Siapa Bakal Calon Gubernur Daerah Khusus Jakarta? Anies, Ahok atau Kaesang

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 4 Agustus 2024 2 jam yang lalu
Andre Vincent Wenas (Foto: Dok MI)
Andre Vincent Wenas (Foto: Dok MI)

Jakarta, MI - Posisi Gubernur DKJ (Daerah Khusus Jakarta) ramai diperbincangkan di media, siapa bakal calon gubernurnya? Ini tentu menarik. Anies-kah? Ahok-kah? Atau Kaesang-kah? 

Lalu parpol mana bakal mendukung calon yang mana? Tulisan ini sekedar ramalan sebelum terjadinya lamaran. Siapa melamar siapa kita tunggu saja akadnya di akhir Agustus 2024 ini. 

DPRD Jakarta punya total 106 kursi. Dengan 11 partai politik, komposisinya sebagai berikut: PKS 18 kursi, PDIP 15 kursi, Gerindra 14 kursi, Nasdem 11 kursi, lalu Golkar, PAN dan PKB masing-masing 10 kursi, diikuti Demokrat dan PSI dengan 8 kursi, dikunci PPP serta Perindo masing-masing 1 kursi.   

Yang sudah deklarasi pagi-pagi adalah PKS (punya 18 kursi) dan Nasdem (11 kursi). Terkumpul 29 kursi, lebih dari cukup, karena syaratnya “cuma” perlu 22 kursi. Koalisi PKS dan Nasdem ini rencananya bakal mengusung Anies Baswedan. Wakil gubernurnya Shohibul Iman yang mantan presiden PKS. 

Tapi baru-baru ini Bendahara Umum Nasdem Ahmad Sahroni membawa kabar buruk buat Anies, karena katanya usungan Nasdem kepadanya belum final dan masih mungkin untuk berubah. Kita lihat saja nanti. 

Kemungkinan paslon kedua adalah dari PDIP yang punya 15 kursi di DPRD Jakarta periode 2024-2029. Dan pilihan bakal calon yang paling rasional adalah Ahok. Selain kader sendiri, ia punya reputasi moncer sebagai wakil gubernur dan kemudian sebagai gubernur menggantikan Jokowi yang bergeser posisi ke istana negara pada tahun 2014. 

Hasil survey Litbang Kompas terbaru menempatkan Ahok di posisi kedua dengan 20% elektabilitas. Cuma terpaut 9,8% dengan Anies yang menempati posisi pertama dengan 29,8%. Menurut Ray Rangkuti selisih ini tak ada artinya secara politis, mengingat Ahok yang vakum selama 5 tahun dibanding Anies yang petahana barusan. 

Reputasi dan prestasi Ahok terbukti gemilang, namun ia tersandung taktik politisasi agama yang digalang para lawan politiknya. Singkat cerita ia masuk bui dan sempat digantikan Djarot (kader PDIP juga). Jadi, PDIP boleh dibilang sudah berpengalaman dan mengenal medan politik Jakarta. 

Parpol banteng ini kalau masih mengandalkan rasionalitas para pemilih di Jakarta dan percaya dengan kekuatan mesin politiknya, semestinyalah masih menjagokan Ahok untuk memimpin Jakarta. 

Kalau kita mengacu pada koalisi saat pilpres kemarin, kemungkinan PDIP bakal didukung PPP dan Perindo yang punya masing-masing 1 kursi. Sehingga total dukungan yang bisa digalang adalah 15 kursi dari PDIP plus 1 kursi PPP tambah 1 kursi Perindo, total ada 17 kursi. Masih kurang, perlu tambahan minimal 5 kursi lagi. Siapa yang bisa dan mau? Dan apa “harga” (imbal balik) yang mesti dibarter?

Kandidat ketiga yang cukup ramai diperbincangkan adalah Kaesang. Dan untuk calon wakil gubernurnya oleh Golkar disiapkan Babah Alun (Jusuf Hamka), seorang pengusaha sukses yang juga seorang dermawan yang kerap membagi nasi kuning ke warga Jakarta. Reputasi Babah Alun cukup positif karena kompetensi serta kedermawanannya.

Kemungkinan dukungan datang dari PSI (Kaesang adalah Ketua Umum PSI) yang punya 8 kursi di DPRD Jakarta. Kemudian Golkar (10 kursi), Gerindra (14 kursi), PAN (10 kursi) dan Demokrat (8 kursi). Terkumpul total ada 50 kursi. Lebih dari cukup. Tapi soal elektabilitas masih perlu kerja politik ekstra keras.

Akhirnya di DPRD Jakarta tersisa PKB yang punya 10 kursi. PKB sempat ada terdengar mau mengusung kader sendiri, tapi terakhir katanya mungkin bergabung ke Koalisi Indonesia Maju (KIM). Komunikasi politik (atau: tawar-menawarnya) belum tuntas. Jadi masih terbuka kemungkinan lain.

Posisi tawar sementara ini mesti dilihat menyeluruh, artinya di seantero Indonesia dalam konteks Pilkada Serentak seluruh Indonesia. Siapa mendapat apa dengan imbalan apa di wilayah mana. Semua ada di kantong kanan dan kiri ketum parpol. Dan ketum parpol pastilah melihat banyak faktor, termasuk faktor penyelarasan dengan kabinet Prabowo-Gibran yang efektif pada Oktober 2024, sedangkan Pilkada Serentak pada akhir November 2024. 

Kejutan-kejutan baru masih mungkin saja terjadi. Misalnya di Jakarta, Anies yang tidak punya partai politik tapi punya elektabilitas karena popularitasnya, faktor ini menjadikannya satu probabilitas. 

Probabilitas lainnya adalah PDIP yang kemungkinan besar mengusung Ahok, yang punya prestasi dan reputasi gemilang di masa lalu bisa saja membuka peluang menyandingkannya dengan Kaesang yang kemungkinan didukung gabungan mesin politik yang besar sekali. 

Politik itu seyogianya cair dan dinamis. Ide menggandengkan Ahok dan Kaesang kemungkinan yang bisa membongkar kebekuan antara kekuatan riil perpolitikan yang ada. Ini terobosan luar biasa. Ahok punya kapasitas dan elektabilitas, sementara Kaesang (jika lewat dukungan KIM) punya mesin politik yang luar biasa besarnya.

Dari perspektif kemajuan, kapasitas dan kapabilitas pasangan ini diharapkan bisa mencairkan kebekuan politik ada. Tak perlu marah melulu kata Prof. Mahfud MD. Pilpres usai, itu pilihan rakyat. Sekarang saatnya menjalin kerjasama. 

Panggilan negarawan bagi semuanya untuk mengedepankan kepentingan Indonesia Maju, yaitu membangun sinergitas Jakarta dengan pemerintah pusat. 

[Andre Vincent Wenas - Pemerhati Ekonomi dan Politik]