Tersangkut Korupsi IUP Timah, Rumah Crazy Rich Helena Lim (HL) Diacak-acak Kejagung

Tim Redaksi
Tim Redaksi
Diperbarui 14 Maret 2024 14:41 WIB
Kejagung geledah sejumlah kantor dan rumah HL terkait korupsi komoditas Timah, Selasa (12/3/2024). (Foto: Dok. Kejagung)
Kejagung geledah sejumlah kantor dan rumah HL terkait korupsi komoditas Timah, Selasa (12/3/2024). (Foto: Dok. Kejagung)

Jakarta, MI - Kejaksaan Agung (Kejagung) menggeledahan rumah crazy rich Jakarta Helena Lim (HL) usai tersangkut kasus korupsi tata niaga komoditas timah di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk (TINS) tahun 2015 sampai dengan 2022. Penggeledahan dilakukan pada Rabu 6 Maret hingga Jumat 8 Maret 2024. 

Selain rumah HL, tim penyidik pada Direktorat Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus juga menggeledah kantor PT QSE dan PT SD.

Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Ketut Sumedana mengatakan, dari penggeledahan itu, pihaknya menyita barang bukti elektronik, kumpulan dokumen terkait, serta uang tunai sebesar Rp10 miliar dan SG$ 2.000.000 atau setara Rp 23,4 miliar (asumsi kurs Rp 11.700/SG$) yang diduga kuat berhubungan atau merupakan hasil tindak kejahatan.

Artinya, secara total Kejagung menyita lebih dari Rp 33 miliar uang dalam dua mata uang berbeda. "Kegiatan penggeledahan dan penyitaan dilakukan oleh Tim Penyidik untuk menindaklanjuti kesesuaian hasil dari pemeriksaan/keterangan para tersangka dan saksi mengenai aliran dana yang diduga berasal dari beberapa perusahaan yang terkait dengan kegiatan tata niaga timah ilegal," ujar Ketut, dikutip pada Kamis (14/3/2024).

Selanjutnya, Tim Penyidik akan terus menggali fakta-fakta baru dari barang bukti tersebut guna membuat terang suatu tindak pidana yang tengah dilakukan penyidikan.

Sejauh ini, penyidik sudah menjerat 14 tersangka dalam kasus korupsi Timah ini.

14 tersangka itu adalah Tamron alias Aon (TN/AN) Beneficial Ownership CV VIP dan PT MCM; Achmad Albani (AA) selaku Manager Operasional Tambang CV VIP dan PT MCM; Suwito Gunawan (SG) Komisaris PT Stanindo Inti Perkasa; MB Gunawan (MBG) Direktur Utama PT Stanindo Inti Perkasa; Mochtar Riza Pahlevi Tabrani (MRPT) Direktur Utama PT Timah Tbk Tahun 2016-2021.

Lalu, Hasan Tjhie (HT) Direktur Utama CV Venus Inti Perkasa; Emil Ermindra (EE) Direktur Keuangan PT Timah Tbk Tahun 2017-20218; Kwang Yung alias Buyung (BY) mantan Komisaris CV VIP; Toni Tamsil alias Akhi kakak Aon; Robert Indarto, Dirut CV Sariwiguna Sentosa.

Selanjutnya, Rosalina GM PT Tinindo Internusa; Suparta, Direktur PT RBT; Reza Ardiansyah, Direktur Business Development PT RBT dan Alwin Albar mantan Direktur Ops PT Timah Tbk. 

Peran Tersangka

Kasus ini terjadi sekitar tahun 2018, dimana CV VIP melakukan perjanjian kerja sama sewa peralatan processing peleburan timah dengan PT Timah Tbk. TN alias AN selaku pemilik CV VIP memerintahkan tersangka AA untuk menyediakan atau mengumpulkan bijih timah  ilegal dari IUP PT Timah Tbk. dengan cara membentuk beberapa perusahaan boneka.

Untuk melegalkan kegiatan perusahaan boneka tersebut, PT Timah menerbitkan Surat Perintah Kerja seolah-olah terdapat kegiatan borongan pengangkutan sisa hasil mineral timah.

