Inas N Zubir: Hanya Cina yang Mau Bangun Industri Smelter di Indonesia

Syamsul
Syamsul
Diperbarui 19 Desember 2022 10:32 WIB
Jakarta, MI- Politikus Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) Inas Nasrullah Zubir menilai, narasi kebencian yang disebar luaskan oleh relawan Anies bahwa tambang nikel di Indonesia dikuasai oleh Cina adalah fake information yang bukan berdasarkan data dan fakta yang benar. "Berdasarkan data Kementerian ESDM, tidak ada satupun perusahaan Cina yang menguasai tambang nikel di Indonesia karena memang sudah jenuh. Sedangkan pemilik tambang terluas dan terbesar adalah PT. Vale Indonesia (Tbk) yang didirikan pada tahun 1968 dan sebagian besar saham-nya milik Brazil," jelas Inas kepada wartawan, Senin (19/12/2022). Inas kembali mengungkapkan, Gubernur Sulawesi Selatan (Sulsel) Andi Sulaiman menyatakan bahwa, sepanjang sejarah Vale Indonesia berada di Indonesia khususnya di Sulawesi, belum pernah ada masyarakat dari wilayahnya yang menjadi top level management di perusahaan pertambangan nikel tersebut. "Jangankan menjadi management, Perusahaan Daerah (Perusda) wilayah Sulses juga tidak boleh melakukan penjualan Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis solar untk aktifitas pertambangan Vale tersebut. Padahal kontribusi terhadap daerah Sulawesi Selatan juga tidak terlalu besar, yakni dalam setahun hanya Rp. 200 miliar," tandas Inas. Bahkan, Inas menambahkan, Vale samasekali tidak mau membangun smelter, karena Vale menilai bahwa lebih menguntungkan mengeksport nikel Indonesia ke Cina. Oleh karena itu, Jokowi mengundang industri smelter Cina untuk membangun pabrik smelter di Indonesia, yakni PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) dan PT Virtue Dragon Nickel Indonesia (VDNI) pada 2018. Akan tetapi, kata dia, banyak tokoh-tokoh di Indonesia seperti Rizal Ramli dan Faisal Basri yang berteriak lantang bahwa Pemerintah Indonesia bodoh, padahal mereka membela kepentingan Vale yang tidak lagi bisa seenaknya mengeksport nikel mentah atau nikel ore karena harus mengutamakan kebutuhan nikel ore untuk industri smelter di dalam negeri. "Jadi, apakah menghentikan ekspor nikel telah merugikan Indonesia, seperti yang didengung-dengungkan Faisal Basri? Mari kita lihat data nilai ekspor nikel ore atau bijih nikel di tahun 2018 dan sebelumnya, dimana hanya mencapai dibawah USD. 3 miliar atau Rp 46,5 triliun (kurs Rp 15.500)" tegasnya. "Sedangkan setelah ekspor nikel ore dibatasi dan harus melalui hilirisasi (smelter) maka nilai ekspor nikel di tahun 2021 melonjak tinggi mencapai USD. 20,9 miliar atau sekitar Rp 323 triliun. Jadi, siapa yang bodoh? Baik Pemerintah maupun Faisal Basri tidaklah bodoh, tapi para tokoh oposisi nampak-nya sedang memperbodoh rakyat Indonesia!" sindirnya.

Topik:

smelter