Penetapan Tersangka Eks Wamenkumham Eddy Saat Firli Diberhentikan, Sah Kah?

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 22 Januari 2024 20:20 WIB
Mantan Ketua KPK RI, Firli Bahuri (Foto: MI/An)
Mantan Ketua KPK RI, Firli Bahuri (Foto: MI/An)

Jakarta, MI - Penetapan mantan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej atau Eddy Hiariej sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dinilai tidak sah. 

Hal itu diungkapkan oleh Koordinator Tim Advokasi Eddy Hiariej, Muhammad Luthfie Hakim dalam sidang di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Senin (22/1). 

Menurut Muhammad Luthfie, penetapan kliennya itu dilakukan tidak secara kolektif kolegial oleh lima pimpinan KPK. Pasalnya, kata dia, KPK menerbitkan surat perintah penyidikan (Sprindik) tertanggal 24 November 2023 dan Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) yang memuat nama Eddy Hiariej sebagai tersangka pada 27 November 2023. 

Sementara, pimpinan KPK saat itu, Firli Bahuri telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Metro Jaya pada 22 November 2023 dan diberhentikan sementara oleh Presiden Joko Widodo pada 24 November 2023. 

“Oleh karena itu, maka dalam kurun waktu tanggal 24 November 2023 sampai dengan tanggal 27 November 2023 pimpinan KPK hanya berjumlah empat orang. Bahkan hingga permohonan a quo diajukan, jumlah pimpinan KPK masih tetap berjumlah empat orang” kata Luthfie.

Dalam permohonannya, kubu Eddy Hiariej menyinggung pasal 21 Ayat (5) Undang-Undang nomor 30 tahun 2002 yang berbunyi “setiap pengambilan keputusan harus disetujui dan diputuskan secara bersama-sama oleh Pimpinan KPK”. 

Selain itu, pada Pasal 46 UU KPK juga disebutkan penetapan tersangka oleh lembaga antirasuah harus diputuskan secara kolektif kolegial. “Bahwa berdasarkan tanggal dikeluarkannya/diterbitkannya surat perintah penyidikan atas diri pemohon oleh termohon maka surat perintah penyidikan diterbitkan/dikeluarkan pada saat adanya kekosongan Ketua KPK dan anggota yang berjumlah hanya empat orang,” papar Luthfie.

“Maka pengambilan keputusan atau penetapan pemohon menjadi tersangka oleh pimpinan termohon yang hanya berjumlah emp at orang, dengan demikian tdak sesuai dengan aturan dasarnya dan bertentangan dengan ketentuan di dalam Pasal 21 Ayat (1) UU KPK. Oleh karenanya, penetapan dimaksud adalah tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum tetap,” bebernya.

Dalam kasus ini, Eddy Hiariej diduga menerima suap dan gratifikasi dari Direktur PT Citra Lampia Mandiri (CLM), Helmut Hernawan. KPK menduga Helmut memberikan suap dan gratifikasi RP 8 miliar kepada Eddy Hiariej melalui dua anak buahnya. Mereka adalah asisten pribadi Eddy, Yogi Arie Rukmana dan mantna mahasiswa Eddy yang kini menjadi pengacara, Yosi Andika Mulyadi. 

Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengungkapkan, sebagian uang diserahkan Helmut kepada Eddy sebagai biaya fee jasa konsultasi hukum terkait administrasi hukum umum (AHU). Adapun Helmut tengah menghadapi sengketa di internal perusahaan. 

"Besaran fee yang disepakati untuk diberikan Helmut Hermawan pada Eddy sejumlah sekitar Rp 4 miliar," kata Alex dalam konferensi pers di Gedung KPK, Jakarta Selatan, Kamis (7/12). 

Lalu, uang Rp 1 miliar lagi untuk keperluan pribadi Eddy, dan Rp 3 miliar lain setelah Eddy menjanjikan bisa menghentikan kasus hukum yang membelit Helmut di Bareskrim Polri.