BNI Biayai Perusahaan Batu Bara Tanpa Agunan, Akademisi: KPK Bisa Turun

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 2 Juni 2022 07:33 WIB
Jakarta, MI - PT Bank Negara Indonesia (persero) Tbk (BNI) tengah menjadi sorotan lantaran memberikan pembiayaan tanpa agunan atau agunannya tidak sepadan kepada grup perusahaan batu bara (BG) di Sumatera Selatan (Sumsel). Banyak pihak mengkhawatirkan jika pinjaman yang diberikan kepada bank perusahaan plat merah tersebut berdampak buruk. Salah satu dampak yang dikhawatirkan ialah munculnya kredit macet dan bisa dikategorikan korupsi dengan dua syarat. Akademisi Fakultas Hukum Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta), Banten Agus Prihartono menilai, BNI bisa mendapatkan sanksi hingga didalami Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) jika terbukti menyalahi aturan lantaran memberikan pembiayaan tanpa agunan kepada perusahaan batu bara. “Dilihat regulasi apakah pemberian dana tersebut tanpa agunan menyalahi undang-undang atau tidak, kalau menyalahi regulasi baik itu peraturan OJK atau prudential banking, hal itu maka dapat dikenakan sanksi dan KPK bisa turun itu,” tegas dia, Kamis, (2/5). Ia pun membeberkan, sejumlah peraturan perundang-undangan dan peraturan yang berpotensi dilanggar oleh BNI lantaran memberikan pembiayaan kepada perusahaan batu bara. Pertama, peraturan OJK nomor 51/POJK.03/2017 tentang Penerapan Keuangan Berkelanjutan bagi Lembaga Jasa Keuangan, Emiten, dan Perusahaan Publik, dimana telah menjelaskan terdapat 12 kategori kegiatan usaha berkelanjutan. “12 katagori tersebut kalau untuk melakukan pembiayaan ya itu harus berdasarkan aturan yang terterakan oleh OJK, dan kemudian dalam bidang perbankan itu ada namanya asas prudential banking dalam mengelola keuangan serta pembiayaan yang melibatkan bank,” katanya. Ia menekankan, prudential banking harus diperhatikan perbankan. Ia pun menyarankan, agar sektor perbankan dapat berhati-hati dalam memberikan pembiayaan atau pinjaman kepada perusahaan. Hal itu, tegas dia, termasuk soal data nasabah dan mengetahui seluk beluk serta asal usul nasabah tersebut sehingga pada akhirnya kembali lagi pada kepercayaan nasabah. “Nanti apabila ada regulasi yang dilanggar dalam ketentuan undang-undang perbankan tentang prudential banking ini, itu ada dalam pasal 49 ayat 2 huruf B. Dimana disitu ada ancaman pidana minimal 3 tahun dan maksimal 8 tahun dan ada denda maksimum juga 100 miliar,” paparnya. Dengan demikian, ia berharap, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) selaku pengawas juga dapat memanggil jajaran direksi PT BNI perlihal pembiayaan tanpa agunan kepada perusahaan batu bara yang notabene merusak lingkungan. “Saya mengkhawatirkan perusahaan juga akan memiliki dampak penurunan yang pasti trust dari masyarakat, yang pasti itu akan merugikan perusahaan itu sendiri itu, karena BNI dikenal dengan yang dingin tetapi mengapa mendanai suatu perusahaan yang notabenenya merusak alam,” tandasnya. Sebelumya, Corporate Secretary BNI, Mucharom tidak bisa menjawab soal pendanaan terhadap grup perusahaan BG di Sumatera Selatan. Namun pihaknya mengakui bahwa proses pemberian dana telah melalui serangkaian proses yang mengedepankan prinsip good corporate governance dan compliance terhadap ketentuan regulator demi memberikan kenyamanan dan keamanan kepada para nasabah maupun debitur. Sehingga seluruh aturan baik internal maupun eksternal terpenuhi. “Bagaimanapun kita harus realistis, energi fosil masih dibutuhkan masyarakat Indonesia. Adapun, penyaluran kredit kepada sektor batu bara hanya 2 persen terhadap total kredit BNI. Secara umum kredit kepada sektor batubara sampai dengan ini dalam posisi lancar,” kata Mucharom. Ia pun membeberkan jika sejak Januari hingga Maret 2022, BNI cukup agresif mengucurkan pembiayaan ke sektor energi baru terbarukan (EBT) senilai Rp10,3 triliun, berikutnya, pembiayaan untuk pencegahan polusi senilai Rp6,8 triliun, dan pembiayaan hijau lainnya Rp23,3 triliun. Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI) sendiri memastikan akan meminta keterangan jajaran Direksi PT Bank Negara Indonesia (persero) Tbk atau BNI terkait dugaan pendanaan kepada perusahaan batu bara di Sumatera Selatan (Sumsel) yang dilakukan tanpa agunan. Hal itu disampaikan Anggota Komisi VI DPR RI Herman Khaeron merepons kabar BNI yang memberi pinjaman atau pendanaan kepada perusahaan batu bara. Pinjaman dari BNI sendiri terdaftar pada Global Coal Exit List (GCEL) tahun 2020. “Komisi VI (DPR) tentu akan meminta keterangan atas berbagai masalah yang menjadi sorotan publik,” kata Herman, Selasa,(31/5). [Ode]

Topik:

batu bara BNI