Ada Peluang Jerat dengan Pasal Turut Serta Korupsi CPO, Kejagung Bakal Periksa Airlangga Lagi!

Rizky Amin
Rizky Amin
Diperbarui 1 Agustus 2023 12:28 WIB
Jakarta, MI - Kejaksaan Agung (Kejagung) berpeluang kembali meminta keterangan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto terkait kasus dugaan korupsi pemberian fasilitas ekspor crude palm oil (CPO). Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung, Febrie Adriansyah menyatakan ada peluang menjerat Ketua Umum Partai Golongan Karya (Golkar) itu dengan pasal turut serta dalam kasus tersebut. Pasalnya pada peristiwa kelangkaan CPO dan produk turunannya, Airlangga bertindak sebagai Menko Perekonomian yang mengeluarkan arahan-arahan. "Kalau ternyata sama, dia Pasal 55 dan 56 KUHP, bersama-sama dia, memang kehendak dia, itu yang lagi diuji. Nah makanya perlu pemeriksaan lagi," kata Febrie kepada wartawan, Selasa (1/8). Menurutnya, penerapan pasal tersebut semakin dimungkinkan, sebab perkara perorangan korupsi minyak goreng sudah terbukti di pengadilan. Baik di pengadilan tingkat pertama, banding, hingga kasasi, telah terbukti ada perbuatan melawan hukum. "Yang di pengadilan kan sudah diputus bahwa ternyata ini memang ada permainan kan," tuturnya. Tim penyidik pun kini tengah mendalami irisan kebijakan-kebijakan Airlangga Hartarto dengan perkara 5 terpidana perorangan. "Ketika minyak goreng ini langka, arahan dia, ada enggak irisannya dengan perbuatan melawan hukum yang sudah putus," pungkas Febrie. Seperti diketahui Kejagung tengah melakukan penyelidikan atas perkara dugaan korupsi izin ekspor minyak sawit mentah (CPO) dan turunannya periode 2021-2022. Di mana saat ini masuk dalam babak baru. Yaitu, menetapkan korporasi sebagai tersangka. Di mana pada Kamis (15/6) lalu, Kejagung telah menetapkan raksasa grup bisnis sawit, Wilmar, Musimas, dan Permata Hijau sebagai tersangka dengan dugaan merugikan negara sebesar Rp6,47 triliun akibat perkara ini. "Diduga, bukan diduga lagi, kerugian yang dibebankan berdasarkan putusan Kasasi dari Mahkamah Agung yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap adalah Rp6,47 triliun dari perkara minyak goreng," ungkap Ketut, Kamis (15/6). Sebelumnya Mahkamah Agung sudah menetapkan putusan tetap (inkracht) atas putusan pengadilan aksi dari ketiga korporasi tersebut terkait kasus korupsi dan menetapkan 5 tersangka, yaitu Terdakwa Indrasari Wisnu Wardhana (Pejabat Eselon I Kemendag), Terdakwa Pierre Togar Sitanggang (General Manager di Bagian General Affair Musim Mas), Terdakwa Dr Master Parulian Tumanggor (Komisaris PT Wilmar Nabati Indonesia), Terdakwa Stanley Ma (Senior Manager Corporate Affair Permata Hijau Group), dan Terdakwa Weibinanto Halimdjati alias Lin Che Wei (pihak swasta yang diperbantukan di Kemeendag). Kasus ini berawal dari tahun 2022 lalu, sebagai efek domino kisruh minyak goreng di dalam negeri. Di mana, pada tahun 2022 terjadi lonjakan hingga kelangkaan minyak goreng. Di saat bersamaan, pemerintah memberlakukan berbagai kebijakan untuk mengatasi kisruh tersebut, salah satunya wajib pemenuhan domestik (domestic market obligation/ DMO) bagi eksportir minyak sawit. Kasus ini menyeret pejabat eselon I Kementerian Perdagangan (Kemendag) kala itu, Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Indrasari Wisnu Wardhana. Bersama 4 orang lainnya, dia ditetapkan sebagai tersangka dalam dugaan tindak pidana korupsi dalam pemberian fasilitas ekspor CPO dan turunannya pada bulan Januari 2021 sampai dengan Maret 2022. Menurut Kejagung, penetapan status tersangka tidak lepas dari kebijakan Kemendag menetapkan DMO dan DPO (Domestic Price obligation) bagi perusahaan yang ingin melaksanakan ekspor CPO dan produk turunannya. Namun dalam pelaksanaannya perusahaan eksportir tidak memenuhi DPO dan tetap mendapatkan persetujuan ekspor dari pemerintah. Disebutkan Kejagung, terjadi permufakatan antara pemohon dan pemberi izin untuk fasilitas persetujuan ekspor. Dari alat bukti temuan Kejagung, persetujuan ekspor dikeluarkan kepada eksportir yang seharusnya ditolak karena tidak memenuhi syarat. Yaitu, telah mendistribusikan CPO dan RBD Olein dengan harga tidak sesuai harga penjualan dalam negeri (DPO). Juga, tidak mendistribusikan 20 persen dari ekspor CPO dan RBD Olein ke pasar dalam negeri sesuai ketentuan DMO. "Nah ketika pengajuan ekspor ini memang harus diteliti apakah memang DMO ini sudah ada. Nah ketika ini lolos seperti yang kita sampaikan bahwa ternyata di lapangan langka, tentunya ini menjadi pertanyaan bagi kita, apalagi penyidik," kata Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung Febrie Adriansyah dalam keterangan pers, Jumat (22/4/2022). Hingga kemudian, para tersangka dikenakan dakwaan pidana korupsi dalam pemberian fasilitas ekspor crude palm oil (CPO/ minyak sawit mentah) dan turunannya pada bulan Januari 2021 sampai dengan Maret 2022. Dalam persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada hari Rabu, 4 Januari 2023 lalu, Majelis Hakim menetapkan putusan vonis penjara dan denda atas 5 terdakwa tersebut. Terdakwa terbukti melanggar Pasal 3 Undang-Undang (UU) RI No 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU RI No 20/2001 tentang Perubahan Atas UU RI No 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP sebagaimana dakwaan subsidair. "Perbuatan terpidana menimbulkan dampak signifikan, yaitu terjadinya kemahalan serta kelangkaan minyak goreng. Akibatnya, untuk mempertahankan daya beli masyarakat atas minyak goreng, negara terpaksa menggelontorkan dana kepada masyarakat dalam bentuk bantuan langsung tunai sebesar Rp6,19 triliun," kata Ketut. "Dan, bagaimana diketahui, negara mengalami kerugian keuangan sebesar Rp6,47 triliun akibat perkara ini," pungkasnya. (Wan)