Tersangka Suparta (SP) dan tersangka Reza Andriansyah (RA) merupakan pihak yang menginisiasi pertemuan dengan pihak PT Timah, yang dihadiri oleh MRPT alias RZ selaku Direktur Utama PT Timah dan tersangka EE alias EML selaku Direktur Keuangan PT Timah dalam rangka mengakomodir penambang timah ilegal di wilayah IUP PT Timah.

Sementara, tersangka tersangka SG alias AW dan tersangka MBG memiliki perusahaan yang melakukan perjanjian kerja sama dengan PT Timah pada tahun 2018 tentang sewa menyewa peralatan processing peleburan timah.

Perjanjian tersebut ditandatangani oleh tersangka MRPT alias RZ selaku Direktur Utama PT Timah, tersangka EE alias EML selaku Direktur Keuangan PT Timah, dan tersangka RL selaku General Manager Operasional PT TIN.

Tersangka BY selaku Mantan Komisaris CV VIP dan tersangka RI selaku Dirut PT SBS juga nyatanya turut terlibat bersama dengan tersangka MRPT alias RZ dan tersangka EE dalam pengakomodiran penambang timah ilegal di wilayah IUP PT Timah.

Bijih timah yang diproduksi oleh tersangka MBG tersebut perolehannya berasal dari IUP PT Timah atas persetujuan dari PT Timah. Kemudian, baik bijih maupun logam timahnya dijual ke PT Timah Tbk.

Untuk mengumpulkan bijih timah yang ditambang secara ilegal, tersangka MBG atas persetujuan tersangka SG alias AW membentuk perusahaan boneka yaitu CV Bangka Jaya Abadi (BJA) dan CV Rajawali Total Persada (RTP).

Untuk melegalkan kegiatan perusahaan-perusahaan boneka tersebut, PT Timah menerbitkan Surat Perintah Kerja Borongan Pengangkutan Sisa Hasil Pengolahan (SHP) mineral timah, di mana keuntungan atas transaksi pembelian bijih timah tersebut dinikmati oleh tersangka MBG dan tersangka SG alias AW.

Selain membentuk perusahaan boneka, tersangka MBG atas persetujuan tersangka SG alias AW juga mengakomodir penambang-penambang timah ilegal di wilayah IUP PT Timah. Nantinya, mineral biji timah yang diperoleh dikirimkan ke smelter milik tersangka SG alias AW.

Sementara itu, tersangka Alwin Albar mantan Direktur Operasional PT Timah Tbk, bahwa pada tahun 2018, dia bersama tersangka MRPT dan EE  menyadari pasokan bijih timah yang dihasilkan lebih sedikit dibandingkan dengan perusahaan smelter swasta lainnya. Hal itu diakibatkan oleh masifnya penambangan liar yang dilakukan dalam wilayah IUP PT Timah Tbk.

Namun, atas kondisi tersebut, ALW bersama dengan MRPT dan EE yang seharusnya melakukan penindakan terhadap kompetitor, justru menawarkan pemilik smelter untuk bekerja sama dengan membeli hasil penambangan ilegal melebihi harga standar yang ditetapkan oleh PT Timah Tbk tanpa melalui kajian terlebih dahulu.

Untuk melancarkan aksinya untuk mengakomodir penambangan ilegal tersebut,  ALW bersama dengan  MRPT dan  EE menyetujui untuk membuat perjanjian seolah-olah terdapat kerja sama sewa-menyewa peralatan processing peleburan timah dengan para smelter.

Pasal yang disangkakan kepada para tersangka dalam kasus ini adalah pasal 2 ayat (1) dan pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo. Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang  Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.

Kejagung kini terus mengembangkan kasus ini, setidaknya sudah 139 saksi yang diperiksa. Dan tidak menutup kemungkinan bakal ada tersangka lagi. Pun publik menantikan hasil penyidikan lebih lanjut dari pihak berwenang untuk memastikan keadilan terwujud dalam penegakan hukum. (wan)