Sabam Sirait, "The Last Declarator" itu Berpulang...

Aldiano Rifki
Aldiano Rifki
Diperbarui 30 September 2021 10:29 WIB
KETIKA Presiden Soeharto melontarkan gagasan fusi partai politik, Sabam Sirait dan sejumlah pengurus inti Parkindo ditugaskan untuk mengawal proses fusi tersebut. Sebagaimana diketahui, bahkan sebelum Pemilu 1971, rezim Orde Baru langsung mendesak partai-partai politik yang sudah dalam kelompok itu untuk melakukan fusi. Proses ke arah fusi merupakan inisiatif presiden yang diwujudkan dalam bentuk rangkaian konsultasi antara Presiden Soeharto dengan tokoh-tokoh parpol. Konsultasi pertama dilakukan secara kolektif dengan tokoh-tokoh dari 9 parpol (calon peserta Pemilu 1971, minus Golkar) pada 7 Januari 1970. Dalam kesempatan itu, Presiden Soeharto melontarkan gagasan pengelompokan parpol ke dalam dua kelompok, masing-masing menekankan pada aspek materiil dan spirituil. Dengan begitu, akan terbentuk dua kelompok, materiil-spirituil dan spirituil-materiil. Dalam pertemuan ini juga terungkap bahwa ide tersebut berkaitan dengan keinginan Presiden Soeharto untuk menciptakan stabilitas yang disebutkan sebagai “tanggung-jawab bersama”, terutama untuk meredam konflik menjelang pemilu 1971. Pertemuan lebih khusus dengan lima partai politik PNI, Parkindo, Partai Katolik, IPKI, Murba yang dianggap sebagai wakil dari “kelompok materiil-spirituil dilakukan Presiden pada 27 Pebruari 1970 dimana, di samping mengulangi pokok-pokok pikiran pertemuan pertama, juga menegaskan perlunya ada “penyederhanaan cara kerja dan berfikir” dengan mengambil bentuk “up-konfederasi parpol” (idenya adalah tidak ada kepengurusan baru kecuali dalam bentuk “dewan ketua-ketua umum parpol” yang dibantu oleh sebuah “badan pekerja” sebagai brain trust). Dalam perkembangannya, gagasan Presiden Soeharto melahirkan polarisasi dalam parpol. Ada yang mendukung karena dinilai sebagai “tuntutan obyektif” ataupun sebagai “pilihan taktis”, tapi ada yang menolak. Di antara yang menerima bahkan ada yang siap dengan usulan kongkrit. Pertemuan-pertemuan awal lima partai politik dilakukan di kediaman Melanchton Siregar di Jalan Teuku Umar No. 5, juga di rumah Hasjim Ning (tokoh IPKI). Sabam yang mewakili Parkindo, termasuk yang paling aktif dalam tim perumus ataupun kelompok kerja yang merumuskan kesepakatan-kesepakatan antar kelima partai politik. Setelah Pemilu 1971 usai, kembali parpol didesak untuk melakukan fusi. Desakan ini juga disokong oleh MPR hasil Pemilu 1971, yang secara tegas menyatakan bahwa dalam pemilu selanjutnya yakni tahun 1977 hanya akan ada tiga partai peserta. Skenario besar rupanya sudah disusun dan telah mulai dijalankan oleh rezim Orde Baru dengan bergegas. Akibatnya, seakan mendapat serangan dadakan, lawan-lawan politiknya terpaksa menari mengikuti irama gendang yang ditabuh oleh Jenderal Soeharto sebagai pucuk pimpinan rezim Orde Baru. Kelima partai yang tadinya bergabung dalam “Kelompok Demokrasi Pembangunan” didorong untuk segera memfusikan diri. Sabam, yang terlibat langsung dalam proses fusi tersebut, sejak awal merasakan tak gampang menyatukan lima partai dengan ideologi yang berbeda. Bahkan, perbedaan ideologi itu cukup tajam. Persoalan