KPK: Korupsi Pengadaan Barang dan Jasa Terjadi sejak Perencanaan

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 13 Desember 2021 23:40 WIB
Monitorindonesia.com - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Alexander Marwata mengatakan tindak pidana korupsi dalam pengadaan barang dan jasa sebenarnya sudah terjadi sejak dimulai proses perencanaan proyek. Pernyataan Alex diungkapkan saat jumpa pers tentang pengumuman dan penahanan 15 tersangka suap pengadaan barang dan jasa di Dinas PUPR dan pengesahan APBD Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan Tahun 2019. Para tersangka adalah 10 Anggota DPRD Kabupaten Muara Enim periode 2014-2019 dan 5 lagi anggota periode 2019-2023. Alex mengatakan saat KPK menindak anggota DPRD, modus yang dilakukan hampir sama, yaitu bagaimana anggota DPRD itu mencari keuntungan untuk dirinya sendiri dalam proses persetujuan APBD maupun penentuan para pemenang lelang proyek pekerjaan. "Siapa yang akan mengerjakan proyek-proyek di pemerintah daerah, biasanya para pengusaha itu melakukan ijon proyek. Dia berusaha agar nanti ditunjuk sebagai pemenang, artinya apa? proses korupsi dalam pengadaan barang dan jasa proyek-proyek itu sebenarnya sudah dimulai dari proses perencanaan dengan menetapkan nanti siapa yang akan mengerjakan proyek-proyek sudah disetujui dalam APBD," ujar Alex, di Gedung KPK, Jakarta, Senin (13/12/2021). Ia mengatakan ketika pelaksana proyek sudah ditentukan dalam proses perencanaan, praktis proses lelangnya hanya formalitas. "Ketika lelang formalitas, pasti harga yang terbentuk juga tidak kompetitif ada kemungkinan 'mark up' dan lain sebagainya. Proses pelaksanaannya pun pasti bermasalah demikian juga sampai dengan pertanggungjawabannya. Rentetannya seperti itu. Ketika korupsi itu sudah dimulai dari proses perencanaannya pasti sampai ke hilirnya itu juga pasti akan bermasalah," tuturnya. Oleh karena itu, kata dia, KPK mengingatkan DPRD sebagai representasi aspirasi masyarakat seharusnya menjalankan tugasnya dalam mengawasi dan memastikan jalannya pemerintahan dan pembangunan yang dilakukan pemerintah daerah sesuai dengan ketentuan dan memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi masyarakat. Konstruksi perkara Dijelaskan konstruksi perkara yang menjerat 15 tersangka suap pengadaan barang dan jasa di Dinas PUPR dan pengesahan APBD Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan Tahun 2019. "Para tersangka diduga menerima pemberian uang sekitar sejumlah Rp3,3 miliar sebagai 'uang aspirasi' atau 'uang ketuk palu' yang diberikan oleh Robi Okta Fahlevi (swasta)," kata Alexander Marwata. Robi Okta Fahlevi merupakan kontraktor yang telah berpengalaman mengerjakan berbagai proyek di Dinas PUPR Kabupaten Muara Enim. "Agar Robi Okta Fahlevi bisa kembali mendapatkan proyek pengadaan barang dan jasa di Dinas PUPR Kabupaten Muara Enim Tahun 2019, sekitar Agustus 2019, Robi Okta Fahlevi bersama dengan A Elvin MZ Muchtar (mantan Kepala Bidang Pembangunan Jalan dan Pejabat Pembuat Komitmen/PPK di Dinas PUPR Kabupaten Muara Enim) menemui Ahmad Yani yang saat itu menjabat selaku Bupati Muara Enim," kata Alex. Ahmad Yani, kata Alex, selanjutnya memerintahkan A Elvin MZ Muchtar untuk aktif mengakomodir keinginan Robi Okta Fahlevi dengan kesepakatan adanya pemberian komitmen "fee" sebesar 10 persen dari nilai net proyek untuk berbagai pihak yang ada di Pemkab Muara Enim dan para tersangka. Alex mengatakan terkait pembagian proyek sekaligus penentuan para pemenang proyek di Dinas PUPR Kabupaten Muara Enim diduga dilakukan oleh A Elvin MZ Muchtar dan mantan Plt Kadis PUPR Muara Enim Ramlan Suryadi sesuai arahan dan perintah dari Ahmad Yani, Wakil Bupati Muara Enim saat itu Juarsah serta tersangka Anggota DPRD Kabupaten Muara Enim periode 2019-2023 Agus Firmansyah (AFS) dan kawan-kawan, agar memenangkan perusahaan milik Robi Okta Fahlevi. "Dengan dimenangkannya Robi Okta Fahlevi untuk mengerjakan beberapa proyek di Dinas PUPR Kabupaten Muara Enim Tahun 2019 dengan nilai kontrak mencapai Rp129 miliar, selanjutnya Robi Okta Fahlevi melalui A Elvin MZ Muchtar melakukan pembagian komitmen 'fee' dengan jumlah beragam," ujarnya pula. Ia mengungkapkan pemberian uang oleh Robi Okta Fahlevi untuk para anggota DPRD diduga dengan total sejumlah Rp5,6 miliar, Ahmad Yani sekitar sejumlah Rp1,8 miliar, dan Juarsah sekitar Rp2,8 miliar. "Penerimaan oleh para tersangka dilakukan secara bertahap dan diduga akan digunakan sebagai bagian dari biaya kampanye mengikuti pemilihan anggota DPRD Kabupaten Muara Enim tahun berikutnya," kata Alex. Atas perbuatannya, 15 tersangka tersebut disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.   Sumber: Antara