 42 ayat 2, tumpang tindih dengan UU Pers Nomor 40 Tahun 1999 karena di RUU ini berbunyi "Penyelesaian sengketa terkait dengan kegiatan jurnalistik Penyiaran dilakukan oleh KPI sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan."

2. Pasal 50 B ayat 2 huruf (c), melarang adanya penyiaran eksklusif jurnalistik investigasi, yang berbunyi "Selain memuat panduan kelayakan Isi Siaran dan Konten Siaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), SIS memuat larangan mengenai:dst (c.) Penayangan eksklusif jurnalistik investigasi".

3. Pasal 50 B ayat 2 huruf (k), larangan konten siaran yang mengandung penghinaan dan pencemaran nama baik, padahal sudah ada di UU ITE "Penayangan Isi Siaran dan Konten Siaran yg mengandung berita bohong, fitnah, penghinaan, pencemaran nama baik, penodaan agama, kekerasan, dan radikalisme-terorisme".

4. Pasal 51 huruf (e), Penyelesaian sengketa jurnalistik dilakukan di Pengadilan, tumpang tindih lagi dengan UU Pers Nomor 40 Tahun 1999 "Sengketa yg timbul akibat dikeluarkannya keputusan KPI dapat diselesaikan melalui pengadilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan".

Kesimpulannya. Inilah RUU yang jelas dalam konsiderannya tidak melihat bahwa sudah ada UU lain yang mengatur hal tersebut sebelumnya, dalam hal ini UU Pers Nomor 40 Tahun 1999 dan UU ITE Nomor  Tahun 2024, Revisi dari UU Nomor 8 Tahun 2008 dan Nomor 19 Tahun 2016, maka dalam proses harmonisasi di BaLeg seharusnya ditolak atau dihilangkan.

Namun saya sekali lagi juga prihatin, kemana pakar-pakar komunikasi sekarang ini?

Mengapa mereka mirip-mirip pakar IT yang "bungkam seribu bahasa" ketika ada Sirekap? Jangan sampai masyarakat suudzon dengan melihat kondisi bisunya mereka dan menduga-nduga ada hal yang negatif.

Bangsa ini lagi jeblok indeks demokrasinya sampai ke titik nadir, kalau media juga sudah dibungkam untuk tidak lagi bisa menayangkan jurnalisme investigasi, mau dibawa kemana Indonesia (C) emas 2045?