Seberapa Parah Rupiah Melemah?

Aldiano Rifki
Aldiano Rifki
Diperbarui 21 April 2024 13:20 WIB
Mata uang rupiah (Foto: MI/Net/Ist)
Mata uang rupiah (Foto: MI/Net/Ist)

Jakarta, MI - Nilai tukar rupiah atas dolar AS menembus Rp16.000 sejak Selasa (16/4/2024) lalu. Nilai tukar rupiah terus mengalami depresiasi hingga menyentuh Rp16.280 pada Jumat (19/4/2024), saat pejabat AS menyebut sebuah rudal Israel telah menghantam Iran, merujuk data Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) Bank Indonesia.

JISDOR adalah kurs referensi harian yang digunakan untuk perdagangan mata uang asing. Ini adalah pertama kalinya nilai tukar rupiah mencapai Rp16.000 per dolar AS dalam empat tahun terakhir.

Pada April 2020, angkanya sempat menyentuh Rp16.741 karena situasi serba tak pasti yang dipicu pandemi Covid-19. Sementara itu, pelemahan rupiah kali ini disebabkan beberapa hal.

Pertama, The Fed atau bank sentral AS diperkirakan akan lebih lama mempertahankan suku bunga acuannya di level tinggi untuk meredam laju inflasi AS, kata Josua Pardede, kepala ekonom Bank Permata.

Selama suku bunga The Fed masih tinggi, investor global akan lebih tertarik menaruh uangnya di pasar AS, sehingga memicu arus keluar modal asing dari negara-negara berkembang seperti Indonesia.

Kedua, konflik Israel-Iran di Timur Tengah yang kian memanas. Iran menggempur Israel dengan lebih dari 300 rudal dan drone pada Sabtu (13/04) sebagai balasan atas serangan Israel ke Konsulat Iran di Damaskus dua minggu sebelumnya.

Pada Jumat (19/4/2024), Israel disebut menyerang balik dengan meluncurkan rudal ke wilayah Isfahan, lokasi pangkalan udara militer Iran.

Ledakan juga dilaporkan terjadi di Irak dan Suriah, empat kelompok bersenjata yang didukung Iran beroperasi, meski tidak jelas apakah ledakan tersebut terkait langsung dengan insiden di Isfahan.

"Kekhawatiran terkait perkembangan kondisi geopolitik di Timur Tengah terjadi setelah terdengarnya suara ledakan di Iran, Suriah, dan Irak pada pagi hari ini, menyebabkan depresiasi hampir seluruh mata uang global, termasuk rupiah," kata Josua, pada Jumat (19/4/2024).

Imbasnya, kata Josua, investor bermain aman dengan memindahkan modalnya ke aset-aset "safe haven" seperti surat utang dan dolar AS serta emas.

Aset safe haven merujuk ke aset investasi yang relatif tetap stabil di tengah ketidakpastian ekonomi global. Investor menganggap Indonesia berisiko karena statusnya sebagai negara pengimpor minyak, kata Josua.

Konflik Israel-Iran dikhawatirkan mengganggu rantai pasok minyak global, terutama bila Iran memutuskan memblokade Selat Hormuz, yang kerap disebut sebagai jalur pengiriman minyak terpenting di dunia.

Bila itu terjadi, pasokan minyak akan terganggu sehingga harga meroket. Indonesia pun butuh keluar uang lebih untuk mengimpor minyak dan neraca dagang bisa jadi defisit. Maksudnya, nilai transaksi impornya lebih besar daripada ekspor.

Dari sana, kata Josua, akan muncul tekanan yang dapat melemahkan rupiah lebih jauh.

Dampak mengerikan perang Iran-Israel ke ekonomi Indonesia
Direktur eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Esther Sri Astuti menyampaikan, negara Timur Tengah sebagai negara importir minyak terbesar dunia membawa dampak yang signifikan. Pasalnya Indonesia membutuhkan minyak sekitar 3,45 juta barel setiap bulan.

Terjadinya perang Iran dengan Israel menaikan harga minyak dan komponen biaya transportasi, dampaknya bagi negara Indonesia dapat berpengaruh ke harga-harga komoditas lainnya.

“Perekonomian Indonesia terintegrasi dengan perekonomian global, sehingga jika melihat besaran investasi, impor, ekspor dan kontribusi kenaikan biaya energi serta logistik akan sangat besar,” ujar Associate INDEF Asmiati Malik pada diskusi publik secara daring, ditulis Minggu (21/4/2024).

Di sisi lain, Indonesia juga dibayangi risiko dan tekanan terhadap inflasi khususnya pada barang inputs karena rupiah terdepresiasi. Inflasi masih menjadi tantangan khusus yang cukup besar.

Menurut Kepala Center of Digital Economy and SMEs INDEF Eisha Maghfiruha, Indonesia memiliki target inflasi 2,5% yang menurutnya masih dapat diproyeksikan dan bisa dikendalikan. 

Namun, membutuhkan intensitas tinggi khususnya bagi Bank Indonesia dan para pemangku kebijakan terkait untuk membahas tuntutan eskalasi terhadap nilai tukar rupiah. (wan)