OJK Gandeng APH Usut Kasus Bank Mayapada

Rizky Amin
Rizky Amin
Diperbarui 22 Juni 2023 20:02 WIB
Jakarta, MI - Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan (KEPP) Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Dian Ediana Rae menyatakan OJK telah memberikan perhatian terhadap kasus debitur Bank Mayapada atas nama Ted Sioeng yang sudah cukup lama, berdasarkan temuan hasil pemeriksaan OJK pada 2017. "Bank juga telah diminta melakukan langkah-langkah penyelesaian permasalahan tersebut dengan tetap memperhatikan tata kelola yang baik dan ketentuan yang berlaku," kata Dian, Rabu (21/6) kemarin. Lebih lanjut OJK terus memantau langkah-langkah penyelesaian yang dilakukan bank dan pihak terkait. Dalam kasus individual bank seperti ini concern utama OJK adalah memastikan keselamatan bank dan nasabah-nasabah bank, dan stabilitas sistem perbankan dan keuangan. Dalam perkembangannya, permasalahan terkait Ted Sioeng dan pihak Bank ataupun kepada pemilik bank yaitu Dato Sri Tahir, OJK tekankan kasus tersebut telah masuk ranah hukum. "Terkait dugaan pelanggaran ketentuan oleh pihak debitur maupun Bank, Pengawas Bank/OJK. OJK mendukung dan akan beker jasama dengan aparat penegak hukum (APH) untuk membantu penuntasan kasus tersebut," kata Dian. Salah satu program utama Dewan Komisioner OJK dan KEPP saat ini adalah melakukan langkah-langkah penegakan integritas sistem perbankan dan keuangan, serta menutup celah potensi terjadinya kejahatan ekonomi melalui rekayasa hukum dan keuangan, yang dapat berpotensi mengganggu integritas sistem perbankan. "Dengan tetap memperhatikan perlindungan bagi masyarakat, serta melakukan tindakan sesuai ketentuan yang berlaku dengan tetap menjaga stabilitas sistem Perbankan," kata Dian. Langgar Aturan Hukum Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik Narasi Institute Achmad Nur Hidayat, mengatakan praktek suap menyuap (bribery) pemilik bank untuk mendapatkan fasilitas kredit jelas melanggar aturan perbankan. "Pengakuan Ted Sioeng memberikan suap kepada pemilik Bank tersebut dalam pemberian kredit merupakan tindakan fatal yang seharusnya dapat berujung pada pemecatan pemilik Bank dan penutupan Bank," kata Achmad. Dugaan pelanggaran penyaluran kredit di Mayapada terjadi pada pengusaha Ted Sioeng pada kurun 2014-2021 dimana Ted menerima kucuran fasilitas modal kerja senilai Rp 1,3 triliun. Kredit Ted Sioeng macet kemudian dirinya terlapor Polisi karena tidak memenuhi kewajibannya kepada Bank. Menariknya, pengakuan Ted Sioeng, pemilik bank Dato Sri Tahir selalu mendapat bagian dari setiap kredit yang diterimanya. Jumlahnya mencapai Rp 525 miliar. Achmad juga mempertanyakan kejanggalan-kejanggalan transaksi bisa tidak terdeteksi OJK sebagai pengawas perbankan di Indonesia. OJK sebagai otoritas perbankan mikroprudensial seharusnya menjalankan tugas dengan baik dan melakukan pencegahan dana nasabah melalui pemberian bribery dalam fasilitas kredit di perbankan. "Bila OJK tidak tebang pilih, pengakuan Ted Sioeng perlu diperiksa seksama karena praktek seperti ini bila dibiar akan merusak reputasi perbankan. Rusaknya reputasi memiliki efek penularan (contagion effect) yang membahayakan sistem stabilitas perbankan," kata Achmad. Praktek penyaluran kredit dengan Bank dengan memberikan kick back (suap) kepada pemilik dan petugas perbankan adalah tindakan pelanggaran yang seharusnya dicegah oleh OJK. Bila pelakunya adalah petugas/karyawan bank, maka karyawan tersebut dapat dipidana. Bila pelakunya adalah pemilik bank, maka Bank seharusnya diawasi ketat. "Sebab di masa lalu penyebab krisis perbankan 1998 karena pemilik bank yang memperkaya diri dari kredit yang diberikan. Banyak kredit macet, karena pemberian kredit yang asal-asalan sehingga membebani stabilitas sistem perbankan," kata Achmad. Menurutnya pemilik Bank Mayapada Tahir perlu diperiksa OJK bila ternyata diketahui ada fraud. OJK tidak perlu takut dan ragu meski Tahir adalah anggota Dewan Pertimbangan Presiden. "Aturan adalah aturan," kata Achmad. Dirut Bank Mayapada Tantang Ted Sioeng Direktur Utama Bank Mayapada, Hariyono Tjahjarijadi menantang Ted Sioeng, debitur macet Bank Mayapada senilai Rp1,3 triliun, bertemu di meja hijau. Untuk menguji dugaan penyimpangan kredit di Bank Mayapada. “Jadi soal penyimpangan (kredit), saya pikir begini. Kalau memang beliau (Ted Sioeng) menganggap ada penyimpangan kenapa, beliau enggak kembali. Tinggal dihadapin saja kan. Tapi, sekarang orangnya enggak ada terus. Beritanya saja yang ramai,” kata Hariyono kepada wartawan, Rabu (21/6). Hariyono menilai, nasabah yang tidak mampu, atau tidak mau membayar utangnya, merupakan hal biasa terjadi di dunia perbankan. Untuk itu, Bank Mayapada menempuh jalur hukum untuk melindungi kepentingan nasabah. “Jadi intinya sebetulnya itu, kita sedang menagih nasabah yang bermasalah dengan kreditnya. Kami lakukan sesuai prosedur perbankan pada umumnya. Hanya itu saja, sih,” ujar Hariyono. Menurutnya, penggunaan jalur hukum dalam penyelesaian kredit antara Bank Mayapada dengan Ted Sioeng, lantaran Ted pernah berjanji akan melunasi utangnya. Namun yang terjadi, Ted bersama putrinya malah menghilang dan mengulur waktu pembayaran. “Jadi kita menggunakan jalur hukum karena ‘kurang kooperatif’,” ungkap Hariyono. Hariyono menerangkan, pemberian kredit kepada Ted dalam sepuluh tahun terakhir, berjalan baik-baik saja. Setiap akad kredit ditandatangani Ted. Sehingga, pencairan kredit bisa langsung ditransfer ke rekening Ted. “Kita memberikan kredit itu, kan ini untuk sepuluh tahun kreditnya. Selama kita berhubungan, itu semua berjalan dengan baik. Lancar-lancar saja. Kita memberikan kredit, tanda tangannya jelas. Proses pencairannya juga ke rekening beliau,” jelas Hariyono. Mencuatnya dugaan penyimpangan kredit di Bank Mayapada ini, berawal dari pengusaha Ted Sioeng mendapat fasilitas kredit sebesar Rp1,3 triliun, selama 7 tahun (2014-2021). Dinilai tak menjalankan kewajiban, Bank Mayapada menyita aset Ted serta mempolisikannya. Selanjutnya, Ted bersama putrinya, ditetapkan sebagai tersangka. Belakangan, Ted melayangkan surat kepada Menkopolhukam Mahfud MD. Dia menyampaikan adanya setoran untuk Dato Sri Thahir, selaku pemilik Bank Mayapada yang juga anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres). Angkanya mencapai Rp525 miliar. (MI)