Terdakwa Tragedi Kanjuruhan Divonis Bebas, Masih Ingatkah Kata Kapolri "Tidak Mampu Bersihkan Ekor, Kepalanya Akan Saya Potong"?

Aldiano Rifki
Aldiano Rifki
Diperbarui 17 Maret 2023 16:49 WIB
Jakarta, MI – Kepolisian Republik Indonesia (Polri) lagi-lagi mendapat sorotan lantaran terdakwa (Anggota Polri) divonis bebas dan ringan atas kasus tragedi Kanjuruhan melalui putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya pada hari Kamis (16/3) kemarin. Yaitu AKP Bambang Sidik Achmadi Eks Kasat Samapta dan Kompol Wahyu Setyo Pranoto Eks Kabag Ops Polres Malang yang divonis bebas atau tidak bersalah atas tragedi Kanjuruhan. Sedangkan AKP Hasdarmawan Eks Danki I Brimob Polda Jawa Timur divonis 1 tahun 6 bulan. Vonis itu lebih ringan dibanding tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang meminta hukuman tiga tahun penjara. Vonis tersebut telah mendapat sorotan bukan hanya pada pakar hukum, namun juga Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Anggota Komisi III DPR RI Habiburokhman menyakini tragedi Kanjuruhan itu karena adanya sebuah kesalahan. Menurutnya, harus ada yang bertanggung jawab atas ratusan nyawa yang hilang di Kanjuruhan. "Pastilah ada kesalahan apakah itu kesengajaan atau kelalaian. Masa enggak ada? Harusnya logika hukum sederhananya ada yang bertanggung jawab," ujar Habiburokhman di Jakarta Selatan, Jumat (17/3). Dirinya mengaku heran lantaran ada terdakwa yang divonis bebas. Dirinya lantas mempertanyakan soal isi kesalahan terdakwa dalam insiden tersebut. Menurutnya, ada hal yang tidak pas sejak awal penyidikan hingga penentuan pasal dalam konstruksi penyusunan dakwaan dan tuntutan. "Lalu bagian kesalahannya mana? Lalu penentuan para tersangkanya juga tidak pas. Kalau kayak begini ya jadi problem. Kalau bebas berarti siapa yang bertanggung jawab?" tanyanya. Habiburokhman mengatakan putusan tersebut tidak menunjukkan empati kepada masyarakat dan korban jika tidak ada yang bertanggung jawab. Oleh sebab itu, ia mendorong agar penuntut mengajukan banding atas putusan hakim yang memberi vonis ringan hingga bebas. "Masalah ini, kita mau tanya, masalahnya dimana? Kok bisa seperti itu, walaupun jaksa masih punya hak untuk banding yah, kita dorong untuk banding," ucapnya. Selain itu, politikus partai Gerindra itu meminta penyidik tragedi Kanjuruhan agar dievaluasi. “Kita evaluasi lagi ya kinerja penyidik, penyelidikan, dan penuntut dan bebas,” tegasnya. Politkus partai Gerindra itu menilai dalam harus ini ada pihak yang bertanggung jawab atas kesalahan yang menyebabkan ratusan jiwa meninggal dunia dalam peristiwa memilukan itu. Polisi Tak Serius Pakar Hukum dari Universitas Brawijaya Malang, Fachrizal Afandi menilai vonis bebas terhadap terdakwa juga memperlihatkan polisi tidak serius menangani kasus itu. "Memang sejak awal sidangnya enggak serius jadi ini masih ada PR. Bukan berarti ini tidak salah. Tragedi kanjuruhan menyebabkan 135 orang meninggal, ratusan luka-luka cuma divonis 1 tahun 6 bulan dan bebas," katanya. Ia pun membeberkan sejumlah bukti kejanggalan majelis hakim dan polisi dalam persidangan negeri Surabaya. Pertama, bukti yang dihadirkan sengaja tidak diarahkan untuk mencari hubungan sebab akibat meninggalnya 135 korban, 24 orang luka barat dan 623 orang luka ringan. "Jadi bukti-bukti persidangan itu tidak mengarah ke sana," ungkap Fachrizal. Kedua, lanjut dia, tidak ada satu pun polisi penembak gas air mata di Stadion Kanjuruhan