yang paling jelas bisa terlihat ketika proses penyusunan Piagam Perjuangan dan Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga di Konferensi Nasional PDI, tanggal 20-24 September 1973. Dalam proses perumusan piagam perjuangan, misalnya, tokoh-tokoh PNI memperjuangkan agar “sosio demokrasi” dan “sosio nasionalisme” saja yang menjadi asas partai. Di lain pihak, Sabam yang mewakili Parkindo mengusulkan penekanan pada “keadilan sosial”, setelah asas Pancasila. Setelah melalui perdebatan yang liat, disepakatilah Piagam Perjuangan PDI berciri “kebangsaan, kerakyatan, dan keadilan sosial” serta berasas Pancasila dan UUD 1945. Saat itu terjadi pergulatan antar kelima partai itu dalam rangka perjuangan untuk mewarnai “partai baru” yang akan muncul. Pergulatan ke arah ini terkespresikan dalam berbagai bentuk dan mengambil berbagai event selama proses menuju fusi. Pilihan nama yang akan dilabelkan pada “partai baru” merupakan salah satu sentrum pergulatan penting. Setelah melalui fase musyawarah panjang, tiga kemung­kinan nama muncul sebagai bakal nama partai baru. Tapi, akhirnya disepakati nama Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Tercapainya konsensus atas nama Partai Demokrasi Indonesia, karena adanya perkembangan serta keyakinan bahwa partai baru tersebut haruslah mencerminkan suatu bentuk “demokrasi yang Indonesia”. Suatu bentuk ekspresi pemilihan kultural terhadap ide demokrasi dimana demokrasi coba dieja dalam konteks cita-cita kultural negeri sendiri. Meski pergulatan menjelang fusi cukup keras, tapi dengan semangat menemukan “persamaan-persamaan”, berbagai pendapat disisihkan. Para kelima partai politik itu akhirnya bersepakat untuk berfusi dalam satu wadah dengan nama Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Secara resmi keputusan fusi itu dituangkan dalam Deklarasi Pembentukan Partai Demokrasi Indonesia tanggal 10 Januari 1973. Deklarasi itu ditandatangani wakil-wakil dari kelima partai, yaitu Mohamad Isnaeni dan Abdul Madjid (PNI), A.Wenas dan Sabam Sirait (Parkindo), Ben Mang Reng Say dan F.S. Wignjosumarsono (Partai Katolik), S.Murbantoko dan Jon Pakan (Partai Murba), Achmad Sukarmadidjaja dan Mh.Sadri (dari IPKI). Setelah menandatangani deklarasi fusi, pembicaraan dilanjutkan tentang struktur dan proporsi pengurus PDI. Pembahasan tentang kepengurusan PDI itu berlangsung di kantor DPP PNI di Salemba, 10 Januari 1973, berlangsung sangat alot, menemui jalan buntu. Keesokan harinya, 11 Januari, dalam pertemuan di rumah Isnaeni rapat yang digelar dari pagi hingga sore, juga mengalami jalan buntu. Nah, akhirnya disepakati setiap partai memilih satu orang, untuk dalam komisi yang membahas soal ini. "Jadi semuanya lima orang. Saya mewakili Parkindo, dan Pak Soenawar mewakili PNI. Wakil dari partai lain, saya lupa siapa orangnya," tutur Sabam Sirait dalam suatu sesi wawancara beberapa waktu silam. "Nah, lima orang ini masuk ruangan untuk berunding. Tidak boleh keluar kalau belum ada kesepakatan," tambah Sabam Sirait. Setelah berunding hingga tengah malam, akhirnya dicapai kese­pakatan: semua partai berdiri sama tinggi duduk sama rendah. Tapi dengan ketentuan bahwa PNI menduduki ketua umum. PNI lalu