Sidang Gugatan Batas Usia Capres & Cawapres: MK dan Para Pendukung Pengkhianat Konstitusi?

Rizky Amin
Rizky Amin
Diperbarui 15 Oktober 2023 10:50 WIB
Jakarta, MI - Sejumlah aktivis dari berbagai latar belakang yang tergabung dalam Tim UI Watch dan Petisi 100 menggelar diskusi tentang gugatan batas usia calon presiden dan calon wakil presiden di Mahkamah Konstitusi (MK). Diskusi bertajuk "Sidang Gugatan Batas Usia Capres-Cawapres: MK dan Para Pendukung Adalah Pengkhianat Konstitusi!?" digelar pada Jumat (13/10) di Jakarta. Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) Anthony Budiawan sebagai narasumber pertama mengingatkan MK agar menjalankan tugasnya sesuai wewenang yang diberikan oleh konstitusi. Artinya, MK tidak boleh melanggar konstitusi. "Pertama, MK harus melihat apakah penggugat mempunyai legal standing. Apakah ada kerugian konstitusional yang dialami penggugat karena adanya batas usia minimal 40 tahun capres-cawapres. Penggugat tidak boleh mewakilkan pihak lain dalam melakukan gugatan ke MK. Karena sudah menjadi rahasia umum soal batas usia ini adalah untuk memberikan kesempatan kepada Gibran untuk dijadikan calon wakil presiden," ujar Anthony. Ia mempertanyakan, jika gugatan tersebut dilakukan untuk kepentingan Gibran, kenapa tidak Gibrannya sendiri yang menggugat MK. Jadi anda tidak bisa menggugat konstitusi untuk orang lain karena itu tidak ada legal standingnya,” kata Anthony "Yang menggugat itu PSI yang sekarang ketuanya Kaesang adiknya Gibran, dan kebetulan juga Ketua MK adalah Anwar Usman yaitu paman dari Gibran dan Kaesang, itulah kenapa MK dipelesetkan jadi Mahkamah Keluarga," tambahnya. Anthony mengatakan, PSI tidak memiliki legal standing untuk menggugat batas usia karena tidak bisa mencalonkan Capres/Cawapres, hal itu karena PSI tidak memenuhi parliamentary threshold pada 2019 lalu. "Karena tidak ada legal standing harusnya MK tidak boleh menerima gugatan itu," jelasnya. Namun jika MK menerima gugatan tersebut, kata Anthony, MK telah melanggar konstitusi. "Dalam Undang-undang Pemilu salah satu definisi pengkhianat negara adalah pelanggar konstitusi, karena itulah acara ini mempertanyakan apakah MK melanggar konstitusi sehingga menjadi pengkhianat konstitusi? Apabila melanggar konstitusi maka keputusannya tidak berlaku dan tidak bisa diterapkan," tuturnya. Narasumber lainnya, politikus yang juga sebagai ahli hukum DR Ahmad Yani SH MH menegaskan bahwa sesuai UU, bahwa batas umur Capres-Cawapres itu 40 tahun. "Di UU sudah menyatakan bahwa batas umur itu 40 tahun, artinya produk UU menginginkan dengan berbagai macam argumentasi bahwa disepakati itu 40 tahun," jelasnya. Menurut Yani, tidak ada kewenangan sedikit pun mandat yang diberikan konstitusi bagi MK untuk membentuk norma. "Kalau dia mengubah artinya mengubah norma dan membentuk norma baru, itu tidak bisa karena akan menimbulkan problematika baru," jelasnya. Yani mengingatkan bahwa MK itu sejatinya memiliki kedudukan sebagai negarawan. "Seorang negarawan itu dia tidak boleh ikut terlibat hal-hal yang berimplikasi pada politik praktis. Karena itu langkah MK seharusnya menolak dengan tegas karena ini bukan kewenangan MK untuk memeriksa, mengadili atau memutus perkara," jelasnya. "Atau supaya tidak ada tuduhan dianggap MK itu "Mahkamah Keluarga", karena membuka jalan supaya Gibran jadi Cawapres. Agar ini tidak ada tafsir kepentingan politik istana terhadap MK, kenapa MK tidak menunda pengambilan keputusan ini?" ujar Yani. Soal penundaan keputusan ini, kata Yani, pernah dilakukan MK pada 2014, yaitu tentang pemilu serentak. "Kenapa sekarang tidak?" tanyanya. Meski demikian, terkait MK, ia sependapat dengan usulan agar sebaiknya evaluasi total keberadaan MK. "Jangan-jangan MK sudah tidak diperlukan lagi keberadaannya," tuturnya. Anggota Badan Pekerja Petisi 100, Marwan Batubara menjelaskan tujuan diskusi tersebut dilakukan. Pihaknya berharap publik bisa paham situasi dan MK bisa mendengar, juga berharap MK tidak main-main dengan konstitusi dan undang-undang. Marwan mencoba untuk mengungkap dugaan motif adanya upaya gugatan batas usia calon presiden dan calon wakil presiden itu. "Dugaan pertama, ini keinginan Jokowi dan oligarki untuk melenggangkan kekuasaan," ujarnya. Dugaan kedua, lanjut Marwan, ada kekhawatiran kalau sudah lengser akan digugat secara hukum maka diperlukan pengamanan dengan menempatkan orang-orang yang nanti kalau terpilih bisa mengamankan kedudukan dan posisinya, syukur kalau tetap dominan. "Kalau anak dengan bapak itu satu paket, jadi harapannya tetap dominan. Dan dugaan ketiga, dalam rangka berburu rente, kata Marwan. Kemudian, ia juga mencoba mengungkap modus dibalik ini semua. "Kalau MK konsisten atau kalau masih punya moral itu tidak akan coba cawe-cawe untuk membuat kebijakan dengan menyatakan menerima perubahan menjadi 35 tahun atau pernah menjabat jadi kepala daerah maka boleh menjadi cawapres," ungkapnya. Menurutnya, hal ini tidak akan dilakukan MK jika konsisten dengan aturan yang disepakati melalui konsensus nasioanal melalui Pancasila, UUD 45 dan UU Pemilu. "Kita minta supaya MK mengingat amanat reformasi, TAP MPRS Nomor 19 tahun 98 tentang Penyelenggaraan pemerintah yang bersih dan bersih KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme). Artinya, MK yang lahir dari reformasi kalau tidak memperhatikan amanat tersebut maka bisa disebut juga pengkhianat reformasi," kata Marwan. Marwan menyimpulkan dalam gugatan ini ada beberapa modus, yaitu menghalalkan segala cara, mengkhianati konstitusi, melanggar UU, membunuh demokrasi, mengintervensi MK dengan diberi gratifiasi berbagai fasilitas melalui pihak ketiga dari UU MK No. 24 Tahun 2023 menjadi No. 7 Tahun 2020. Kemudian menyandera pimpinan partai, memanfaatkan dana pengusaha atau oligarki. "Jadi dengan kita paham motif dan melihat modusnya, maka sangat besar potensi putusannya nanti batas usia bisa turun atau dibuat norma baru dengan menambahkan jika pernah menjadi kepala daerah boleh mencalonkan sebagai cawapres," ujar Marwan. "Itulah yang kita khawatirkan, dan kita ingatkan MK, kalau anda melakukan itu maka anda sudah menjadi pengkhianat konstitusi, reformasi dan demokrasi," tandasnya.