BPKP Keliru Hitung Kerugian Korupsi BTS? Vonis Ringan Menanti Para Terdakwa!

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 2 November 2023 03:34 WIB
Kepala BPKP Muhammad Yusuf Ateh (kiri), Jaksa Agung, ST Burhanuddin (tengah) dan Jampidsus Febrie Adriansyah (kanan) (Foto: Dok MI)
Kepala BPKP Muhammad Yusuf Ateh (kiri), Jaksa Agung, ST Burhanuddin (tengah) dan Jampidsus Febrie Adriansyah (kanan) (Foto: Dok MI)

Jakarta, MI - Mantan Direktur Utama Bakti, Anang Achmad Latif menyebut bahwa Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) ceroboh dalam menghitung kerugian negara atas proyek BTS Kominfo. Adapun kasus ini merugikan negara Rp 8,032 triliun.

Dalam penghitungan tersebut, BPKP disebut juga tidak mempertimbangkan bahwa pekerjaan masih berlanjut dan ada pengembalian uang yang dilakukan oleh konsorsium pelaksana proyek sebesar Rp1,7 triliun kepada Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (BAKTI).

Menurut ahli hukum pidana dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Prof. Mudzakir, bahwa hal ini dikhawatirkan akan menjadi peluang vonis ringan terhadap para terdakwa oleh hakim pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta.

"Kalau terjadi kekeliruan langsung dihitung di situ, bahwa itu salah, ini salah, supaya ini menjadi bahan hakim untuk menetapkan kerugiannya seperti apa,” kata Mudzakir, Kamis (2/11).

Jika memang terjadi kekeliruan dalam proses penghitungan nilai kerugian keuangan negara, tegas Mudzakir, seharusnya dilakukan perbaikan. Pasalnya kata dia, hakim dalam menjatuhkan hukuman menurutnya akan berpedoman pada besaran kerugian. “Kalau itu dilakukan, hakim nanti akan berpedoman besaran kerugian itu sebagai instrumen penjatuhan pidana," katanya.

Apalagi proses penilaian itu diduga lalai karena tidak memperhitungkan soal tingkat kesulitan pembangunan menara BTS, mulai dari pemasangan di tempat tertinggal hingga terbentur situasi Covid-19. 

"Jadi kalau itu misalnya dipertimbangkan sampai detik hari ini perkara itu masuk, itu sudah 97 persen. Nah pertanyaannya tidak paham kita BPKP itu menilainya seperti apa," katanya.

"Kalau itu tidak dipertimbangkan, terus kemudian kerugiannya menjadi tinggi, saya sependapat dengan pendapat ahli yang bersangkutan itu. Standar auditnya itu lho,” imbuhnya.

Semenentara itu, BPKP tidak ingin menanggapi lebih jauh soal tudahan yang disampaikan mantan anak buah Johnny G Plate itu. "Kasus masih terus berjalan di pengadilan. Masing-masing punya hak mengemukakan pendapatnya," ujar Juru Bicara BPKP Azwad Zamroodin Hakim kepada Monitorindonesia.com, Rabu (1/11).

Pada beberapa waktu lalu atau sebelum penetapan Johnny G Plate sebagai tersangka dalam kasus ini, Kepala BPKP Muhammad Yusuf Ateh sempat membeberkan bahwa nilai kerugian keuangan negara sebesar Rp 8,03 triliun dalam kasus korupsi proyek BTS 4G BAKTI Kominfo berasal dari tiga sumber. Ketiga sumber dimaksud, yakni biaya kegiatan penyusunan kajian pendukung, mark up harga, dan pembayaran BTS yang belum terbangun.

"Berdasarkan semua yang kami lakukan dan berdasarkan bukti yang kami peroleh, kami menyimpulkan terdapat kerugian keuangan negara sebesar Rp8.032.084.133.795," kata Yusuf di Kejaksaan Agung, Senin (15/5/2023) lalu. 

Adapun perhitungan ini mengacu kepada jumlah menara yang belum selesai dibangun sebanyak 3.242 BTS hingga 31 Maret 2022 dari total 4.200 BTS yang harus dikerjakan.

Padahal dalam persidangan pada beberapa waktu lalu, sejumlah saksi termasuk (Plt) Direktur Infrastruktur BAKTI, Danny Januar Ismawan mengatakan bahwa proyek tidak berhenti dan tetap berjalan meski ada adendum perpanjangan waktu. Danny bahkan menyebut hingga Desember 2022, sudah ada 2.952 lokasi yang on air dan 2.190 yang sudah BAPHP (Berita Acara Pemeriksaan Hasil Pekerjaan), di luar dari 677 menara yang dikategorikan kahar.

Sementara, Plt Direktur Keuangan BAKTI Kominfo Ahmad Juhari di persidangan mengungkapkan, untuk pembangunan tahap I yang semula 4.200 menara BTS 4G, angka final pembelian yang dilakukan BAKTI hanya 4.112 titik dengan nilai total kontrak pembelian Rp10,8 triliun. 

Nilai tersebut termasuk dengan pajak sebesar Rp1,3 triliun yang dipotong langsung. Kemudian, pada April 2022 ada pengembalian dari konsorsium sebesar Rp1,7 triliun yang masuk ke kas negara. 

Dengan demikian, pembayaran bersih kepada konsorsium pelaksana proyek berkisar Rp7,7 - 7,8 triliun, lebih kecil dari perhitungan kerugian keuangan negara oleh BPKP. (Wan)