Pilkada 2024: Bagaimana jika Kotak Kosong yang Menang?


Jakarta, MI - Fenomena kotak kosong dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024 dinilai mencerminkan kemunduran demokrasi karena masyarakat dikondisikan untuk menghadapi pilihan yang tidak ideal.
Fenomena calon tunggal muncul pada saat mayoritas partai politik di suatu daerah pemilihan memutuskan berkoalisi dan mengusung satu pasangan calon.
Dalam hal ini menyisakan satu-dua partai yang ketika mereka bergabung pun tidak bisa mengusung pasangan calon karena tidak memenuhi ambang batas, dan calon perseorangan pun tak ada.
Setidaknya ada 43 daerah dengan pasangan calon tunggal kepala daerah hingga Sabtu (31/8/2024). Itu artinya, mereka berpeluang melawan kotak kosong. Masa pendaftaran bakal calon kepala daerah untuk 43 daerah pun diperpanjang pada 2-4 September 2024 untuk membuka peluang munculnya bakal calon pasangan baru.
Lantas bagaimana jika kotak kosong yang menang?
Mengacu pada Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, pasangan calon tunggal bisa dinyatakan menang kalau memperoleh suara sah lebih dari 50%. Jika tidak tercapai, maka kotak kosong lah yang menang.
Menurut Khoirunnisa, UU Pilkada mengamanatkan pemilihan suara ulang kalau kotak kosong yang menang.
“Diulangnya itu pada tahapan pilkada yang dijadwalkan setelahnya. Kalau 2024 ini yang menang kotak kosong, maka diulang tahun depan,” kata Khoirunnisa.
Pada Jumat (30/8/2024) Anggota KPU RI Idham Holik mengatakan penjabat sementara (pj) kepala daerah akan memimpin daerah tersebut apabila kotak kosong yang menang.
Soal sampai kapan penjabat sementara bertugas, Idham menuturkan sampai pemilihan selanjutnya.
“Kapan pemilihan selanjutnya? Yaitu 2029. Selama periode pemerintahan pasca-Pilkada 2024 ini akan dipimpin oleh penjabat sementara,” kata Idham.
Namun Direktur Eksekutif Perludem, Khoirunnisa Nur Agustyati, mengatakan bahwa bukan ranah KPU untuk menyatakan berapa lama penjabat sementara kepala daerah bertugas. Menurutnya, tidak masuk akal apabila seorang penjabat memimpin sampai satu periode.
“Penjabat itu seharusnya hanya mengisi kekosongan sementara saja, bukan dalam jangka waktu yang lama, apalagi lima tahun,” kata Khoirunnisa dikutip Senin (2/9/2024).
Apalagi, penunjukan penjabat kepala daerah sering kali bersifat subjektif berdasarkan keputusan presiden. Sejauh ini, baru satu kali kotak kosong memenangkan perolehan suara, yakni saat pemilihan wali kota Makassar pada 2018.
Pada saat itu, pasangan calon Munafri Arifuddin dan Andi Rachmatika Dewi gagal menang setelah lawannya, Mohammad Ramdhan Danny Pomanto dan Indira Mulyasari didiskualifikasi oleh Mahkamah Agung. Posisi wali kota Makassar kemudian diisi oleh penjabat sementara sampai pemilihan ulang digelar pada 2020.
Menurut Khoirunnisa, pilkada kali ini akan menjadi pemilihan dengan jumlah kotak kosong terbanyak sepanjang sejarah demokrasi di Indonesia apabila tidak ada partai politik yang mengalihkan dukungannya pada masa perpanjangan itu.
Dia menekankan bahwa kotak kosong tetap lah sebuah pilihan politik, namun bukan pilihan yang ideal karena kemunculannya saat ini ini tak lepas dari tren "koalisi gemuk" di banyak daerah.
“Saya rasa ini kemunduran demokrasi karena kompetisinya dihilangkan. Yang seharusnya masyarakat bisa melihat adu gagasan, menjadi tidak ada. Ibarat kata mau menang secara cepat saja karena tren menunjukkan calon tunggal sering menang,” kata Khoirunnisa.
“Jadi ya sudah, diborong saja dalam satu perahu besar. Dan ini bukan tiket kosong, pasti ada yang ditransaksikan [secara politik] dan itu akan kelihatan setelah kepala daerahnya terpilih,” sambungnya.
Formalitas bagi masyarakat?
Pengamat politik dari Universitas Airlangga, Ali Sahab, mengatakan fenomena kotak kosong dapat membuat perhelatan pilkada hanya akan menjadi semacam formalitas bagi masyarakat.
Sejauh ini, daerah yang berpeluang menjalani pemilihan gubernur dengan melawan kotak kosong adalah Papua Barat. Fenomena kotak kosong lainnya terjadi pada level kabupaten/kota di 42 daerah.
Di Provinsi Sumatra Utara, misalnya, ada enam daerah yang masuk kategori ini yakni Tapanuli Tengah, Asahan, Pakpak Bharat, Serdang Berdagai, Labuhanbatu Utara, dan Nias Utara. Di Jawa Timur, fenomena ini berpeluang terjadi di Kota Surabaya, Trenggalek, Ngawi, Gresik, dan Pasuruan.
