DPR Klaim Revisi UU Penyiaran Sesuai Kode Etik Jurnalistik

Dhanis Iswara
Dhanis Iswara
Diperbarui 14 Mei 2024 09:45 WIB
Anggota Komisi I DPR RI, Bobby Adhityo Rizaldi (Foto: Ist)
Anggota Komisi I DPR RI, Bobby Adhityo Rizaldi (Foto: Ist)

Jakarta, MI - Anggota Komisi I DPR RI Bobby Adhityo Rizaldi, mengatakan bahwa draf revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2022 tentang Penyiaran sesuai dengan kode etik jurnalistik.

"Jadi, itu yang diatur di RUU Penyiaran dalam konteks jurnalistik, sesuai dengan yang diatur dalam kode etik jurnalistik," kata Bobby dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Selasa (14/5/2024). 

Bobby mengemukakan hal itu ketika merespons anggapan beberapa pasal dalam draf revisi UU Penyiaran yang dapat menghambat kebebasan pers di Indonesia.

"Ini sama halnya dengan diskursus substansi dalam revisi UU ITE, hal lisan dan tulisan sudah diatur dalam KUHP sehubungan dengan hate speech dan lain-lain, hanya diperluas dalam format digital," katanya.

Ia menegaskan tidak ada perubahan dalam norma maupun aturan kode etik jurnalistik.

"Tidak ada perubahan norma yang diatur dalam kode etik jurnalistik dalam format mass media, diteruskan dalam format siaran," ujarnya.

Ditegaskan pula bahwa kegiatan siar di frekuensi siaran masuk ranah kode etik jurnalistik. Namun, frekuensi giat siaran di frekuensi telekomunikasi over the top (OTT) "dikecualikan".

"Jangan sampai ada upaya 'pengecualian', kegiatan jurnalistik dalam OTT yang ingin dibedakan alias tanpa kode etik jurnalistik. Kalau kegiatan siar di frekuensi siaran, masuk ranah kode etik jurnalistik. Akan tetapi, kalau giat siaran di frekuensi telekomunikasi (OTT), 'dikecualikan'," tuturnya.

Bobby memastikan publik akan ikut dilibatkan dalam proses pembahasan draf revisi UU Penyiaran untuk memastikan sejalan dengan prinsip kemerdekaan pers.

"Publik pasti dilibatkan, hal-hal di atas ada yang 'keluar' dari kode etik jurnalistik, aspirasi ini harus dipenuhi karena semangatnya kami ingin masyarakat mendapatkan hal positif dari kegiatan penyiaran, dan melindungi dari hal yang kontraproduktif, spekulatif yang mengarah pada hal-hal negatif," kata dia.

Polemik Draf RUU Penyiaran

Sebelumnya, berbagai kritikan dan masukan disampaikan oleh peneliti, pegiat hingga praktisi media terhadap Pasal 50 B ayat 2 huruf (c) pada draf RUU penyiaran. 

Peneliti pusat studi media dan komunikasi Remotivi, Muhamad Heychael, menyebut pasal tersebut sangat ambigu dan membingungkan.

“Ini kan melawan seluruh prinsip jurnalistik, ya? Justru jurnalistik itu bukan hanya harus akurat dan benar, tetapi informasi itu harus aktual. Saya khawatir semakin mati ruang publik kita," kata Heychael.

Sementara, Ketua Komisi Hukum Dewan Pers Arif Zulkifli, menilai Pasal 50 B ayat 2 huruf (c) merupakan bentuk kemunduran yang sangat serius bagi kemerdekaan pers Indonesia.

"Saya tidak tahu kenapa DPR begitu bersemangat mengedepankan RUU ini. Apakah ingin membungkam pers dan kenapa harus sekarang? Apakah ada keinginan agar pemerintahan yang selanjutnya itu bisa berjalan tanpa kritik yang signifikan dari pers, dalam hal ini pers TV? Saya kira pertanyaan-pertanyaan itu harus dijawab," katanya Arif kepada wartawan. 

Selanjutnya, Sekjen AJI Indonesia, Bayu Wardhana juga buka suara, menutnya revisi UU penyiaran ini dapat dimaknai sebagai pembungkaman terhadap pers dan upaya DPR untuk melemahkan Dewan Pers. 

"Upaya untuk melemahkan Dewan Pers sebenarnya sudah lama terjadi. Seperti ketika RUU Omnibus Law Cipta Kerja, ada bab soal pers yang menjadi menjadi pasal melemahkan. Syukur saat itu bab pers dihapus dari draf RUU Ciptaker. Upaya itu muncul kembali di RUU Penyiaran ini," tukas Bayu. 

Sedangkan, Ketua Komisi Hukum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat, Zacky Antony, menilai pasal tersebut sangat bertentangan dengan semangat kemerdekaan pers pasca reformasi di Indonesia.

"Jelas-jelas bertentangan dengan semangat kemerdekaan pers yang merupakan salah satu poin reformasi negeri ini," kata Zacky saat dihubungi Monitorindonesia.com Sabtu (11/5/2024). 

Untuk itu, kata dia, sudah sepantasnya DPR menghapus pasal tersebut dalam draf RUU tentang penyiaran karena dianggap mengekang kemerdekaan pers. 

"Oleh karena itu, sudah seharusnya DPR mengeluarkan pasal tersebut dalam RUU. Sebab, bakal membelenggu kemerdekaan pers," ujarnya. 

Sebab kata Zacky, pasal pelarangan penayangan jurnalisme investigasi bertentangan dengan pasal 2, pasal 4 ayat (1), (2) dan (3) UU Pers No 40 tahun 1999.

"Pasal 2 UU Pers berbunyi: Kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan dan supremasi hukum." bunyi UU tersebut. 

Sedangkan pada pasal 4 ayat (1) jelas dikatakan: Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara. Selanjutnya di pasal 4 ayat (2) dijelaskan: Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran. 

Sedangkan pada pasal 4 ayat (3) juga ditegaskan: Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan reformasi.

"Jadi jelas, berdasarkan UU Pers, tidak boleh ada penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran," tegas Zacky. 

Untuk itu, dia menyarankan kepada panitia kerja (Panja) revisi UU penyiaran DPR agar mencermati dengan seksama UU Pers sebelum merevisi dan mensahkan RUU tersebut. 

"Sebaiknya anggota DPR yang terhormat baca dulu UU Pers sebelum membahas revisi UU Penyiaran," pungkasnya. 

Diketahui sebelumnya, Komisi I DPR RI telah mengirimkan draf RUU Penyiaran kepada Badan Legislasi (Baleg) DPR untuk dilakukan harmonisasi dan sinkronisasi.

Selanjutnya, jika disetujui, RUU itu akan dibawa ke rapat paripurna DPR untuk ditetapkan menjadi RUU usul inisiatif DPR RI.

Topik:

Polemik RUU Penyiaran DPR Komisi I Jurnalistik Kebebasan Pers