Rawan Konflik Hukum, Eks Kepala BNN Minta DPR Awasi SKP2 Kasus Narkotika

Aldiano Rifki
Aldiano Rifki
Diperbarui 2 Januari 2023 18:49 WIB
Jakarta, MI - Mantan Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) Anang Iskandar meminta Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) atau Presiden agar mengawasi dan menyetop praktek penghentian penuntutan (SKP2) perkara narkotika, atas dasar restorative justice atau keadilan restoratif yang disetujui JAM PIDUM Kejaksaan Agung RI. Pasalnya, kata dia, Penghentian Penuntutan (SKP2) Berdasarkan Keadilan Restorative Justice sesuai Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 dan Surat Edaran JAM-Pidum Nomor: 01/E/EJP/02/2022 tanggal 10 Februari 2022 tentang Pelaksanaan Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratve sebagai perwujudan kepastian hukum, tidak berdasarkan UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika. "Perlu diketahui bahwa UU Nomor 35 tahun 2009 tentang narkotika adalah Undang-undang super khusus yang mengatur narkotika sebagai obat yang dapat menimbulkan sakit ketergantungan, secara pidana, medis dan sosial sebagai bagian yang tidak terpisahkan, bersifat lex specialis superior yaitu mengesamping ketentuan UU yang bersifat umum dan khusus termasuk UU yang mengatur tentang Kejaksaan," kata Anang, Senin (2/1). Kalau Kejaksaan Agung menggunakan ketentuan dalam undang-undang kejaksaan, tegas Anang, maka akan terjadi konflik hukum dengan undang-undang narkotika yang bersifat lex specialis superior tentang penegakan hukum tindak pidana narkotika. Menurut Anang, Undang-undang narkotika, hanya memberikan kewajiban dan kewenangan kepada hakim untuk me-restoratif bentuk hukuman untuk mewujudkan keadilan restorative. Sedangkan penuntut umum termasuk penyidik narkotika dan hakim, berdasarkan turunan UU narkotika yaitu PP no 25 tahun 2011 tentang wajib lapor pecandu, diberi kewajiban dan kewenangan untuk menempatkan penyalah guna kedalam lembaga rehabilitasi selama proses pemeriksaan guna mendukung mewujudkan keadilan restorative. Penempatan penyalah guna kedalam lembaga rehabilitasi atas perintah penuntut, termasuk atas perintah penyidik narkotika dan hakim diperhitungkan sebagai masa menjalani hukuman, menggantikan upaya paksa penahanan dalam sistem peradilan pidana. Keadilan restorative termaktup dalam UU narkotika pasal 127/2 dengan redaksional menyatakan bahwa hakim dalam memeriksa perkara penyalahgunaan narkotika "wajib" memperhatikan pasal 54 (taraf ketergantungan terdakwanya). Pasal 55 (kewajiban hukum terdakwanya) dan penggunaan kewenangan hakim (pasal 103) untuk memutus atau menetapkan yang bersangkutan menjalani rehabilitasi yang mengcover ranah pidana, medis dan sosial akibat penyalahgunaan narkotika. "Penegakan hukum terhadap masalah penyalahguan narkotika menitik beratkan proses restorative justice dengan mengganti hukuman pidana penjara menjadi hukuman rehabilitasi dengan tujuan penyalah guna pulih seperti sediakala, dalam rangka wujudkan kepastian hukum dan rasa keadilan," jelasnya. Bagi Anang, penyalah guna yang nota bene harus direhabilitasi selama proses pemeriksaan dan dijatuhi hukuman rehabilitasi, karena penyalah guna adalah korban kejahatan perdagangan gelap obat golongan narkotika yang secara yuridis dikriminalkan oleh UU sebagai penyalah guna narkotika, secara medis penyalah guna narkotika tersebut menderita sakit ketergantungan narkotika dan gangguan mental, dimana penyalah guna tersebut memerlukan rehabilitasi medis dan sosial agar dapat melakukan integrasi sosial kembali. "Dengan hakim me-restorative bentuk hukuman pidana penjara menjadi hukuman rehabilitasi maka masalah pidana, masalah kesehatan dan masalah sosial mendapatkan solusi secara terintegrasi," ungkapnya. Untuk itu, solusinya harus diatur dengan jelas, kata Anang, yang pertama adalah penanggulangan masalah narkotika secara non pidana diatur dalam pasal 55, khusus penyalah guna narkotika diwajibkan UU dan Program Pemerintahnya untuk melakukan wajib lapor pecandu, guna mendapatkan perawatan berupa rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial dengan biaya ditanggung negara, selama 2 kali masa perawatan. "Kalau penyalah guna melakukan wajib lapor pecandu maka demi hukum, status pidananya gugur berubah menjadi tidak dituntut pidana (pasal 128/2), dengan demikian masalah narkotika baik secara pidana, medis dan sosial selesai secara terintegratif," bebernya. Bila mengalami relapse setelan dua kali masa perawatan di IPWL maka biaya rehabilitasi ditanggung oleh keluarganya. Mekanisme tersebut diatas, menurut Anang, belum sepenuhnya dijalankan oleh Kemenkes sehingga penyalah guna kesulitan mendapatkan upaya rehabilitasi. Kedua, lanjut Anang, penyelesaian perkara melalui penegakan hukum, dimana hanya hakim yang diberi kewajiban (pasal 127/1) dan kewenangan (pasal 103) untuk merestoratif bentuk hukuman dari hukuman pidana penjara menjadi hukuman menjalani rehabilitasi. "Mekanisme tersebut diatas belum sepenuhnya dijalankan oleh hakim, kalau hakim menggunakan acara pidana umum maka penyalah guna pasti di jatuhi hukuman penjara. Ini yang menyebabkan over kapasitas lapas," katanya. "Rehabilitasi atas perintah UU dan rehabilitasi atas keputusan atau penetapan hakim tersebut diatas, biaya rehabilitasi menjadi tanggung jawab negara karena negara berkepentingan untuk itu," imbuhnya.  

Topik:

Narkotika