Dekarbonisasi Hilirisasi Mineral, Kementerian ESDM akan Alihkan Batu Bara ke Gas

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 8 Agustus 2024 4 jam yang lalu
Kementerian ESDM (Foto: Dok MI/Aswan)
Kementerian ESDM (Foto: Dok MI/Aswan)

Jakarta, MI - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) berencana mengalihkan penggunaan energi batu bara menjadi gas pada smelter di Sulawesi. Kebijakan ini dilakukan sebagai upaya dekarbonisasi hilirisasi mineral. 

Plt Direktur Jenderal Migas Kementerian ESDM Dadan Kusdiana mengatakan, listrik yang diproduksi dari gas mengeluarkan emisi yang lebih sedikit dibandingkan dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara.

Namun, Dadan mengatakan Kementerian ESDM perlu melakukan kajian yang lebih detail untuk menetapkan jumlah dan kapasitas batu bara yang bakal dialihkan dengan gas. 

“Saat ini ada beberapa temuan lapangan gas di wilayah Selat Makassar yang potensial untuk gas nya nanti dimanfaatkan untuk pembangkit listrik,” kata Dadan dikutip Kamis (8/8/2024). 

Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik, dan Kerja Sama (KLIK) Kementerian ESDM Agus Cahyono Adi mengonfirmasi  pemerintah membutuhkan investasi senilai US$14 miliar (atau setara Rp226,2 triliun asumsi kurs saat ini) untuk memenuhi kebutuhan listrik smelter Sulawesi hingga 2030 dengan pembangkit listrik tenaga gas (PLTG). 

Investasi tersebut meliputi US$10,7 miliar untuk pembangkit; US$2,3 miliar untuk transmisi; dan US$1 miliar gardu induk.

Sebelumnya, Menteri ESDM Arifin Tasrif mengatakan pihaknya berupaya melakukan penyediaan energi bersih di Sulawesi, sebagai wilayah yang memiliki banyak smelter. Dia menilai, kebutuhan listrik untuk smelter saat ini mencapai 20 gigawatt (GW) dan dipenuhi melalui Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU).

Menurut Arifin, smelter merupakan industri yang membutuhkan energi besar. Bahkan di Sulawesi sendiri, suatu area smelter yang hanya 4.500 hektare membutuhkan energi listrik hampir mencapai 7 GW. 

Sekadar catatan, kebutuhan listrik terbesar di Sulawesi adalah untuk kebutuhan listrik smelter hingga 2030 yang mencapai 11.139 megawatt (MW), dengan perincian 1.000 MW pada 2024, 2.763 MW pada 2027, dan 7.376 MW pada 2030. 

"Kita akan menurunkan persentase pasokan listrik untuk smelter ini. Yang sebelumnya menggunakan batu bara kita alihkan dengan menggunakan gas," jelas Arifin.

Alokasi gas akan didapatkan dalam waktu yang tidak terlalu lama, dengan berakhirnya kontrak gas bumi Donggi Senoro pada 2027 sebesar 337 MMSCF dapat dimanfaatkan untuk PLTGU Wellhead baru dengan kapasitas 1.800 MW. 

Arifin juga mengatakan terdapat sebagian potensi gas bumi melalui gas pipa dari Lapangan ENI Muara Bakau di Selat Makassar (antara Kalimantan-Sulawesi) sebesar 500 MMSCFD juga dapat dimanfaatkan untuk membangun PLTGU baru di Palu dengan kapasitas 2.650 MW.

Listrik dari kedua PLTGU kemudian disalurkan melalui transmisi 500 kV untuk menyuplai smelter klaster Huadi di Sulawesi Selatan, Pomala-Ceria (Poci) dan Konawe-Morowali (Kemo) di Sulawesi Tenggara.

"Jadi, kita rencana gas yang dari sini [Kalimantan], mudah-mudahan, Selat Makassar, itu kita tarik pipa, ke Palu. Di sini kita bikin pembangkit gas [Sulawesi], baru tarik transmisi. Di sini juga ada LNG nih. Berakhirnya kontrak gas bumi Donggi Senoro 2027 selama ini LNG diekspor terus".

"Kita minta nanti untuk domestik. Dari sini kita tarik lagi. Dari sini, nanti kita bangun pembangkit gas. Tarik jaringan lagi sehingga ini bisa mendukung carbon reduction program di industri-industri smelter," timpal Arifin.

Listrik dari kedua PLTGU kemudian disalurkan melalui transmisi 500 kV untuk menyuplai smelter klaster Huadi di Sulawesi Selatan, Pomala-Ceria (Poci) dan Konawe Morowali (Kemo) di Sulawesi Tenggara. 

"Jika harga gas untuk kedua PLTGU mengikuti HGBT sekitar 6 US$/MMBTU dan toll fee transmisi 3,88 cUS$/kWh dengan harga listrik sekitar 11 cUS$/kWh maka itu cukup kompetitif," pungkasnya.