PP Tapera Jokowi Melanggar Undang-Undang!

Firmansyah Nugroho
Firmansyah Nugroho
Diperbarui 3 Juni 2024 08:01 WIB
Pemerintah melalui PP Nomor 21 Tahun 2024 akan mewajibkan pekerja yang berpenghasilan minimal setara upah minimum untuk menjadi peserta Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) yang iurannya dipotong dari 2,5 persen gaji pekerja dan 0,5 persen dari pemberi kerja.
Pemerintah melalui PP Nomor 21 Tahun 2024 akan mewajibkan pekerja yang berpenghasilan minimal setara upah minimum untuk menjadi peserta Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) yang iurannya dipotong dari 2,5 persen gaji pekerja dan 0,5 persen dari pemberi kerja.

Jakarta, MI - Niat pemerintah membantu para pekerja agar dapat memiliki rumah melalui kebijakan iuran Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) tidak mendapatkan sambutan sebagaimana diharapkan. 

Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 tentang Perubahan atas PP Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) yang diteken Jokowi pada 20 Mei 2024 yang lalu dengan cepat memantik protes dari berbagai kalangan. 

Di media sosial, protes rencana penarikan iuran Tapera itu terus bergulir dan menjadi salah satu topik yang viral pemberitaannya.

Kebijakan itu tidak hanya menimbulkan keresahan di kalangan pengusaha, tetapi juga menyulut munculnya resistensi di kalangan pekerja dan PNS. Tidak sedikit warga masyarakat resah. 

Pasalnya, gaji buruh baik swasta maupun PNS akan dipotong setiap bulannya sebesar 2,5%, sementara itu pihak pengusaha atau perusahaan akan menanggung sebesar 0,5%.

Namun, BP Tapera menyatakan tidak semua pekerja di Indonesia wajib menjadi peserta Tapera. Budi Pudyo Nugroho mengatakan, dalam UU nomor 4 tahun 2016 dijelaskan hanya pekerja dengan gaji di atas upah minimum saja yang masuk menjadi peserta.

Dengan menjadi peserta Tapera, pekerja mandiri akan dikenakan iuran wajib sebesar 3% dari gajinya setiap bulan dan 2,5% bagi pekerja swasta, ASN, TNI/Polri, BUMN.

Adapun bagi pekerja yang gajinya di bawah upah minimum, tidak wajib.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Shinta Kamdani telah menyampaikan keberatan pada tahun 2016 lalu sebelum UU nomor 4 tahun 2021 disahkan.

"Kami sudah menyurati presiden, memberikan pandangan kami, masukan kami, namun sampai Peraturan Pemerintah (PP 21/2024) ini diterbitkan, belum ada tanggapan ya. Mungkin pemerintah punya sikap tersendiri kenapa harus jalan. Makanya kami pikir mungkin perlu klarifikasi," ujarnya dikutip pada Senin (3/6/2024).

Sementara itu, komunikolog politik dan hukum nasional, Tamil Selvan alias Kang Tamil menilai Peraturan Pemerintah (PP) 25/2020 yang disempurnakan dengan PP 21/2024 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) itu batal demi hukum.

Menurut dia, PP itu batal demi hukum, karena menyalahi amanah Pasal 28H Ayat 1 UUD 1945 yang menjadi dasar lahirnya UU 4/2016 tentang Tapera, yang mendasari dibentuknya PP itu.

“Pembuat PP itu tidak paham beda hak dan kewajiban. Frasa bertempat tinggal pada Pasal 28H itu adalah hak warga negara, kok malah diputarbalikan dan menjadi wajib untuk mengikuti dan membayar. Secara hukum ini cacat syarat objektifnya, maka batal demi hukum,” katanya dikutip pada Senin (3/6/2024).

Dia juga menilai, jika pemerintah bermaksud menghadirkan perumahan yang terjangkau bagi masyarakat, seharusnya meningkatkan program subsidi rumah yang secara nyata bermanfaat, daripada membuat aturan baru yang banyak mudharatnya.

“Rumah subsidi itu sangat baik dan bermanfaat, seharusnya ditingkatkan, bukan justru melakukan pemaksaan melalui UU Tapera,” ujarnya.

Masalah mendasar ketersediaan hunian, hubungan dia, adalah karena pemerintah tidak berdaulat dalam menentukan harga tanah di Indonesia, dan tidak mampu melawan oligarki properti yang mengatur harga tanah sesuka hati mereka.

"Harga tanah melambung tinggi dan negara tidak berdaya, bahkan ketika mau melakukan izin tanah untuk kepentingan umum pun kesulitan, karena yang menentukan harga oligarki".

"Ini yang harus dicarikan solusi, sehingga amanah Pasal 28H dapat dengan baik dalam menyampaikan ke seluruh masyarakat. Sekali lagi, hak jangan diubah jadi kewajiban yang menyengsarakan rakyat,” tandasnya.

Memaksa dan langgar konstitusi
Anthony Budiawan, Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) menilai pemerintah memaksa untuk menabung dan bahkan sewenang-wenang.

"Bukan saja sewenang-wenang, Peraturan Pemerintah tentang Tapera ini, dan dasar hukum yang digunakan, yaitu UU No 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat, secara transparan melanggar Konstitusi, sehingga bukan saja wajib ditolak, tetapi wajib batal demi hukum," kata Anthony kepada Monitorindonesia.com, Senin (3/6/2024).

"Dasar hukum UU Tapera mau meniru UU tentang Jaminan Sosial (Ketenagakerjaan) yang bersifat memaksa. Dalam UU Jaminan Sosial Ketenagakerjaan, setiap Pekerja wajib mengikuti program Jaminan Sosial (ketenagakerjaan) dengan iuran (premi) sebagian ditanggung Perusahaan (Pemberi Kerja) dan sebagian ditanggung Pekerja," bebernya menambahkan.

