Pertumbuhan Ekonomi 2024-2026 Diproyeksikan Menurun, Apa Sebabnya?

Aldiano Rifki
Aldiano Rifki
Diperbarui 19 Desember 2023 17:19 WIB
Bundara HI (Foto: MI/Nuramin)
Bundara HI (Foto: MI/Nuramin)

Jakarta, MI - Bank Dunia (World Bank) telah memproyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia akan sedikit menurun di tahun 2024-2026. Hal itu sebagaimana tertuang dalam laporan Indonesia Economic Prospects Report yang dirilis Bank Dunia, Rabu (13/12) lalu.

Proyeksi itu didasarkan pada normalisasi harga komoditas. "Pertumbuhan PDB diperkirakan akan sedikit menurun ke rata-rata 4,9 persen pada tahun 2024-2026, dari 5 persen pada tahun tersebut. Hal itu diakibatkan karena mulai melemahnya lonjakan harga komoditas," kata Direktur Bank Dunia untuk Indonesia dan Timor-Leste, Satu Kahkonen dikutip pada Selasa (19/12).

Namun demikian, menurut Satu, Indonesia memiliki rekam jejak yang baik dalam mengatasi guncangan dan menjaga stabilitas ekonomi. "Tantangan bagi negara ini adalah memanfaatkan fundamental ekonomi yang sudah kuat untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat, lebih hijau, dan lebih inklusif,’’ kata dia.

Untuk dapat mewujudkannya, penting untuk terus menjalankan reformasi yang menghilangkan berbagai hambatan yang membatasi pertumbuhan efisiensi, daya saing, dan produktivitas. 

Kata dia, hal ini akan memungkinkan Indonesia untuk mempercepat pertumbuhan, menciptakan lapangan kerja yang lebih banyak dan lebih baik, serta mencapai visinya menjadi negara berpenghasilan tinggi pada tahun 2045.

Sementara itu, ekonom Utama Bank Dunia untuk Indonesia dan Timor-Leste Habib Rab mengatakan bahwa transisi Indonesia menuju perekonomian rendah karbon dan berketahanan iklim sebenarnya dapat membawa kepada fase baru pertumbuhan ekonomi dan pengentasan kemiskinan.

Menurutnya, Indonesia dapat memanfaatkan kemajuan yang telah dicapai dalam mengatasi tantangan perubahan iklim melalui kebijakan fiskal, keuangan, dan perdagangan.

"Kebijakan fiskal dapat membantu meningkatkan pendapatan dan mendisinsentifkan penggunaan bahan bakar fosil. Instrumen fiskal seperti obligasi hijau dapat memobilisasi pendanaan untuk mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim," katanya.

"Reformasi kebijakan perdagangan dapat mempermudah impor produk yang diperlukan untuk adaptasi dan mitigasi perubahan iklim," imbuh Habib.

Apa langkah Pemerintah?

Deputi Bidang Ekonomi Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas Amalia Adiningrat Widyasanti mengatakan bahwa implementasi ekonomi hijau bukanlah hambatan, melainkan peluang baru bagi pertumbuhan ekonomi di masa depan. 

"Ketika kita menerapkan ekonomi hijau secara masif dan menyeluruh, ini pasti memberi peluang baru bagi aktivitas perekonomian Indonesia, berkontribusi pada akselerasi pertumbuhan ekonomi," ujar Amalia saat kegiatan Launching Policy Brief Greenpeace Indonesia dan CELIOS: Nasib Transisi Ekonomi Hijau di Tahun Politik di Jakarta, Selasa (19/12).

Amalia menjelaskan, dalam perencanaan jangka panjang nasional 2025-2045, transisi ke ekonomi hijau diarahkan pada beberapa fokus utama.

Pertama, transisi energi menuju energi bersih dan terbarukan dengan target bauran energi terbarukan mencapai sekitar 60 persen pada 2045.

Kedua, penerapan transportasi ramah lingkungan, atau yang dikenal sebagai transportasi hijau. Ketiga, penerapan ekonomi sirkular di industri dan kehidupan sehari-hari.

"Penerapan ekonomi hijau menjadi fokus utama dalam Indonesia Emas, mulai tahun 2025 hingga 2045, menjadi bagian integral dari upaya transformasi ekonomi Indonesia," kata Amalia.

Soal tantangan, Amalia menekankan persiapan yang diperlukan, termasuk peningkatan Sumber Daya Manusia atau SDM, adopsi teknologi bersih, dan perluasan ekosistem pendukung melalui kebijakan dan regulasi yang mendukung ekonomi hijau di berbagai sektor kehidupan.

"Penerapan ekonomi hijau memerlukan perubahan besar yang harus didukung oleh ekosistem yang baik dan kebersamaan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi berkelanjutan 20 tahun ke depan," ujar Amalia.

Berbagai arah kebijakan, seperti peningkatan efisiensi energi, transisi energi yang berkeadilan, pengembangan smart grid, dan penerapan ekonomi sirkular, menjadi landasan bagi perubahan besar ini. Selain itu, Amalia juga menekankan pentingnya insentif fiskal dan nonfiskal untuk mendorong produk ramah lingkungan.

Menurutnya, ekonomi hijau bukan hanya tentang transisi energi, melainkan juga tentang penguatan pilar-pilar lainnya untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dalam dua dekade mendatang.

Dengan demikian, Indonesia memantapkan komitmennya untuk merangkul ekonomi hijau sebagai fondasi pertumbuhan masa depan.