Bagaimana Penuntasan Skandal Jaksa Pinangki Setelah Jenderal Napoleon Dieksekusi

mbahdot
mbahdot
Diperbarui 17 November 2021 16:25 WIB
Monitorindonesia.com - Tim jaksa eksekutor dari Kejari Jakarta Selatan telah mengeksekusi Irjen Pol Napoleon Bonaparte dari Rutan Bareskrim ke Lapas Cipinang, pada Selasa (16/11/2021) sore. Eksekusi terhadap Napoleon dilaksanakan menyusul putusan Mahkamah Agung (MA) pada tingkat kasasi yang menguatkan putusan pidana 4 tahun penjara dari Pengadilan Tipikor Jakarta kepada Napoleon. Pelaksanaan eksekusi Jenderal Napoleon dilakukan berdasarkan Surat Perintah Pelaksanaan Putusan Pengadilan (P-48) Nomor: Prin- 1128/M.1.14/Fu.1/11/2021 tanggal 15 November 2021 dan Berita Acara Pelaksanaan Putusan Pengadilan (PIDSUS-38). Kapuspenkum Kejaksaan Agung, Leonard Simanjuntak menyebutkan, eksekusi terhadap jenderal polisi yang terbelit perkara mafia hukum Joko Tjandra dan Jaksa Pinangki itu dilaksanakan setelah perkaranya berkekuatan hukum tetap sesuai Putusan Mahkamah Agung R.I. Nomor : 4356 K/Pid.Sus/2021. “Dalam eksekusi terhadap Terpidana Irjen Pol Napoleon Bonaparte di Lapas Kelas I Cipinang, telah dilakukan pemeriksaan kesehatan dan swab antigen dengan hasil negatif Covid-19 serta dilakukan dengan memperhatikan protokol kesehatan ketat,” kata Leonard, Rabu (17/11/2021). Jenderal Napoleon dipidana dalam perkara red notice Joko Tjandra dan terkait kasus mafia hukum pengurusan Fatwa MA oleh Jaksa Pinangki. Skandal ini menjadi perhatian ketika Joko Tjandra dalam status buron diketahui masuk ke Jakarta untuk mengurus peninjauan kembali sebelum dijemput dari Malaysia untuk mengikuti proses hukum. Selain Napoleon, MA juga telah memutus perkara Joko Tjandra. Sedangkan Pinangki perkaranya hanya sampai tingkat banding karena penuntut umum merasa vonis pidana 4 tahun penjara sudah sesuai tuntutan sehingga tidak mengajukan kasasi. Klaster Skandal mafia hukum ini menjadi sorotan terlebih Bareskrim Mabes Polri telah membagi tiga klaster pengusutan kasus ini setelah berhasil memulangkan Joko dari Malaysia. Klaster pertama terkait penanganan perkara Joko pada medio 2008-2009 dengan menelisik penyalahgunaan wewenang. Klaster kedua terkait peristiwa pertemuan Djoko Tjandra dengan Pinangki yang penanganannya diserahkan kepada Kejagung. Sedangkan klaster ketiga terkait pidana penghapusan red notice dan pembuatan surat jalan palsu di mana Polri menjerat Joko Tjandra, Anita Kolopaking, Brigjen Prasetijo Utomo dan Irjen Napoleon Bonaparte. Namun dalam perjalanannya tidak ada nama-nama lain yang dijerat dalam kasus ini. Begitu pula dalam perkara Pinangki di Kejagung yang hanya terhenti pada Pinangki, sedangkan jaksa-jaksa lain yang terindikasi ikut bermain tidak dihadirkan untuk bersaksi di persidangan. Diketahui terdapat nama-nama termasuk atasan Pinangki yang tidak diperiksa, padahal terdapat nota dinas izin pelesiran kepada Pinangki untuk bertemu Joko Tjandra. Begitu pula pertemuan-pertemuan yang dilakukan oleh Jaka Tjandra kepada sejumlah pihak ketika di Jakarta, semuanya terkesan mengendap dan tidak berlanjut. Skeptisisme perkara Pinangki bakal tuntas muncul ketika orang dekat Joko Tjandra, Rahmat, tidak ditersangkakan oleh Kejagung. Padahal Rahmat diketahui sebagai kaki tangan Joko untuk menghubungi banyak pihak dan terdapat bukti adanya foto-foto pertemuan. Koordinator Maki, Boyamin Saiman, sempat mengajukan praperadilan agar KPK turun melakukan penyidikan dalam perkara ini. Khususnya untuk mengusut kode-kode yang terungkap dalam persidangan Pinangki. Kode yang dimaksud yaitu “Bapak ku”,?“Bapak mu”, yang diyakini merujuk pada “King maker” atau aktor utama yang mengurus Joko Tjandra, namun upaya hukum praperadilan ditolak. Belakangan kasasi Joko Tjandra juga ditolak menyusul Napoleon yang perkaranya lebih dulu inkrah. Apakah ini pertanda skandal hukum Joko Tjandra dan Pinangki sudah tutup buku?