Tetapi, program Tapera tidak bisa disamakan dengan program Jaminan Sosial. Pemerintah tidak bisa memaksa pekerja untuk menabung, dengan alasan apapun, termasuk untuk perumahan rakyat, karena melanggar konstitusi. 

Sedangkan program Jaminan Sosial merupakan perintah konstitusi, Pasal 34 Undang-Undang Dasar (UUD) tentang Kesejahteraan Sosial berbunyi:

(1) Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara”, dan
(2) Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.
(3) Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.
(4) Ketentuan lebih lanjut tentang pelaksanaan pasal ini diatur dengan undang-undang.

Oleh karena itu, sesuai perintah konstitusi, terbitlah undang-undang UU No 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan UU No 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, yang sebagian sudah diubah dengan UU Cipta Kerja yang juga bermasalah konstitusi.

Sesuai perintah konstitusi Pasal 34 ayat (1), maka iuran Jaminan Sosial bagi masyarakat tidak mampu ditanggung pemerintah.

Sebaliknya, dasar hukum UU Tapera bertentangan dengan Konstitusi. Pertimbangan hukum UU Tapera merujuk Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28C ayat (1), Pasal 28H, dan Pasal 34 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Seolah-olah, pembentukan UU Tapera ini sudah memenuhi perintah konstitusi. 

"Tetapi, faktanya, tidak ada pasal-pasal konstitusi tersebut yang memberi wewenang kepada pemerintah (dan DPR) untuk membentuk UU yang mewajibkan masyarakat untuk menabung," jelasnya.

Pasal 20 dan Pasal 21 UUD hanya menyatakan wewenang DPR dalam membuat undang-undang. Pasal 28 terkait Hak Asasi Manusia. 

Sekali lagi Hak. Bukan kewajiban. "Pasal 28C ayat (1) menyatakan setiap orang mempunyai hak mengembangkan diri untuk memenuhi kebutuhan dasarnya, mendapat pendidikan, meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan. Sedangkan Pasal 28H menyatakan setiap orang mempunyai hak antara lain untuk hidup sejahtera, mempunyai tempat tinggal, …, memperoleh pelayanan kesehatan, memperoleh kesempatan untuk mencapai kesetaraan dan keadilan, mendapat Jaminan Sosial, dan perlindungan hak pribadi".

Pasal 28H menyatakan secara tegas bahwa mempunyai tempat tinggal adalah hak, bukan kewajiban, apalagi kewajiban untuk menabung.

Untuk memenuhi hak masyarakat ini, pemerintah berkewajiban menyediakan tempat tinggal bagi rakyatnya. Kalau tidak bisa, berarti pemerintah gagal dan tidak mampu. 

"Maka, pilihan terbaiknya adalah mundur. Bukan malah mewajibkan masyarakat untuk menabung, yang melanggar hak asasi manusia," ungkap Anthony.

Sedangkan Pasal 34 ayat (2) dan ayat (3) adalah tentang sistem Jaminan Sosial yang sudah melahirkan dua UU tentang sistem Jaminan Sosial seperti disebut di atas. Sekali lagi, perlu dipertegas, Pasal 34 UUD adalah perintah pengembangan sistem Jaminan Sosial, bukan untuk mewajibkan masyarakat untuk menabung.

Jadi, tidak ada satu pasal di dalam konstitusi yang menyatakan pemerintah bisa mewajibkan masyarakat untuk menabung. Di samping itu, pemaksaan menabung melanggar konstitusi Pasal 28 tentang Hak Asasi Manusia.

Oleh karena itu, UU Tapera wajib batal karena menyimpang dari UUD, artinya tidak ada dasar hukumnya berdasarkan UUD, bahkan melanggar konstitusi Hak Asasi Manusia, yang pada prinsipnya, masyarakat mempunyai hak bebas memilih untuk menabung atau konsumsi: tidak bisa dipaksa.

Kenapa pemerintah terus nekat membuat UU bermasalah dan melanggar konstitusi? Apakah demi pengembangan dan pembiayaan proyek perumahan swasta yang baru-baru ini mendapat status Proyek Strategis Nasional? Nampaknya, UU yang dibuat pemerintah selalu diwarnai dengan motif rente ekonomi terselubung yang merugikan masyarakat umum.

Padahal, BPJS ketenagakerjaan sudah dapat membiayai program kepemilikan rumah bagi peserta BPJS ketenagakerjaan. Jadi, untuk apalagi Tapera yang pesertanya sama dengan BPJS Ketenagakerjaan?

Atau, pemerintah sudah kehabisan sumber pembiayaan utang untuk membiayai defisit APBN yang terus membengkak? Apakah karena sebagian besar uang Haji dan uang BPJS ketenagakerjaan sudah menipis digunakan untuk membeli surat utang negara, dan sekarang perlu Tapera, yang diplesetkan menjadi TAbungan atas PEnderitaan RAkyat?

Oleh karena itu, Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah tentang Tapera wajib batal karena sewenang-wenang dan melanggar konstitusi.

"Kalau saja DPR berdaulat, mungkin Presiden Jokowi sudah berkali-kali kena impeachment, karena (terindikasi kuat) berkali-kali melanggar konstitusi. Seperti UU KPK, UU Cipta Kerja, UU IKN, atau upaya-upaya lain seperti Perpres Iuran Pariwisata, atau wacana pemberian subsidi untuk kereta cepat yang sebagian dimiliki asing," tutupnya.

Topik:

tapera jokowi uu