Korupsi Technopark Hutama Karya Rp 1,2 Triliun Seret Aziz Mochdar

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 13 September 2024 02:57 WIB
Dirut PT Hutama Karya Budi Harto (Foto: Dok MI)
Dirut PT Hutama Karya Budi Harto (Foto: Dok MI)

Jakarta, MI - Kasus skandal dugaan korupsi proyek Technopark yang digarap PT Hutama Karya, (Persero) tahun 2018-2020 berpotensi merugikan negara Rp1,2 triliun.

Direktur Utama PT Hutama Karya (Persero) Budi Harto menjelaskan pada 2018, pihaknya mendapat penawaran kerja sama dari PT Cempaka Surya Kencana (CSK), PT Azbindo Nusantara (Azbindo) dan Aziz Mochdar (AM).

Kerja sama itu berupa pengembangan tanah milik PT CSK di Jalan Gatot Subroto seluas 5 hektare (Objek Tanah) untuk dijadikan proyek Technopark.

Seiring dengan berjalannya waktu, skema transaksi itu berubah saat anak usaha Hutama Karya, PT HK Realtindo (HKR) mengakuisisi 55 persen saham milik Azbindo di PT CSK. HKR bahkan telah membayar uang komitmen awal senilai Rp200 miliar, sebagai syarat due dilligence (uji tuntas) atas objek saham tersebut.

"Setelah melalui beberapa kesepakatan awal, para pihak menyepakati Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) dan Berita Acara Kesepakatan (BAK) akuisisi pada tanggal 2 - 3 Desember 2019 untuk pengambilalihan objek saham senilai Rp2,2 triliun," kata Budi Harto, Kamis (12/9/2024).

Harga saham sebesar Rp2,2 triliun tersebut akan dibayarkan dengan konversi uang komitmen awal senilai Rp200 miliar dan sisanya sebesar Rp2 triliun akan dibayar dengan Akta Pengakuan Utang (Promissory Note).

Ia melanjutkan, pada 21 Februari 2020, transaksi dilaksanakan dengan penadatanganan Akta RUPS, Akta Jual Beli, Akta Pengakuan Utang Rp2 triliun, dan Akta Gadai Atas Objek Saham, untuk menjamin pembayaran utang Rp2 triliun dari HKR kepada Azbindo.

Untuk pelaksanaan kerja sama proyek Technopark itu, pihak PT CSK kemudian meminjam dana Rp1 triliun kepada HKR dengan jaminan dua surat tanah, yakni SHGB No. 122/Kuningan Barat seluas 17.910 m2 dan SHGB No. 335/Kuningan Barat seluas 146 m2.

Proyek Technopark belum terealisasi, tapi Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) telah mengeluarkan Laporan Hasil Audit Investigasi (LHAI). Kesimpulan LHAI itu menyatakan bahwa terdapat penyimpangan tata Kelola perusahaan (Good Corporate Govenment/GCG) dalam transaksi pengambilalihan objek saham, salah satunya karena Objek Tanah tidak clear and clean alias bermasalah hukum.

"BPKP telah mengeluarkan LHAI dengan kesimpulan terdapat penyimpangan GCG dalam transaksi pengambilalihan objek saham, salah satunya karena objek tanah tidak clean and clear," urai Budi Harto.

Akibat adanya LHAI BPKP itu maka PT HK Realtindo (HKR) saat ini tidak melunasi harga saham sebesar Rp2 triliun. Penghentian sepihak ini lantas memicu gugatan terhadap Hutama Karya dan anak usahanya HKR di Pengadilan Negeri Jakarta Timur.

"CSK, Azbindo dan Aziz Mochdar, menggugat HK-HKR di PN Jaktim untuk membatalkan transaksi dengan dalil bahwa HK-HKR telah melakukan tipu daya dengan melakukan pengambilalihan objek saham menggunakan promissory note, di satu sisi Akta Jual Beli menuliskan harga saham telah dibayar lunas," jelasnya.

Sebaliknya, masih dalam perkara itu, HK-HKR juga mengajukan gugatan rekonvensi untuk membatalkan transaksi dengan alasan adanya tipu daya dari PT CSK, Azbindo dan Aziz Mochdar sekaligus meminta agar dilakukan pengembalian atas penyertaan saham sebesar Rp200 miliar dan pinjaman sebesar Rp1 triliun.

