Saksi Ahli Poligraf Sebut Tes Kebohongan Ferdy Sambo Cs Akurat 93 Persen

Aldiano Rifki
Aldiano Rifki
Diperbarui 14 Desember 2022 16:01 WIB
Jakarta, MI - Saksi ahli Poligraf, Aji Febriyanto Ar-Rosyid menyebut teknik yang digunakan pihaknya dalam melakukan tes poligraf untuk mengedeteksi kebohongan Ferdy Sabo Cs memiliki nilai keakuratan di atas 93 persen. Hal tersebut disampaikan Aji ketika menjelaskan perihal tes poligraf yang dilakukan dalam pemeriksaan terhadap para terdakwa kasus pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J, Ferdy Sambo Cs, Rabu (14/12). Aji juga merupakan seorang anggota Polri yang menjabat sebagai selaku Kaur Bidang Komputer Forensik. Ia diminta keterangannya untuk dengan terdakwa Ferdy Sambo, Putri Candrawathi, Kuat Ma'ruf, Richard Eliezer, dan Ricky Rizal. Pada awal persidangan, majelis hakim banyak menggali informasi soal penggunaan alat poligraf dalam mendeteksi kebohongan. Ahli menyebut alat ini memiliki keakuratan hingga 93 persen. "Apa poligraf itu?" kata majelis hakim bertanya kepada Aji. "Poligraf adalah aktivitas pemeriksaan dengan menggunakan alat poligraf untuk menentukan seseorang itu apakah terindikasi berbohong atau jujur, Yang Mulia," jawab Aji. "Bisa Saudara terangkan apakah poligraf ini mempunyai ketepatannya berapa persen?" tanya hakim. "Mohon izin, sesuai dengan jurnal yang dikeluarkan oleh asosiasi poligraf Amerika Yang Mulia, untuk teknik yang kita gunakan mempunyai keakuratan di atas 93 persen, Yang Mulia," jawab Aji. "Memiliki nilai keakuratan di atas 93 persen," kata hakim menegaskan. Hakim kemudian menggali bagaimana mekanisme pemeriksaan dengan poligraf ini. "Boleh Saudara terangkan bagaimana mekanisme Saudara mengambil keterangan mereka dan memeriksa keterangan mereka?" tanya hakim. "Pemeriksaan poligraf dimulai dari permintaan dari penyidik. Setelah ada permintaan dari penyidik, kami selaku pemeriksa poligraf melakukan koordinasi dengan penyidik mengenai isu yang akan diangkat, pada saat proses pemeriksaan. Kemudian setelah itu kami mempelajari konstruksi kasus seperti apa kemudian menentukan waktu, setelah itu dilakukan pemeriksaan Yang Mulia," jawab Aji. Aji kemudian menjelaskan tiga tahapan pemeriksaan dengan poligraf. Pertama, yakni pre-test. tahapan ini di mana seorang pemeriksa menjelaskan mekanisme pemeriksaan poligraf di dalamnya termasuk soal riwayat kesehatan, riwayat sosial dan menyamakan persepsi soal kronologi kejadian. Kedua, ada tahapan tes. Tahapan ini ditandai dengan pemeriksaan terperiksa yang dipasangi alat-alat berupa sensor-sensor. Mulai dari sensor pernapasan dada, sensor pernapasan perut, sensor elektro denma, dan sensor radio vaskular. "Setelah itu, setelah seseorang terperiksa diberikan dipasang alat-alat kemudian diberikan pertanyaan-pertanyaan Yang Mulia, sesuai metode yang kita gunakan," kata Aji. Ketiga, post-test. Tahapan ini menganalisa grafik dari hasil pemeriksaan. Pemeriksan grafik ini dilakukan secara tim, tidak individual untuk menentukan apakah terperiksa terindikasi bohong atau jujur. "Menurut standar dari Amerika ya, itu tingkat keakuratannya 93 persen ya? 7 persen sisanya?" tanya hakim. "7 persen sisanya lebih ke ini Yang Mulia, ke-expert-an pemeriksanya Yang Mulia," jawab Aji. "Yang pemeriksa atau terperiksa?" tanya hakim. "Pemeriksa Yang Mulia," jawab Aji lagi. "Oh jadi tergantung pemeriksanya, kalau dia punya kepandaian bisa lolos, begitu? atau bagaimana?" tanya hakim lagi. "Semakin pandai seorang pemeriksa, maka nilai keakuratan pemeriksaan ini semakin tinggi Yang Mulia. Untuk nilai ambang bawahnya 93 persen," jawab Aji. Dia pun menjelaskan Polri tak sering menggunakan alat ini. Namun dia memastikan Polri punya teknologinya. Hakim juga bertanya apakah hasil poligraf ini bisa dimanipulasi atau tidak. "Selama ini, selama pengalaman kami Yang Mulia belum ada yang pernah memanipulasi pemeriksaan poligraf Yang Mulia," jawab Aji. "Kalau di dalam jurnal?" tanya hakim. "Kalau di jurnal ada Yang Mulia, siap, disebut dengan countermeasure Yang Mulia," jawab Aji. Aji pun diminta menjelaskan soal manipulasi hasil poligraf dari jurnal tersebut. "Kalau countermeassure yaitu tindakan-tindakan dari seorang terperiksa bagaimana seorang terperiksa ini berusaha untuk menyelamatkan diri sendiri Yang Mulia, dan selama saya baca di jurnal dan sharing-sharing dengan senior yang sudah lebih berpengalaman dalam pemeriksaan poligraf, dari tahun 60 itu hanya sekitar 4-5 orang yang lolos pemeriksaan poligraf," jawab Aji. "Kalau dipresentasekan?" tanya hakim. "Dari jutaan pemeriksaan Yang Mulia, karena di Amerika di negara maju sendiri pemeriksaan poligraf intens dilakukan Yang Mulia," pungkas Aji. Dalam perkara ini, Ferdy Sambo, Bharada Richard Eliezer alias Bharada E, Putri Candrawathi, Bripka Ricky Rizal alias Bripka RR dan Kuat Maruf didakwa melakukan pembunuhan berencana. Kelima terdakwa didakwa melanggar pasal 340 subsidair Pasal 338 KUHP juncto Pasal 55 ayat 1 ke (1) KUHP dengan ancaman maksimal hukuman mati. Tak hanya dalam kasus pembunuhan berencana Brigadir J, khusus untuk Ferdy Sambo juga turut dijerat dalam kasus perintangan penyidikan atau obstruction of justice bersama Hendra Kurniawan, Agus Nurpatria, Chuck Putranto, Irfan Widianto, Arif Rahman Arifin, dan Baiquni Wibowo. Para terdakwa disebut merusak atau menghilangkan barang bukti termasuk rekaman CCTV Komplek Polri, Duren Tiga. Dalam dugaan kasus obstruction of justice tersebut mereka didakwa melanggar Pasal 49 juncto Pasal 33 subsidair Pasal 48 ayat (1) juncto Pasal 32 ayat (1) UU ITE Nomor 19 Tahun 2016 dan/atau dakwaan kedua pasal 233 KUHP subsidair Pasal 221 ayat (1) ke 2 KUHP juncto pasal 55 ayat 1 ke (1) KUHP. #Tes Kebohongan Ferdy Sambo #Tes Kebohongan Ferdy Sambo

Topik:

Ferdy Sambo