Pasangan calon tunggal di lima daerah di Jawa Timur tersebut didukung oleh delapan hingga 18 partai politik yang tergabung dalam "koalisi gemuk".
Maksud kotak kosong
Kotak kosong muncul ketika hanya ada satu pasangan calon kepala daerah yang maju dalam pemilu. Ini bukan berarti kotak suara yang kosong. Namun di dalam surat suara, pemilih dapat memilih opsi ini apabila tidak ingin memilih satu-satunya pasangan calon yang maju.
Menurut Khoirunnisa, kotak kosong pertama kali digunakan dalam kontestasi pilkada pada tahun 2015. "Awalnya dari Mahkamah Konstitusi. Ada semacam kebuntuan, ada partai-partai yang mengusung satu pasangan calon saja, apa yang harus dilakukan? Sehingga pada waktu itu, dibawa ke MK," jelas dia.
"MK yang memutuskan, kalau pada masa pendaftaran yang terdaftar hanya satu pasangan calon, MK menyatakan bahwa masa pendaftarannya bisa dibuka lagi. Kalau setelah dibuka lagi tidak ada yang mendaftar, partai politik tidak mengalihkan dukungannya, ada yang namanya kotak kosong. Jadi di surat suara itu bukan berarti hanya ada satu pasangan calon itu saja, tapi harus ada kotak kosong itu sebagai alternatif suara bagi pemilih," beber Khoirunnisa.
Dengan demikian, daerah yang memiliki satu pasangan calon pun dapat tetap mengikuti pilkada serentak.
Buntut Putusan 60
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 60/PUU-XXII/2024 telah membuka peluang bagi partai-partai politik untuk lebih leluasa mengusung calonnya sendiri tanpa harus berkoalisi. Putusan itu menurunkan ambang batas pencalonan kepala daerah di tengah tren koalisi gemuk di berbagai daerah pemilihan.
Namun Khoirunnisa menyayangkan putusan itu “tidak dimanfaatkan” oleh partai-partai politik. “Seharusnya partai lebih berdaya, tapi ternyata jadi lebih banyak juga kotak kosongnya. Bisa jadi karena partai tidak siap mengusung kadernya di pilkada tanpa koalisi yang besar,” kata Khoirunnisa.
Walau demikian, Perludem meyakini fenomena kotak kosong ini “akan lebih parah lagi” kalau tak ada putusan MK itu.
Sementara itu, Ali Sahab dari Unair mengatakan ada sejumlah faktor yang memicu fenomena ini. Bisa jadi calon yang diusung dianggap sebagai “yang terbaik”, namun bisa pula ini mencerminkan praktik “kartel politik”.
“Artinya ada iming-iming yang lebih menarik, daripada saya bekerja keras mengeluarkan uang lalu ada iming-iming yang lebih menarik untuk bisa mendapatkan bagian, itu yang menggoda. Maju ke pemilihan itu ongkosnya sangat besar. Jadi semacam percuma maju ketika yang akan menang sudah diketahui," bebernya.
Pun Ali dan Khoirunnisa sama-sama mengatakan bahwa tren koalisi gemuk ini dipengaruhi oleh pilpres dan pilkada yang digelar pada tahun yang sama.
Peta politik di level nasional yang kini dikuasai oleh Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus tampak merembes ke daerah-daerah demi mencapai kemenangan politik yang sama. “Dan ketika koalisi nasional merembes ke daerah, partai-partai lain agak ogah mencalonkan diri. Apalagi partai-partai yang tunduk dengan KIM Plus pasti ikut saja,” tandas Ali.
Adapun DPR dan KPU sepakat jalankan putusan MK soal ambang batas parlemen dan syarat batas usia calon kepala daerah. Lantas apakah fenomena ini akan berujung pada pemerintahan tanpa oposisi.
Lembaga legislatif akan dikuasai oleh koalisi si kepala daerah terpilih, sehingga fungsi kontrolnya dikhawatirkan tak berjalan ideal. Dengan kondisi seperti itu, harapan terakhir kontrolnya ada di masyarakat. Untungnya di era digital ini, fungsi kontrol masyarakat menjadi lebih mudah. (ar)
Topik:
Pilkada 2024 Kotak Kosong Putusan MK 60 MK KPU Bawaslu DPRBerita Terkait

KPK Masih Rahasiakan Pimpinan DPR "Cawe-cawe' Pengadaan X-Ray Barantan Rp194,2 M
5 Oktober 2025 19:54 WIB

Nasib Jokowi dan Roy Suryo Cs Usai Dapat Salinan Ijazah Jokowi dari KPU
5 Oktober 2025 12:30 WIB

Tak Menutup Kemungkinan Komisioner KPU Prabumulih Lainnya juga Tersangka Korupsi Dana Hibah Pilkada Rp 6 M
5 Oktober 2025 09:00 WIB

Ketua KPU Prabumulih, Sekretaris dan Bendahara Tersangka Korupsi Dana Hibah Pilkada 2024
5 Oktober 2025 07:30 WIB