Aneh! Proyek BTS Kominfo Masih Berjalan Tapi BPKP Sudah Hitung Kerugian Negara

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 2 November 2023 12:02 WIB
Kepala BPKP Muhammad Yusuf Ateh (kiri), Jaksa Agung, ST Burhanuddin (tengah) dan Jampidsus Febrie Adriansyah (kanan) (Foto: Dok MI)
Kepala BPKP Muhammad Yusuf Ateh (kiri), Jaksa Agung, ST Burhanuddin (tengah) dan Jampidsus Febrie Adriansyah (kanan) (Foto: Dok MI)

Jakarta, MI - Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) telah menetapkan kerugian keuangan negara terkait dengan kasus dugaan korupsi BTS Kominfo sebesar Rp8,03 triliun. Dalam penghitungan tersebut, BPKP tidak mempertimbangkan bahwa pekerjaan masih berlanjut dan ada pengembalian uang yang dilakukan oleh konsorsium pelaksana proyek sebesar Rp1,7 triliun kepada Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (BAKTI).

Hal ini aneh sebagaimana sorotan daripada terdakwa Irwan Hermawan dan Galumbang Menak Simanjuntak yang melalui kuasa hukumnya, Romulo Silaen. Padahal, proyek BTS 4G Kominfo tersebut masih terus berjalan dan sudah hampir 100 persen selesai. “Ini kan jadi aneh, kok bisa dianggap ada kerugian negara, tetapi proyek itu masih bisa berjalan,” ujar Ramulo kepada wartawan, Kamis (2/11).

Anggapan proyek BTS 4G BAKTI Kominfo mangkrak, kata diai, adalah tuduhan yang menyesatkan. Faktanya, tegas dia, hingga persidangan terakhir pun pekerjaan dari seluruh konsorsium terus berjalan dan sudah hampir selesai. "Malah sudah hampir selesai 100% di semua daerah," lanjutnya.

Ramulo pun menegaskan bahwa, tidak ada proyek BTS 4G BAKTI Kominfo yang mangkrak. Adapun keterlambatan sendiri diakibatkan oleh kendala pandemi Covid-19 dan kondisi geografi yang sulit, serta faktor keamanan suatu daerah. "Tapi itu bukan mangrak, toh setelah pandemi kan proyeknya berjalan lagi," jelasnya.

Menurut Ramulo, prinsip kerugian negara itu haruslah nyata dan pasti. Sementara dalam kasus yang menjerat kliennya itu, tidak ada hitungan kerugian negara yang pasti mengingat proyek BTS 4G BAKTI Kominfo masih berjalan di seluruh Indonesia. "Kerugian negara itu harus nyata dan pasti. Jadi bagaimana mau menghitung kerugian, kalau proyeknya saja masih berjalan sampai saat ini," tandasnya.

Sebagaimana diketahui, BPKP dan Kejaksaan menyebutkan kerugian keuangan dan perekonomian negara dalam kasus korupsi pengadaan BTS 4G sebesar Rp 8,03 triliun. Perhitungan ini mengacu kepada jumlah menara yang belum selesai dibangun sebanyak 3.242 BTS hingga 31 Maret 2022 dari total 4.200 BTS yang harus dikerjakan.

Padahal dalam persidangan, sejumlah saksi termasuk (Plt) Direktur Infrastruktur BAKTI, Danny Januar Ismawan mengatakan bahwa proyek tidak berhenti dan tetap berjalan meski ada adendum perpanjangan waktu. Danny bahkan menyebut hingga Desember 2022, sudah ada 2.952 lokasi yang on air dan 2.190 yang sudah BAPHP (Berita Acara Pemeriksaan Hasil Pekerjaan), di luar dari 677 menara yang dikategorikan kahar.

Sementara, Plt Direktur Keuangan BAKTI Kominfo Ahmad Juhari di persidangan mengungkapkan, untuk pembangunan tahap I yang semula 4.200 menara BTS 4G, angka final pembelian yang dilakukan BAKTI hanya 4.112 titik dengan nilai total kontrak pembelian Rp10,8 triliun. Nilai tersebut termasuk dengan pajak sebesar Rp1,3 triliun yang dipotong langsung. 

