Soroti Kasus Kekerasan Geng di Binus International School, FSGI Dorong Penerapan Permendikbudristek Nomor 46/2023 Tentang PPKSP

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 20 Februari 2024 18:27 WIB
Ketua Dewan Pakar FSGI, Retno Listyarti (Foto: MI/Aswan)
Ketua Dewan Pakar FSGI, Retno Listyarti (Foto: MI/Aswan)

Jakarta, MI - Seorang siswa SMA internasional di Serpong, Tangerang Selatan, diduga jadi korban bullying, atau perundungan oleh geng sekolah hingga harus dirawat di rumah sakit. 

Pihak sekolah membenarkan kasus tersebut yang diduga melibatkan anak seorang public figure. Peristiwa itu disebut terjadi di warung di belakang sekolah. 

Korban disebut merupakan calon anggota geng. Kekerasan fisik kemudian diduga terjadi. Saat itu, korban disebut diikat di tiang hingga dipukuli menggunakan balok kayu dan diduga juga disundut rokok. 

Menanggapi hal ini, Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) menyampaikan keprihatinan atas kasus dugaan perundungan atau kekerasan fisik, yaitu memukul korban dengan kayu bahkan disundut rokok. 

Korban satu orang dan pelaku beberapa orang. Kekerasan tersebut di videokan dan ternyata ada yang mengunggah di sosial media sehingga viral. 

Dalam video yang beredar tersebut, kekerasan yang dilakukan berpotensi kuat membahayakan keselamatan korban.

"Kekerasan tersebut dalam Permendikbudristek No. 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di satuan Pendidikan dapat dikategorikan sebagai kekerasan fisik berupa penganiayaan," kata Ketua Dewan Pakar FSGI, Retno Listyarti kepada Monitorindonesia.com, Selasa (20/2).

Menurut keterangan yang beredar di media, korban adalah calon anggota geng sekolah yang sedang menjalani perploncoan oleh anggota geng yang lain, sehingga korban tidak mungkin melawan kalaupun tidak diikat sekalipun. 

Retno menjelaskan bahwa kekerasan fisik berupa penganiayaan berbeda dengan pembullyan, karena bully setidaknya memenuhi 4 indikator, yaitu dilakukan dengan agresif, ada relasi kuasa (dalam hal ini kakak senior terhadap adik junior), berulang (kalau memukulinya sudah sadis, maka itu biasanya bukan kejadian pertama) dan korban merasa tidak nyaman, terluka atau tersakiti.

FSGI, kata Retno, menyayangkan pernyataan sekolah yang terkesan cari aman dan lepas tangan dg alasan peristiwa ini terjadi di luar sekolah, padahal lokasi kejadian di sebuah warung tomngkrongan yang letaknya di belakang sekolah, dan yang terlibat seluruhnya peserta didik dari sekolah . 

"Padahal anak korban maupun pelaku diduga kuat semuanya bersekolah ditempat yg sama, yaitu Binus International School," jelasnya.

Permendikbudristek Nomor 46/2023 Tentang PPKSP Belum Diimplementasikan?

FSGI menduga kuat bahwa Sekolah ini kemungkinan belum mengimplementasikan Permendikbudristek 46 tahun 2023 tentang pencegahan dan penanganan kekerasan di satuan pendidikan (PPKSP). 

Karena menurut Permendikbudristek 46 cakupan kekerasan yang dapat ditangani oleh Tim PPK Sekolah diantaranya terjadi di luar sekolah tapi peserta didik yang terlibat merupakan siswa sekolah tersebut.  

Apalagi ini adalah geng sekolah yang melibatkan peserta didik di Binus International School. 

"Seharusnya sekolah dapat mengindetifikasi munculnya geng ini dan mencegah geng ini berkembang dengan merekrut adik adik kelas melalui cara kekerasan," tegas Retno.

Untuk itu, FSGI mendesak Kemendikbudristek untuk segera turun tangan menangani kasus kekerasan peserta didik di Binus International School yang diduga kuat merupakan satuan Pendidikan SPK (Sekolah Perjanjian Kerjasama) yang izinnya dari Kemendikbudristek. 

"Oleh karena itu, FSGI mendorong Kemendikbudristek menegakan aturan sesuai ketentuan dalam Permendikbudristek 46/2023 tentang PPSK," lanjut Retno.

Selain itu, FSGI mendorong kepolisian mengusut tuntas kasus ini sesuai peraturan perundangan yang berlaku. 

"Jika korban dan pelaku masih usia anak (18 tahun ke bawah) maka dalam penanganannya, kepolisian harus menggunakan UU 35/2014 tentang Perlindungan Anak dan UU 11/2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak ( SPPA)," bebernya.

Selanjutnya, FSGI mendorong anak korban mendapatkan pemulihan psikologi, harus dipenuhi pemerintah daerah sebagaimana diatur dalam ketentuan perundangan terkait hak anak.

Lebih lanjut, Retno mengungkapkan, bahwa geng sekolah saaat ini sudah menjamur di berbagai sekolah, oleh karena itu FSGI mendorong Dinas-dinas Pendidikan di berbagai daerah bersama Kemendikbudristek untuk memikirkan cara dan terapi yang tepat untuk mencegah dan membubarkan geng-geng sekolah yang berpotensi melakukan berbagai kekerasan. 

"Berbagai bentuk akan berdampak buruk pada tumbuhkembang anak," ucap Retno.

Sementara itu, Sekretaris Jenderal (Sekjen) FSGI, Heru Purnomo menyatakan bahwa pihaknya juga mendorong anak-anak pelaku dirahasiakan identitasnya sebagaimana ketentuan dalam UU 11/2012 tentang SPPA, baik oleh pihak kepolisian maupun media massa. 

"FSGI juga mendorong Masyarakat untuk menghentikan share video ke media social, jika kita menerima, cukup berhenti di kita dan jangan disebar lagi."

"Karena ketika dishare lagi, berpotensi ada peniruan peserta didik lain di Indonesia, menimbulkan trauma, dan jejak digital akan berdampak buruk baik pada anak korban maupun anak-anak pelaku," imbuh Heru. (wan)