menunjuk Isnaeni sebagai ketua umum PDI. Sementara Sabam Sirait sendiri kemudian ditunjuk Parkindo untuk menduduki jabatan Sekjen PDI. Sedangkan bendahara merupakan jatah untuk Partai Katolik. Setelah penandatanganan deklarasi fusi PDI dan pembahasan kepengurusan, yang berlangsung di kantor DPP PNI, di Jalan Salemba, Jakarta Pusat. Sabam pun langsung berjalan kaki ke kantor DPP Parkindo, di Jalan Matraman. Disana telah menunggu para pengurus dan sesepuh Parkindo, termasuk Om Johanes Leimena. Sabam Sirait pun ingat betul ucapan Om Jo dalam sebuah pertemuan di kantor Parkindo itu, “Sabam, kamu sekarang tak hanya mengurus ‘domba-domba politik’, tapi juga mengurusi ‘kerbau’ dan lain-lain. Jadi, pintar-pintarlah mengurusnya.” Ucapan Om Jo itu ada benarnya. Tak lama setelah penan­datanganan deklarasi fusi, Sabam terpilih sebagai Sekretaris Jenderal PDI. Sejak itu, dia terlibat langsung dalam proses jatuh-bangun PDI, yang diwarnai berbagai konflik internal maupun eksternal. Setelah orde baru tumbang pada 1998, PDI pun berubah menjadi PDI Perjuangan yang kini dipimpin oleh putri proklamator RI Soekarno yakni Megawati Soekarnoputri. Sabam Sirait meninggal dunia pada Rabu (29/9/2021) sekitar pukul 22.37 WIB malam. Jenazah almarhum Sabam Sirait disemayamkan di rumah duka, Jalan Depsos, Bintaro, Pesanggrahan, Jakarta Selatan. Sabam meninggal dunia di RS Siloam Lippo Karawaci di usia 85 tahun. Sabam sempat dirawat intensif selama 50 hari terakhir. Sabam akan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata Jakarta. Ayahanda politisi Maruarar Sirait itu saat ini masih menjadi Anggota DPD RI dari daerah pemilihan Provinsi DKI Jakarta. Sabam Sirait memulai karier politiknya ketika saat masih kuliah di Fakultas Hukum UI (1958). Almarhum yang lahir di Tanjungbalai, Sumatera Utara, 13 Oktober 1936. Sabam juga peraih penghargaan Bintang Mahaputra Utama. Semasa hidupnya Sabam menempati jabatan penting di negara ini. Sabam merupakan anggota DPR Gotong Royong (DPR-GR) periode 1967-1973, anggota DPR RI periode 1973-1982, anggota Dewan Pertimbangan Agung Republik Indonesia (DPA-RI) periode 1983-1993, dan anggota DPR RI periode 1992-2009. Jejak politik almarhum dimulai saat menjadi pejabat Sekjen Partai Kristen Indonesia atau Parkindo periode 1963 hingga 1967 serta Sekjen Parkindo periode 1967-1973. Sabam kemudian menjadi salah satu penandatangan deklarasi pembentukan Partai Demokrasi Indonesia atau PDIP pada 10 Januari 1973. Bahkan, Sabam menjadi sekjen pertama partai tersebut. Sabam mengemban jabatan sebagai Sekjen PDI selama tiga periode hingga 1986. Selama hidupnya, Sabam Sirait tak kenal lelah dalam memperjuangkan tegaknya demokrasi di Indonesia. Bahkan, partai penguasa saat ini yakni PDIP merupakan salah satu hasil perjuangan Sabam Sirait. Pak Sabam begitu akrab dipanggil, dikenal dekat dengan wartawan. Pak Sabam pun selalu terbuka memberikan informasi pemting untuk menjadikan demokrasi Indonesia lebih baik. Selamat jalan Pak Sabam, bapak Demokrasi yang kokoh berjuang di 7 masa Presiden RI. Kami keluarga besar Monitorindonesia.com berduka atas kepergian pak Sabam.   Penulis: Hotman Siregar/Imran Hasibuan      

Topik:

TMP Kalibata Sabam Sirait