DPR Ungkap 4 Hal yang Harus Dikritisi RUU Kesehatan Omnibuslaw

Rizky Amin
Rizky Amin
Diperbarui 30 April 2023 22:42 WIB
 Jakarta, MI - Meski menyisakan banyak kritik dan penolakan, RUU Kesehatan yang dibahas dengan pendekatan Omnibuslaw tetap diputuskan menjadi RUU Inisiatiaf DPR RI pada rapat paripurna 14 Februari lalu. Dalam pembahasannya, poin demi poin pasal terus mendapatkan kritik dari berbagai pihak termasuk dalam isu kesehatan jiwa. Anggota Badan Legislasi DPR RI, Ledia Hanifa Amaliah, yang mengikuti perkembangan hadirnya RUU Kesehatan metode Omnibuslaw ini sejak awal melihat ada beberapa titik krusial isu kesehatan jiwa yang harus dikritisi. “Kita sama menginginkan bahwa RUU ini menghadirkan pelayanan kesehatan yang merata, adil dan terjangkau bagi seluruh lapisan masyarakat," kata Ledia, Minggu (30/4). Ini artinya, lanjut Ledia, pihaknya mendukung upaya menghadirkan masyarakat yang sehat jiwa raga, fisik mental dan tak ada yang terabaikan termasuk mereka yang mengalami masalah kesehatan jiwa atau gangguan jiwa yang berdasarkan berbagai data menunjukkan peningkatan prevalensi di Indonesia dari tahun ke tahun. "Berbagai riset memang menunjukkan besarnya jumlah orang-orang dengan masalah kesehatan jiwa di Indonesia," ungkapnya. Peningkatan prevalensi orang yang memiliki masalah kesehatan jiwa ini, jelas Ledia, meliputi berbagai jenis masalah dari ringan sampai berat termasuk di dalamnya mereka yang mengalami stres, depresi, demensia, gangguan makan, tidur, bipolar, skizofrenia dan lain-lain. "Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, menunjukkan lebih dari 19 juta penduduk berusia lebih dari 15 tahun mengalami gangguan mental emosional, dan lebih dari 12 juta penduduk berusia lebih dari 15 tahun mengalami depresi," ujarnya. Lebih lanjut, Ledia menjelaskan bahwa Riset dari Institute for Health Metrics and Evaluation University of Washington terkait Global Burden of Disease (GBD) 2019 menunjukkan bahwa di Indonesia terjadi trend peningkatan jumlah pengidap gangguan kesehatan mental dalam 30 tahun terakhir. Sementara pada 2021 sumber Kementerian Kesehatan RI menyebutkan Indonesia memiliki prevalensi orang dengan masalah kesehatan jiwa sekitar 1 dari 5 penduduk yang artinya ada sekitar 20% dari populasi Indonesia yang berpotensi memiliki masalah kesehatan jiwa. “Dengan jumlah yang sangat besar dan angka yang terus meningkat dari tahun ke tahun tentu kita tidak bisa abai pada upaya pencegahan dan penanganan masalah kesehatan jiwa ini," katanya. "Agar jumlah kasus masalah kesehatan jiwa ini tidak bertambah, yang ringan tidak memburuk dan yang berat bisa ditangani maka kita harus berupaya mengakomodir berbagai upaya pencegahan dan penanganannya di dalam RUU Kesehatan yang saat ini sedang dibahas oleh DPR bersama pemerintah," timpalnya. Karena itu menurut aleg yang juga Ketua Panja RUU tentang Penyandang Disabilitas pada 2014-2016 lalu, ada beberapa hal dalam RUU Kesehatan Omnibuslaw ini harus dikritisi. Pertama, kata dia, tanggung jawab pemerintah dalam hal penyelenggaraan fasilitas kesehatan jiwa harus jelas tertuang di dalam RUU ini, termasuk tanggung jawab dan jaminan untuk memastikan ketersediaan SDM dan fasilitas yankes (rumah sakit) untuk menyelenggarakan kesehatan jiwa. Sampai saat ini, lanjut dia, usulan pemerintah justru membagi tanggung jawab itu pada Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, keluarga, juga masyarakat dalam hal penyelenggaraan Upaya Kesehatan Jiwa yang sesuai standar, aman, bermutu, dan terjangkau. "Padahal tanggung jawab utama harus dipikul oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dan ini harus secara tegas dibunyikan dalam Undang-undang. Keluarga, masyarakat atau stakeholder lain posisinya adalah ikut bertanggung jawab," tuturnya. Kedua, upaya promotif preventif terkait masalah kejiwaan harus dikedepankan mengingat prevalensi orang dengan masalah kesehatan jiwa terus meningkat karena berbagai sebab. “Upaya kuratif rehabilitatif memang penting untuk menangani masalah orang yang memiliki gangguan kesehatan jiwa. Namun upaya promotif preventif harus dikuatkan untuk menekan angka prevalensi dan mendukung pencapaian kehidupan masyarakat yang sehat secara fisik, mental, sosial dan spiritual," kata dia. Ledia juga mengingatkan upaya preventif mendukung kesehatan jiwa ini selain perlu diselaraskan dengan UU No 23 Tahun 2022 tentang Pendidikan dan Layanan Psikologi juga seharusnya bisa dilakukan di fasilitas kesehatan primer. “Persoalan kita saat ini, pelayanan kesehatan jiwa terutama dalam hal upaya promotif preventif masih sangat tertinggal baik dari turunan programnya maupun fasilitas layanannya. Karenanya menjadi penting memuat dalam RUU ini kewajiban negara untuk menjamin ketersediaan SDM dan fasilitas pelayanan kesehatan jiwa di fasilitas-fasilitas primer di seluruh pelosok tanah air," tegasnya. Ketiga, segala pembiayaan layanan kesehatan jiwa harus tercakup dalam layanan kesehatan tanggungan BPJS. “Karena penanganan kesehatan jiwa itu sama pentingnya dengan penanganan kesehatan fisik maka cakupan layanan masalah kesehatan jiwa, termasuk biaya obat-obatan yang dibutuhkan untuk pengobatan gangguan jiwa harus termasuk dalam layanan yang dicover BPJS untuk mendukung tercapainya cita-cita kita mewujudkan SDM Indonesia yang unggul dan sehat secara fisik, mental, sosial, spiritual," urainya. Keempat, Ledia juga mengingatkan agar penanganan pada orang dengan masalah kesehatan jiwa maupun orang dengan masalah gangguan jiwa harus diutamakan berbasis keluarga, berbasis masyarakat dan berbasis pemenuhan hak. Sebab orang-orang dengan masalah kejiwaan maupun gangguan kejiwaan sesungguhnya tetap memiliki hak untuk menikmati hasil pembangunan dan berpartisipasi dalam pembangunan sebagaimana tertuang dalam Undang-undang No 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas. “Salah satu ragam disabilitas adalah penyandang disabilitas mental. Maka penanganan bagi mereka tetap harus didasarkan pada asas pemenuhan hak (right based), bukan asas belas kasihan (charity based)," katanya. "Dan untuk itu diperlukan satu strategi sosialisasi yang masif pula tentang kesehatan jiwa ini ke tengah masyarakat agar persoalan kesehatan jiwa ini tidak lagi dipandang aneh, menakutkan hingga memunculkan diskriminasi," tambah Ledia.