Dalam putusannya, hakim PN Jaktim Selain menolak gugatan rekonvensi HK-HKR, namun mengabulkan seluruh permohonan para penggugat (PT CSK, Azbindo dan Aziz Mochdar) dalam permohonan provisi, kecuali prmohonan angka 7 mengenai uang paksa (dwangsom).

"Pengadilan Negeri Jakarta Timur menyatakan PT Hutama Karya (Persero) dan PT HK Realtindo melakukan Perbuatan Melawan Hukum," seperti dikutip dari putusannya.

Selain itu, hakim PN Jaktim juga menghukum PT Hutama Karya (Persero) dan PT HK Realtindo secara tanggung renteng untuk membayar ganti rugi meteril sebesar Rp8,346 triliun. Selanjutnya, Hakim juga menghukum HK-HKR membayar ganti rugi immateril senilai Rp3,125 triliun.

Masih dalam putusan, hakim PN Jaktim juga menyatakan sita jaminan gedung HK Tower, SHGB HK Tower dan Sita Revindikasi atas SHGB No. 122 dan SHGB No. 335 sah dan berharga.

Dengan putusan tersebut maka PT Hutama Karya (Persero) berpotensi memiliki kewajiban pembayaran sebesar Rp11,471 triliun, jika putusan telah Berkekuatan Hukum Tetap (inkracht van gewijsde).

Terkait hal ini, Budi Harto mengatakan, pihaknya akan mengajukan banding atas putusan Pengadilan Negeri Jakarta Timur.

"Kami menghormati putusan pengadilan, namun kami perlu untuk melakukan banding agar seluruh fakta dapat dipertimbangkan lebih lanjut," ujar Budi Harto dalam keterangannya di keterbukaan informasi di laman IDX.

Putusan ini, dikatakan Budi Harto, berpotensi berdampak signifikan terhadap kondisi keuangan dan kelangsungan usaha perseroan. Perusahaan dikatakannya bakal terus mengambil langkah hukum yang diperlukan untuk melindungi kepentingan dan keberlanjutan bisnisnya.

Sebelumnya, kasus ini mencuat usai Kejaksaan Tinggi (Kejati) Daerah Khusus Jakarta (DKJ) melakukan penggeledahan di tiga lokasi berbeda. Yakni, di Gedung Cyber 1 lantai 11, Kuningan Barat, Mampang, Jakarta Selatan. Selanjutnya, di salah satu rumah di Perumahan Bukit Cinere Indah Kota Depok. Dan lokasi lainnya di sebuah rumah tinggal yang berada di Jalan Gebang Sari dalam Kel. Bambu Apus Kec. Cipayung Jakarta Timur.

“Penyidik bidang Pidana Khusus Kejati DKJ Tengah melakukan penyelidikan terhadap penanganan perkara dugaan tindak pidana korupsi pada kegiatan pembiayaan Proyek Pengembangan Tanah Technopark oleh PT Hutama Karya (Persero) pada tahun 2018 s/d 2020 senilai Rp1,2 triliun,” ujar Kepala Seksi Penerangan Hukum (Kasi Penkum) Kejati Jakarta DKJ, Syahron Hasibuan kepada wartawan, Senin (9/9/2024).

Syahron menambahkan, dari penggeledahan di tiga tempat berbeda, penyidik juga berhasil melakukan penyitaan beberapa unit Laptop, PC (Personal Computer) untuk dilakukan analisis forensik.

”Turut disita beberapa dokumen dan berkas penting lainnya guna membuat terang peristiwa pidana dan penyempurnaan alat bukti dalam perkara a quo,” jelas Syahron Hasibuan.

Lebih lanjut dijelaskan, penggeledahan dilakukan sebagaimana Surat Perintah Penyidikan Kepala Kejaksaan Tinggi Daerah Khusus Jakarta Nomor PRINT- 3521/M.1/Fd.1/08/2024 Tanggal 28 Agustus 2024.

PT Hutama Karya (Perseroan) terancam kehilangan Rp1,2 triliun atas transaksi pembelian tanah untuk proyek Technopark yang ternyata status tanahnya tidak clean and clear alias bermasalah. Hal ini diketahui setelah adanya Laporan Hasil Audit Investigasi (LHAI) dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).

Topik:

Hutama Karya