Jelang Pergantian Tahun, Sri Mulyani 'Saksi Kunci' Korupsi DID Tabanan Bali Tak Kunjung Diperiksa KPK

Aldiano Rifki
Aldiano Rifki
Diperbarui 22 Desember 2022 22:41 WIB
Jakarta, MI – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus melakukan upaya pencegahan korupsi ditanah air. Selama tahun 2022 ini, sepanjang perjalanannya, KPK telah mengungkap dan menyelesaikan banyak kasus korupsi. Pada Semester I 2022, KPK telah memulihkan kerugian keuangan negara yang timbul akibat tindak pidana korupsi atau asset recovery sebesar Rp313,7 miliar. Namun demikian, masih terdapat kasus korupsi yang belum juga dituntaskan hingga sekarang. Salah satunya adalah kasus korupsi DID Tabanan Bali yang sepertinya KPK lupa dengan komitmennya, bahwa akan menggali keterangan saksi lainnya dengan mengagendakan pemeriksaan terhadap saksi dari Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Sri Mulyani, yang sekarang diduga sebagai pegawai Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI. Monitor Indonesia, sudah beberapa kali mengkonfirmasi kelanjutan kasus tersebut melalui via WhatsApp. Namun KPK belum juga memberikan respons. Atas komitmennya memanggil Sri Mulyani yang saat ini belum juga dilakukan, publik meragukan keberanian lembaga antirasuah itu kepada Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Padahal, sebelumnya KPK melayangkan surat pemanggilan terhadap saksi Sri Mulyani pada Selasa (17/5) lalu, namun Sri Mulyani tidak memenuhi panggilan tersebut. KPK mengklaim bahwa ternyata ada kekeliruan dalam surat tersebut dan salah memanggil saksi, sehingga KPK akan mencari keterangan dari pihak lain. Dalam surat itu KPK menyatakan panggilan atas nama Sri Mulyani bukan berprofesi ASN di IPDN. “Yang bersangkutan tidak hadir dan informasi yang kami terima, terdapat kekeliruan, yaitu nama saksi yang dibutuhkan penyidikan dimaksud bukan berprofesi ASN pada IPDN,” kata Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri dalam keterangannya, Rabu (18/5). Dalam kasus ini, majelis hakim Pengadilan Tipikor Denpasar dalam amar putusannya menyatakan, Ni Putu Eka Wiryastuti telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama dan berlanjut. Yakni terlibat bersama terdakwa I Dewa Nyoman Wiratmaja menyuap dua mantan pejabat Kementerian Keuangan dalam pengurusan DID Tabanan, Yaya Purnomo (terpidana) dan Rifa Surya (tersangka) sebesar Rp 600 juta dan 55.300 dolar Amerika. Sebagaimana dakwaan alternatif pertama, Eka Wiryastuti dijerat pidana dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b UU RI No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor sebagaimana diubah dengan UU RI No. 20 tahun 2021 tentang Perubahan atas UU RI No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 64 ayat (1) KUHP. Ni Putu Eka Wiryastuti dan I Dewa Nyoman Wiratmaja merupakan pemberi suap, sedangkan penerima suap adalah Rifa Surya. Eka Wiryastuti yang menjabat Bupati Tabanan dua periode dalam melaksanakan tugasnya mengangkat tersangka I Dewa Nyoman Wiratmaja sebagai staf khusus bidang ekonomi dan pembangunan. Mantan Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar mengatakan Ni Putu Eka awalnya mengangkat I Dewa Nyoman sebagai staf khusus bidang ekonomi dan pembangunan. Ni Putu Eka berinisiatif mengajukan permohonan DID dari pemerintah pusat senilai Rp65 Miliar sekitar Agustus 2017. “Untuk merealisasikan keinginannya tersebut, tersangka NPEW memerintahkan tersangka IDNW menyiapkan seluruh kelengkapan administrasi permohonan pengajuan dana DID yang dimaksud,” kata Lili dalam jumpa pers di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (24/3). Lili menyebut I Dewa Nyoman kemudian berkoordinasi dengan pejabat Kemenkeu ketika itu, Yaya Purnomo dan Rifa. Keduanya diduga memiliki kewenangan dan dapat mengawal usulan DID untuk Kabupaten Tabanan 2018. Yaya Purnomo dan Rifa menyanggupi permohonan tersebut. Namun, mereka diduga mengajukan syarat khusus untuk mengawal usulan DID Kabupaten Tabanan dengan meminta sejumlah fee alias “dana adat istiadat”. Menurut Lili, I Dewa Nyoman lantas meneruskan permintaan ini kepada Ni Putu Eka dan mendapat persetujuan. Adapun nilai fee yang ditentukan oleh Yaya Purnomo dan Rifa sebesar 2,5 persen dari alokasi dana DID untuk Kabupaten Tabanan. Selanjutnya, pada sekitar Agustus-Desember 2017, diduga dilakukan penyerahan uang secara bertahap oleh I Dewa Nyoman kepada Yaya Purnomo dan