Kasus KDRT, Anak Buah Yasonna Laoly Dituntut 2 Bulan Bui (Percobaan), SOP Mana yang Diterapkan Jaksa?

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 17 Agustus 2024 3 jam yang lalu
Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan (Foto: Dok MI)
Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan (Foto: Dok MI)

Jakarta, MI - Prosedur mana yang diterapkan pihak Kejaksaan Negeri (Kejari) Jakarta Selatan dalam menunut oknum pegawai Kantor Imigrasi Jakarta Utara (Jakut) terdakwa kasus dugaan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang menimpa AG?

Kasus kekerasan itu diduga dilakukan oleh anak buah Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna H Laoly bernisial GOR, mantan suami AG dengan Nomor 352/Pid.Sus/2024/PN.JKT.Sel. 

Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari), Jaksel, Haryoko Ari Prabowo berdalih bahwa pihaknya telah mempertimbangkan semua aspek yuridis dan non-yuridis, dalam membuat surat tuntutan pidana terhadap terdakwa GOR dengan tuntutan 2 bulan penjara.

“Semua sudah sesuai prosedur dan sudah dipertimbangkan semua,” kata Kajari Jaksel, Haryoko Ari Prabowo, Jumat (16/8/2024).

Kendati, mantan Kasubdirektorat Tipikor dan TPPU Kejaksaan Agung (Kejagung) tersebut tak menjelaskan secara rinci faktor apa saja yang menjadi pertimbangan dalam surat tuntutan pidananya terhadap pelaku KDRT yaitu terdakwa GOR.

“Ya ini, semua sudah sesuai dengan prosedur dan sudah dipertimbangkan semua,” katanya.

Kelakuan GOR keji!

AG mengaku mendapat KDRT saat masih menjadi istri sahnya GOR. Karena tak kuat lagi, maka dia mengajukan perceraian.

AG awalnya mengaku ragu untuk melaporkan suaminya ke kantor polisi. Alasannya karena pelaku yang pernah menjadi ajudan salah satu pejabat di Kementerian Hukum dan HAM mengklaim tidak akan dapat di hukum oleh siapapun atas kasus tersebut.  

“Katanya 'Laporkan saja, tidak ada yang bisa menghukum gua', itu katanya ketika tahu saya akan melaporkan KDRT ke polisi,” kata AG, Senin, (12/8/2024).

Karena menderita luka fisik di sekujur tubuhnya yang kerap kali terulang, AG akhirnya memberanikan diri melaporkan perbuatan suaminya itu ke Polres Metro Jakarta Selatan. 

"Tubuh saya dipukul dan ditendang, bahkan rambut panjang saya dijambak lalu dipotong. Itu dilakukan di depan anak-anak saya, asisten rumah tanga (ART)," katanya.

Dalam dakwaannya, jaksa sebenarnya telah menjerat GOR dengan Pasal 44 Ayat 1 UU 23/2004 tentang Penghapusan KDRT. Kekerasan yang dilakukan pelaku telah menyebabkan luka yang membuat korban tidak dapat bekerja.

Namun dalam persidangan berikutnya jaksa hanya menuntut tersangka dengan KDRT ringan sesuai Pasal 44 ayat (4), di mana tuntutannya hanya 2 bulan penjara. 

“KDRT yang dilakukan tersangka sangat keji, wajah saya memar, bibir saya luka dan berdarah, rambut panjang saya dicukur hampir botak sehingga saya sampai tidak bisa bekerja,” beber GA.

GA mengaku, bahwa dirinya kerap menjadi korban KDRT oleh mantan suaminya tak hanya sekali. Korban mengaku sering menerima kepalan tinju saat masih hamil 8 bulan.

“Saya juga kehilangan pekerjaan sebagai staf pribadi dan sudah tidak dapat tampil lagi sebagai influencer karena luka yang saya derita akibat KDRT. Saya berharap majelis Hakim PN Selatan dapat memberikan keadilan kepada saya,” pungkasnya.

Tak ada toleransi untuk pelaku KDRT

Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Puan Maharani, mendesak agar aparat kepolisian menindak tegas semua pelaku KDRT dan kekerasan terhadap perempuan juga anak.

"Tidak ada toleransi atau zero tolerance untuk pelaku KDRT dan tindak kekerasan, khususnya kepada perempuan dan anak. Harus disanksi dengan tegas sesuai hukum yang berlaku," tegas Puan.

"Keprihatinan mendalam atas kekerasan yang lagi-lagi menimpa perempuan, walaupun korban KDRT bisa terjadi pada siapa saja, tapi perempuan yang paling banyak menjadi korban," sambung Puan.

Polikus PDIP itu pun menekankan pentingnya mengatasi fenomena KDRT secara efektif demi menciptakan masyarakat yang adil dan berperikemanusiaan, meskipun hingga kini masih menjadi tantangan bagi Indonesia.

"Pemerintah, bersama dengan seluruh stakeholder terkait, dan tentunya masyarakat, harus berkomitmen untuk memerangi KDRT agar tercipta lingkungan keluarga yang bebas dari kekerasan," demikian Puan Maharni. (wan)