yang ditetapkan sebagai tersangka. Justru yang jadi tersangka dan terdakwa bukan pelaku penembakan. "Jadi wajar dalam pengadilan hakim membebaskan terdakwa karena bukti-bukti tidak mengarah kepada yang memerintahkan. Seharusnya pelaku penembakan dihadirkan ke persidangan sebagai terdakwa, tapi itu tidak dilakukan," jelas dia. Ketiga, tambah Fachrizal, rekonstruksi di penyidikan berbeda dengan video yang beredar di masyarakat soal gas air mata yang diarahkan ke tribun. "Di persidangan tidak ditampilkan video itu, yang ditampilkan gas air mata justru tidak mengarah ke tribun. Sebab itu hakim menyimpulkan gas air mata tidak mengarah ke tribun," jelasnya. Fachrizal menyayangkan keputusan majelis hakim yang tidak mengomparasi temuan TGIPF Komnas HAM dan Kemenko Polhukam Mahfud MD. "Kenapa dia (hakim) hanya berpacu pada BAP polisi, ini juga sangat disayangkan. Ini kan memperlihatkan ketidakseriusan," kata Fachrizal. Untuk itu, ia mendesak Komnas HAM bentuk pelanggaran HAM Berat. Karena peradilan umum biasa, gagal untuk menyingkap pelaku penembakan gas air mata. "Karena yang melakukan aparat penegak hukum jadi penyelidikan dari Komnas HAM, Jaksa Agung. Dan ini hanya ada di pelanggaran berat," jelas Fachrizal. Fachrizal menuturkan, keputusan ini akan diperdebatkan karena dalam hukum pidana, hukuman berat tidak ada unsur kesengajaan tapi ada perencanaan.  "Itu masalahnya. Dari awal memang kepolisian tidak mengarahkan pasal kesengajaan atau perencanaan menembak padahal yang kita lihat ada pelanggaran HAM berat," tandasnya. Kapolri Bakal Potong Sumber Penyakit Polri Pada beberapa waktu silam, Jenderal Sigit menegaskan tidak akan ragu memotong sumber penyakit institusi di bawahnya, bak memotong kepala ikan yang busuk. Sigit mengutip peribahasa “ikan busuk dari kepalanya”. Artinya, suatu organisasi atau negara gagal disebabkan oleh masalah kepemimpinan sebagai sumber masalahnya. “Ada pepatah, ikan busuk mulai dari kepala, kalau pimpinannya bermasalah, bawahannya akan bermasalah juga. Pimpinan harus jadi teladan sehingga bawahannya akan meneladani. Karena kita tidak mungkin diikuti kalau kita tidak memulai yang baik, kita tidak mungkin menegur kalau tidak jadi teladan, harus mulai dari pemimpin atau diri sendiri," kata Kapolri saat itu. "Ini yang saya harapkan rekan-rekan mampu memahami. Hal yang dijalankan penuh keikhlasan akan menjadi buah keikhlasan. Tolong ini diimplementasikan bukan hanya teori dan pepatah,” sambungnya. Sigit memastikan dirinya beserta pejabat utama Mabes Polri memiliki komitmen untuk memberikan reward kepada personel yang menjalankan tugasnya dengan baik dan bekerja keras untuk melayani serta mengayomi masyarakat. Namun sebaliknya, Sigit menegaskan sanksi tegas akan diberikan kepada seluruh personel yang tidak menjalankan tugasnya dengan baik, atau melanggar aturan yang ada. Bahkan, Sigit tak ragu untuk menindak tegas pimpinannya apabila tidak mampu menjadi teladan bagi jajarannya apabila ke depannya masih melanggar aturan. “Namun terhadap anggota yang melakukan kesalahan dan berdampak kepada organisasi, jangan ragu melakukan tindakan. Kalau tak mampu membersihkan ekor, kepalanya akan saya potong," tegasnya. "Ini semua untuk kebaikan organisasi yang susah payah berjuang. Menjadi teladan, pelayan dan pahami setiap masalah dan suara masyarakat, agar kita bisa ambil kebijakan yang sesuai,” imbuh mantan Kabareskrim Polri itu. #Terdakwa Tragedi Kanjuruhan Divonis Bebas