Kemudian, pada April 2022 ada pengembalian dari konsorsium sebesar Rp1,7 triliun yang masuk ke kas negara. Dengan demikian, pembayaran bersih kepada konsorsium pelaksana proyek berkisar Rp7,7 - 7,8 triliun, lebih kecil dari perhitungan kerugian keuangan negara oleh BPKP.

Aldres Napitupulu, kuasa hukum mantan Dirut Bakti, Anang Achmad Latif sebelumnya mengatakan ,bahwa berdasarkan keterangan ahli yang dihadirkan di persidangan, baik dari auditor, akuntan maupun ahli hukum keuangan negara, bisa disimpulkan bahwa penghitungan yang dilakukan BPKP tidak benar dan faktanya pekerjaan BTS 4G masih berlanjut sampai sekarang dan dapat dimanfaatkan.

"Ahli hukum keuangan negara tadi dengan tegas menyatakan bahwa harus benar penghitungannya. Berapa uang negara yang keluar itu baru bisa menilai kerugiannya berapa".

"Dalam perkara ini kan sudah ada uang yang dikembalikan. Jadi, nilai yang pasti dari uang negara itu hanya Rp7,7 triliun, tapi BPKP tetap menghitungnya sebesar Rp8 triliun," tandasnya.

Sebagai informasi, dalam kasus ini, terdakwa Galumbang Menak Simanjuntak dituntut 15 tahun penjara denda Rp1 miliar subsider 1 tahun kurungan. Sementara terdakwa lain, Irwan Hermawan selaku Komisaris PT Solitech Media Sinergy dituntut 6 tahun penjara denda Rp250 juta subsider 3 bulan kurungan.

Kemudian Mukti Ali selaku Account Director PT Huawei Tech Investment juga dituntut 6 tahun penjara denda sebesar Rp500 juta subsider enam bulan kurungan. 

Adapun mantan Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Johnny G Plate dituntut pidana 15 tahun penjara dan denda Rp1 miliar subsider satu tahun kurungan. Johnny G Plate didakwa merugikan keuangan negara lebih dari Rp 8 triliun.

Jaksa menyebut Johnny Plate merugikan keuangan negara bersama-sama dengan Anang Achmad Latif selaku Direktur Utama Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (BAKTI) dan Kuasa pengguna Anggaran (KPA), Yohan Suryanto selaku Tenaga Ahli pada Human Development Universitas Indonesia (HUDEV UI), Irwan Hermawan sebagai Komisaris PT Solitech Media Sinergy.

Kemudian Galumbang Menak Simanjuntak selaku Direktur Utama PT Mora Telematika Indonesia, Mukti Ali selaku Account Director PT Huawei Tech Investment, Windi Purnama selaku Direktur PT Multimedia Berdikari Sejahtera, dan Muhammad Yusriki Muliawan selaku Direktur PT Basis Utama Prima.

Jaksa menyebut dalam korupsi ini telah memperkaya Johnny sebesar Rp17.848.308.000, memperkaya Anang Achmad Latif sebesar Rp5 miliar, Yohan Suryanto, Yohan Suryanto Rp453.608.400, Irwan Hermawan Rp119 miliar, Windi Purnama sebesar Rp500 juta.

Kemudian Muhammad Yusrizki sebesar Rp50 miliar dan USD 2,5 juta, Konsorsium FiberHome PT Telkominfra PT Multi Trans Data (PT MTD) untuk Paket 1 dan 2 sebesar Rp2.940.870.824.490, Konsorsium Lintasarta Huawei SEI untuk paket 3 sebesar Rp1.584.914.620.955,00, Konsorsium IBS dan ZTE Paket 4 dan 5 sebesar Rp3.504.518.715.600.

Jaksa menyebut, kerugian keuangan negara sebesar Rp8 triliun dalam kasus ini dihasilkan dari Laporan Hasil Audit Penghitungan Kerugian Keuangan Negara oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Republik Indonesia. (An)