M Khozin: Putusan MK 135/2024 Bentuk Kerusakan Konstitusional

Zul Sikumbang
Zul Sikumbang
Diperbarui 5 Juli 2025 20:12 WIB
Anggota Komisi II DPR RI, M Khozin (foto: Zul Sikumbang?
Anggota Komisi II DPR RI, M Khozin (foto: Zul Sikumbang?

Jakarta, MI - Anggota Komisi II DPR RI, M Khozin menilai, keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) 135/2024 tentang pemisahan pemilu nasional dan pemilu lokal adalah bentuk kerusakan konstitusional.

Oleh karena itu, ia mengusulkan agar Presiden, Ketua MA, Ketua MK, Ketua DPR duduk bersama membahas hal tersebut.

"Tepatnya kerusakan konstitusional (constitutional dameg). Ini yang harus diantisipasi, di lokalisir, dan didialogkan oleh semua pemangku kepentingan. Makanya, kami mengusulkan agar Presiden, Ketua MA, Ketua MK, Ketua DPR menggelar silaturahim secara khusus duduk bareng membincangkan persoalan ini dengan tetap memegang prinsip separation of power," kata Khozin dalam rilis yang diterima monitorindonesia.com, Sabtu (5/7).

Politisi PKB tidak mempersoalkan pemisahan pemilu nasional dan pemilu lokal dilaksanakan tahun 2029. Cuma, sambungnya, cara MK mengambil keputusan menjadi pertanyaan besar.

"Pemisahan pemilihan secara prinsip tidak ada soal. Yang jadi soal, cara MK dalam memutus model keserentakan. Padahal di putusan MK No 55/2019, MK telah memberi 6 opsi model pemilihan. Putusan 135/2024 ini justru mengunci DPR dan Presiden. Padahal, di putusan 55 MK menyebutkan model keserentakan merupakan domain DPR RI," sebut dia.

Meskipun tujuan MK dengan keputusan tersebut untuk menyederhanakan proses bagi pemilih, memperbaiki kualitas demokrasi, serta mengurangi beban berat bagi penyelenggara pemilu dan partai politik, ia berpendapat, apapun tujuan MK tidak menjadi soal.

"Argumentasi MK tidak ada yang perlu disangkal. Secara teori dan praktik tidak ada soal. Yang kita soalkan, mengenai konsistensi MK atas putusan sebelumnya dan lompat pagar kewennagan yang bukan kewenangannya," ungkap anggota DPR RI dari Dapil Jatim IV itu.

Dari sisi teknis, tambahnya, pemisahan pelaksanaan pemilihan nasional dan pemilihan lokal akan memberi benefit bagi peserta dan penyelenggara. Kerumitan pemilu serentak di atas kertas akan terurai dengan pemilihan model pemilihan. 

"Yang jadi soal, dari sisi yuridis putusan ini berdampak kompleks, mulai bertolakbelakang dnegan putusan MK 55 hingga bertentangan dengan UUD 1945 khususnya pasal 22 E ayat (1) dan (2) UUD 1945," imbuhnya.

Pasca putusan MK, Komisi II DPR RI belum membahas secara khusus.

"Secara spesifik tentu belum. Diskusi sebatas informal antar-anggota Komisi II. Tetapi dalam konteks persiapan pembahasan UU Pemilu, Komisi II sejak 2-3 bulan telah mengundang para pemangku kepentingan untuk mendiskusikan evaluasi Pemilu 2024 dan Pilkada 2024," kata Khozin.

"Dalam waktu dekat Komisi II DPR RI akan rapat dengan para pemangku kepentingan. Jika merujuk timeline sebelumnya, pembahasan UU Pemilu, baru tahun 2026, bisa saja pasca putusan MK ini ada peluang dimajukan pembahasannya di tahun ini,"'tambahnya.

Topik:

M Khozin Komisi II DPR Putusan MK 135/2024