Jangan Terlalu Negatif terhadap Militer Aktif Duduki Jabatan Sipil

Selamat Ginting - Pengamat Militer Universitas Nasional (Unas)

Selamat Ginting - Pengamat Militer Universitas Nasional (Unas)

Diperbarui 4 Juni 2024 15:04 WIB
Selamat Ginting, Pengamat Militer Universitas Nasional (Unas) (Foto: Istimewa)
Selamat Ginting, Pengamat Militer Universitas Nasional (Unas) (Foto: Istimewa)

PUBLIK jangan terlalu reaktif negatif dalam penempatan militer aktif di jabatan sipil. Justru publik harus melihatnya sebagai antisipatif positif menghadapi tantangan masalah pertahanan keamanan negara (hankamneg) ke depan.

Publik jangan apriori terlebih dahulu, apalagi menuding TNI ingin kembali menghidupkan Dwifungsi ABRI atau memiliki fungsi pertahanan keamanan dan fungsi sosial politik.

Berdiri setelah UU TNI
Menurutnya, saat UU No.34 Tahun 2004 tentang TNI disahkan, pada saat itu belum ada lembaga setingkat kementerian atau badan yang membutuhkan personel aktif TNI.

Misalnya, BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) disahkan pada 2007. Kemudian BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) pada 2012. Begitu juga dengan Bakamla (Badan Keamanan Laut) pada 2014. Setelah itu ada pula BSSN (Badan Sumber Sandi Negara) pada 2017. 

Termasuk Basarnas (Badan SAR Nasional) pada 2017. Begitu juga dengan BNPP (Badan Nasional Pengelolaan Perbatasan) di bawah Kementerian Dalam Negeri pada 2008.

Lembaga setingkat kementerian dan badan-badan nasional itu memerlukan personel aktif militer untuk penugasan-penugasan spesifik yang memerlukan keahlian khusus bidang hankamneg.

Contoh, BNPB. TNI memiliki personel paling siap dalam menghadapi bencana alam, karena TNI memiliki satuan tugas reaksi cepat bencana alam untuk Indonesia Barat dan Indonesia Timur yang siap diberangkatkan satu jam setengah terjadinya bencana alam. Termasuk alat-alat berat Zeni untuk dikerahkan ke lokasi bencana alam.

Masyarakat justru seharusnya berterima kasih kepada TNI sebagai institusi pertama yang selalu berada paling awal dan paling sigap dalam penanggulangan bencana alam.

Butuhkan TNI-Polri
Hal yang sama juga berlaku untuk BNPT. Sebab, TNI dan Polri memiliki sumberdaya manusia yang dilatih untuk menanggulangi terorisme. 

Polri mesti dibantu TNI dalam penanggulangan terorisme, karena TNI tiga matra memiliki satuan penanggulangan terorisme (Gultor).

Apakah masyarakat menolak kehadiran TNI dan Polri dalam gultor? Jika menolak yang diuntungkan justru kelompok radikal yang berujung menjadi kelompok terorisme.

Hal lainnya, seperti Bakamla. Institusi ini sejak awal banyak diawaki personel TNI Angkatan Laut dibantu Kepolisian Air. Sehingga negara membutuhkan kehadiran personel militer aktif dan polisi aktif di Bakamla.

Itu contoh-contohnya dan tidak perlu dituding akan hidupkan Dwifungsi ABRI. Profesional saja sesuai keahlian dan kebetulan pegawai negeri sipil tidak memiliki kecakapan memadai untuk menjaga keamanan laut kita.

Dalam BSSN juga begitu. Personel TNI sesungguhnya sudah ada sejak embrio lembaga ini berdiri. Tentu saja personel TNI dan Polri yang memiliki keahlian dalam bidang sandi, intelijen, dan siber. Tidak mungkin BSSN tidak dibantu personel TNI dan Polri.

Jadi masyarakat jangan apriori dengan adanya personel aktif TNI dan Polri di lembaga-lembaga yang memang membutuhkan kehadiran mereka.

Yang mesti dipikirkan baik buruknya, pengaturan apakah mesti pensiun diri dari dinas TNI maupun Polri bagi mereka yang menduduki jabatan sipil.

Politik Negara
Mengenai kekhawatiran hadirnya kembali Dwifungsi ABRI, menurut Ginting, mesti dilihat secara jernih untuk kepentingan bangsa dan negara yang lebih besar. Fungsi hankamneg memang jadi tugas TNI dan Polri. Sedangkan fungsi sosial politik, memang mesti dikritisi dan dievakuasi jika ada yang menyimpang.

Siapa bilang TNI dan Polri tidak boleh berpolitik? TNI dan Polri tetap harus berpolitik. Namun bukan politik praktis melainkan politik negara. Sebagai aparatur negara, politik mereka adalah politik negara.

Lagi pula, kata dia, kondisi di era Orde Reformasi saat ini tidak memungkinkan TNI dan Polri bertindak sebagaimana era Orde Baru dan Orde Lama (Demokrasi Terpimpin).

Ada parlemen, media massa, lembaga swadaya masyarakat, akademisi kampus, dan masyarakat sipil yang akan mengawasi jika TNI dan Polri keluar jalur. Jadi tidak mungkin TNI dan Polri akan kembali seperti saat berlakunya Dwifungsi ABRI.