Presiden Minta RUU Perampasan Aset Diselesaikan, Komisi III: Untuk Apa Desak DPR?

Dhanis Iswara
Dhanis Iswara
Diperbarui 12 Desember 2023 13:40 WIB
Anggota Komisi III DPR RI, Nasir Djamil (Foto: Dhanis/MI)
Anggota Komisi III DPR RI, Nasir Djamil (Foto: Dhanis/MI)

Jakarta, MI - Anggota Komisi III DPR RI Nasir Djamil, menanggapi pernyataan Presiden Joko Widodo yang meminta DPR untuk segera menyelesaikan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset. 

Menurut politikus PKS itu, Presiden tak perlu mendesak DPR untuk segera menyelesaikan RUU Perampasan Aset. Karena kata Nasir, yang menjadi atensi dan perlu dibenahi adalah lembaga penegak hukum. 

"Untuk apa didesak-desak soal RUU Perampasan Aset ini? Yang perlu dibenahi soal integrasi dan integritas lembaga penegakan hukum," kata Nasir saat dihubungi Monitorindonesia.com, Selasa (12/12).

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo menyampaikan agar dilakukannya penguatan regulasi pada level undang-undang (UU) untuk pemberantasan korupsi oleh lembaga legislatif. 

Sehingga tidak ada alasan lagi bagi DPR RI dan pemerintah tidak membahas hingga mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset. Pasalnya, Surpres RUU tersebut telah diterima DPR RI pada awal Mei 2023 lalu.

"UU Perampasan Aset penting untuk segera diselesaikan karena ini adalah mekanisme untuk pengembalian kerugian negara. Saya harap pemerintah dan DPR dapat segera membahas dan menyelesaikan (UU itu)," tegas Joko Widodo dalam Peringatan Hari Antikorupsi Sedunia 2023 di Istora Senayan, Jakarta, Selasa (12/12).

Selain itu, Presiden yang telah menjabat dua periode ini mendesak pengesahan UU Pembatasan Transaksi Uang Kartal, yang mendorong pemetaan transfer perbankan yang lebih transparan dan akuntabel.

"Saya mengajak kita semua untuk bersama-sama mencegah tindak pidana korupsi dan bisa memberikan efek jera kepada para pejabat yang melakukan korupsi," tandasnya.

Adapun RUU Perampasan Aset ini bertujuan untuk menghadirkan cara untuk dapat mengembalikan kerugian negara (recovery asset) sehingga kerugian yang diderita oleh negara tidak signifikan. 

Catatan Monitorindonesia.com, RUU ini telah melewati perjalanan yang cukup panjang sejak awal tahun 2010. Pada periode Prolegnas 2015-2019, RUU ini termasuk dalam program legislasi nasional, namun tidak pernah dibahas karena tidak masuk dalam daftar prioritas RUU.

Kemudian, pada periode Prolegnas 2020-2024, RUU Perampasan Aset kembali dimasukkan dan Pemerintah mengusulkan agar RUU ini dimasukkan dalam Prolegnas 2020, sayangnya usulan tersebut tidak disetujui oleh DPR RI.

Pada tahun 2023, pemerintah dan DPR RI mencapai kesepakatan untuk memasukkan RUU Perampasan Aset dalam Prolegnas 2023. 

Namun itu, terdapat dugaan terjadinya kendala pelaksanaan perampasan aset sendiri yang tidak lepas dari dua hal penting.

Pertama, kurangnya politik hukum negara. Kedua, eksistensi aset yang berada di luar negeri. (DI/Wan)