Ekonomi China Loyo, India Diprediksi Pimpin Asia Pasifik

Rendy Bimantara
Rendy Bimantara
Diperbarui 1 Desember 2023 21:08 WIB
Industri Tekstil India (Foto: Reuters)
Industri Tekstil India (Foto: Reuters)

Jakarta, MI - Dengan perlambatan ekonomi Tiongkok, fokus pertumbuhan Asia-Pasifik diproyeksikan beralih ke Asia Selatan dan Asia Tenggara. S&P Global, lembaga pemeringkat, menyatakan hal itu. 

Dilansir CNBC International, Jumat (1/12) S&P memperkirakan ekonomi India akan semakin menguat dalam tiga tahun ke depan, memimpin pertumbuhan di kawasan Asia-Pasifik.

S&P meramal, PDB India untuk kuartal pertama 2024 diperkirakan mencapai 6,4 persen, lebih tinggi dari perkiraan mereka sebelumnya sebesar 6 persen.

S&P mengaitkan perubahan ini dengan peningkatan konsumsi domestik India yang menyeimbangkan inflasi pangan yang tinggi dan aktivitas ekspor yang buruk.

Demikian pula, negara-negara berkembang lainnya seperti Indonesia, Malaysia dan Filipina diperkirakan akan mengalami pertumbuhan PDB yang positif pada tahun ini dan tahun depan karena kuatnya permintaan domestik.

Namun, S&P menurunkan perkiraan pertumbuhan ekonomi India menjadi 6,5 persen pada tahun fiskal 2025, turun dari prediksi mereka sebelumnya sebesar 6,9 persen.

Ekonomi India diperkirakan akan naik kembali menjadi 7 persen pada tahun fiskal 2026.

Sebagai perbandingan, pertumbuhan Tiongkok diperkirakan sebesar 5,4 oersen pada tahun 2023, 0,6 persen lebih tinggi dari perkiraan S&P sebelumnya.

Sementara pertumbuhan pada tahun 2024 diperkirakan sebesar 4,6 persen, lebih tinggi dari perkiraan sebelumnya sebesar 4,4 persen.

"Persetujuan Tiongkok baru-baru ini terhadap penerbitan obligasi negara senilai 1 triliun renminbi Tiongkok (RMB) dan tunjangan bagi pemerintah daerah untuk memenuhi sebagian kuota obligasi tahun 2024, berkontribusi terhadap perkiraan pertumbuhan PDB riil kami," kata S&P dalam catatannya.

Namun, S&P memperingatkan bahwa gejolak di sektor real estat Tiongkok akan terus menjadi ancaman bagi perekonomiannya.

"Permintaan terhadap properti baru masih lesu, sehingga mempengaruhi arus kas pengembang dan penjualan lahan," kata Eunice Tan, kepala penelitian kredit Asia-Pasifik di S&P Global.

"Di tengah terbatasnya likuiditas, kendaraan pembiayaan pemerintah daerah (LGFV) yang memiliki banyak utang dapat menyebabkan tekanan kredit semakin meningkat dan berdampak pada posisi permodalan bank-bank Tiongkok," jelasnya.

Lembaga S&P menurunkan perkiraan pertumbuhan untuk Asia-Pasifik (tidak termasuk Tiongkok) tahun depan menjadi 4,2 persen dari 4,4 persen. Hal ini terjadi akibat guncangan energi yang disebabkan konflik Israel-Hamas serta risiko penurunan ekonomi AS.(Ran)