Demi Istri Sambo yang Tak Ditahan, KUHAP Harus Direvisi!

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 3 September 2022 00:43 WIB
Jakarta, MI - Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) meminta pemerintah dan DPR merevisi Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) agar polemik penahanan seperti tersangka istri eks Kadiv Propam Irjen Pol Ferdy Sambo, Putri Candrawathi kasus pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat (J) tak terjadi lagi. Istri mantan Kadiv Propam Polri, Irjen Ferdy Sambo, Putri Candrawathi, diketahui tidak ditahan usai diperiksa selama 12 jam sebagai tersangka kasus dugaan pembunuhan Brigadir J pada Rabu (31/8/2022). Putri hanya diwajibkan wajib lapor dua kali dalam seminggu. Padahal, kasus yang menjerat istri Sambo itu terancam hukuman mati. Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Erasmus Napitupulu menekankan, terdapat sejumlah persoalan terkait hukum penahanan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). "Sudahlah kita harusnya bisa bersepakat bahwa KUHAP sudah tak lagi mendukung sistem peradilan pidana yang akuntabel, salah satunya dalam hukum tentang penahanan yang bisa sangat tidak konsisten diterapkan oleh aparat penegak hukum utamanya penyidik," jelas Erasmus, Jumat (2/9). ICJR pun membeberkan sejumlah persoalan terkait aturan penahanan yang diatur KUHAP. Pertama, lanjut dia, keputusan untuk menahan dalam ketentuan Pasal 21 KUHAP hanya digantungkan oleh aparat penegak hukum dalam hal ini penyidik. Padahal, hal tersebut membuat sistem peradilan pidana di Indonesia tidak akuntabel. Dalam pasal 9 Konvenan Internasional Hak Sipil dan Politik atau International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) menyatakan, orang yang ditahan harus segera dihadapkan kepada hakim atau pejabat lain yang diberi wewenang oleh hukum untuk menjalankan kekuasaan kehakiman. Otoritas ini, menurut Erasmus, menawarkan jaminan yang diperlukan untuk independensi dari eksekutif dan para pihak yang terlibat dalam penahanan. "Sehingga KUHAP harus direvisi memastikan adanya peran hakim pemeriksa pendahuluan yang betugas salah satunya menguji kebutuhan untuk menahan/tidak secara akuntabel, tidak hanya pertimbangan penyidik semata," tegasnya. Kedua, tambah dia, KUHAP tidak memberikan kewajiban aparat penegak hukum untuk secara objektif mengurai terpenuhinya syarat-syarat dapat dilakukannya penahanan. Padahal, kata Erasmus, alasan penahanan tidak dapat dijelaskan hanya dengan narasi yang abstrak, yang berbasis stereotype ataupun alasan yang diulang-ulang. Perlu ada pertimbangan kasus per kasus yang kuat tentang alasan mengapa seseorang akan melarikan diri ataupun menghalangi penyidikan. "Hal ini tidak terjadi dalam praktik di Indonesia, jika kita lihat surat perintah penahanan, maka uraian alasan penahanan tidak pernah dijabarkan secara rinci dan kasuistis, hanya narasi copy paste yang diulang-ulang. Pendekatan yang digunakan oleh penyidik dalam menentukan penahanan ini adalah dengan pendekatan kewenangan, terdapat pemahaman bahwa penyidik telah memiliki kewenangan penahanan sehingga tidak diperlukan adanya uraian lagi. Dengan sistem tanpa hakim pemeriksa seperti saat ini, penyidik tidak terbiasa menguraikan alasan penahanan secara akuntabel," paparnya. Lebih lanjut, Erasmus menyebut yang ketiga adalah KUHAP tidak mengakomodir pertimbangan HAM dan gender dalam rumusannya. Erasmus menyatakan, seharusnya terdapat penegakan dalam KUHAP bahwa otoritas yang melakukan penahanan harus terlepas dari aparat penegak hukum, sehingga penahanan di kepolisian dan kejaksaan harus dihapuskan. Harus ada penekanan bahwa yang didahulukan adalah penahanan non-rutan, yang justru tidak diefektifkan di Indonesia. "Dan juga untuk tersangka atau terdakwa dengan kerentanan tertentu misalnya ibu, perempuan hamil, lansia harus dipertimbangkan untuk dihindarkan penahanan rutan," katanya. Dalam kesempatan ini, ICJR menekankan, penahanan terhadap seorang tersangka bukan merupakan keharusan, bukan suatu kewajiban. Dikatakan, tidak mesti orang yang menjadi tersangka harus ditahan. Penahanan hanya apabila kepentingan pemeriksaan dibutuhkan, misalnya jika tidak ditahan kepentingan pemeriksaan akan terhambat. "Selain itu, untuk tersangka perempuan dengan kebutuhan spesifik berbasis gender harus dipertimbangkan, misalnya apakah perempuan tersebut memiliki beban pengasuhan, menjadi pengasuh utama ataupun sedang hamil harus dihindarkan dari penahanan. Hal ini berdasarkan pertimbangan hak asasi manusia harus menjadi acuan penilaian ketika penyidik akan menahan atau tidak," pungkasnya.