Rifa di salah satu hotel di Jakarta. “Pemberian uang oleh tersangka NPEW melalui tersangka IDNW ini diduga sejumlah sekitar Rp600 juta dan US$55.300,” kata Lili. Lili memastikan pihaknya masih mendalami aliran uang kepada para pihak yang diduga punya andil dalam pengurusan DID Kabupaten Tabanan tahun 2018. Kasus ini merupakan pengembangan dari perkara Yaya Purnomo. Sementara Yaya telah divonis 6,5 tahun penjara karena terbukti menerima suap bersama anggota DPR fraksi Demokrat, Amin Santono, dari mantan Bupati Lampung Tengah, Mustafa. Tim penyidik KPK juga telah memeriksa sejumlah saksi selama penyidikan kasus dugaan korupsi DID Tabanan 2018 ini. Salah satunya, mantan Wakil Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Bahrullah Akbar. Namun untuk saksi Sri Mulyani pegawai BPK, lagi-lagi KPK hingga saat ini rupanya belum juga mempunyai keberanian memeriksanya, hanya “garang” kepada Gubernur Papua Lukas Enembe yang saat ini masih mangkir dari panggilan KPK itu. Soal keberadaan Sri Mulyani pernah diungkapkan oleh Direktur Komite Pemantau dan Pemberdayaan Parlemen Indonesia (KP3I) Tomu Pasaribu, mengatakan bahwa seharusnya KPK harus jelas memangil saksi dalam sebuah kasus dugaan tindak pidana korupsi (Tipikor). Bupati Tabanan dalam persidangan, menyebut ada keterlibatan anggota BPK dalam kasus itu. Namun yang dicari KPK sebagai saksi itu adalah Sri Mulyani yang dulunya memang pegawai Institusi Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Bandung. Bukan Sri Mulyani Menteri Keuangan, lanjut Tomu, tapi Sri Mulyani yang beberapa tahun lalu dipindahtugaskan ke BPK yang kemungkinan bisa menjadi saksi kunci dalam kasus tersebut. “Tidak menutup kemungkinan saya katakan dia termasuk saksi kunci atas keterlibatan terhadap seseorang yang sedang di sidik oleh KPK sebagai lembaga independen yang sangat kuat, kok bisa salah mengirimkan surat,” kata Tomu dalam Podcast Monitor Indonesia. Yang menjadi pertanyaan sekarang, kata Tomu, adalah apakah KPK serius menangani kasus ini? “Pernyataan KPK itu sendiri akan mencari saksi lain artinya kalau disisi hukum ini kan kalau di Indonesia permainan kata-kata bijak akhirnya ini itu terjebak ternyata nanti yang diperiksa itu bukan Sri Mulyani itu lagi karena sudah ada saksi lain lebih cenderung mengantisipasi di sini,” jelasnya. Tomu melanjutkan, bahwa Sri Mulyani yang dibahas KPK sebenarnya dulu di IPDN dipindahkan oleh seseorang di BPK. Untuk itu, bagi Tomu, KPK akan lebih gampang mencari seseorang di BPK, karena BPK itu tidak banyak anggotanya didalam. ”Teman saya aktivis dulu, mengatakan setiap ada tugas Sri Mulyani ini ikut, setiap tugas diluar negeri, yang ikut dengan anggota BPK lainnya, makanya saya bilang ini kasus lama dan tidak mungkin tidak diketahui oleh KPK,” katanya. Tomu pun mempertanyakan KPK begitu lama menangani kasus yang sangat jelas runtutan dan garis benang merahnya. ”KPK selalu mengatakan kurang orang, sementara OTT kadang dilancarkan begitu cepat, sementara yang ini kenapa lama,” katanya. Atas hal ini, Tomu menilai KPK sudah terjebak dalam politik praktis yang terlalu berani mengatakan akan mencari saksi lain yang sampai saat ini belum juga terungkap. “Artinya kalau dikatakan kalimat mencari saksi lain, karena salah sasaran surat yang mereka kirimkan untuk memakai Sri Mulyani mereka mencari saksi lain, nggak bisa dong harus Sri Mulyani, makanya saya bilang Sri Mulyani sekarang ada di BPK itu,” jelasnya. “KPK ini sebenarnya tidak sulit namun dibikin seolah-olah sulit cuman dibikin seolah-olah sulit, apa sih yang tidak bisa di zaman canggih ini dia menangkap orang aja waktu cepat dengan OTT bisa, masa nggak bisa mengambil hasil rapat Badan anggota BPK nggak bisa, ada notulennya kok,” sambungnya. Sebenarnya, kata Tomu, masalah ini hanya pintu kecil, yang artinya bahwa anggota BPK posisinya hanya sembilan. Namun, jika pola penanganan kasus terus seperti itu pasti akan menjamur. Apalagi kata dia, salah melayangkan surat pemanggilan. Dan sangat mustahil KPK itu tidak mengetahui di mana Sri Mulyani. “Makanya kalau bagi saya ini suatu permainan skenario hukum yang seolah-olah mau teruskan dan pada intinya mau dihentikan,” pungkasnya. Pada beberapa waktu lalu juga, Monitor Indonesia telah menanyakan kelanjutan dari rencana pemanggilan saksi Sri Mulyani ini kepada pihak KPK, namun hingga berita ini diterbitkan belum ada jawaban sama sekali alias bungkam.