KPK Terbitkan 1 Sprindik Korupsi Bansos Presiden, Dirut PT Junatama Foodia Kreasindo Andy Hoza Junardy Diperiksa

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 3 Agustus 2024 3 jam yang lalu
Paket bantuan sosial presiden (Banpres) (Foto: Dok MI/Aswan)
Paket bantuan sosial presiden (Banpres) (Foto: Dok MI/Aswan)

Jakarta, MI - Kasus dugaan korupsi pengadaan bantuan sosial atau bansos presiden pada Kementerian Sosial RI tahun anggaran 2020 tengah diusut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Bansos diduga dikorupsi itu adalah program penanganan Covid-19 di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek). 

Namun saat ini baru satu surat perintah penyidikan (Sprindik) yang berjalan. Pada biasanya, jika suatu kasus dugaan korupsi telah naik ke tahap penyidikan di KPK, berarti sudah ada tersangka.

"Sudah ada satu tersangka dan hanya satu sprindik yang saat ini masih berjalan," kata Juru Bicara KPK, Tessa Mahardhika di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Jumat (2/8/2024) kemarin.

Kini pihaknya masih berkutat pada pemeriksaan saksi atau mengumpulkan alat dan barang bukti.

Catatan Monitorindonesia.com, bahwa pada Rabu (31/7/2024) lalu, lembaga anti rasuah itu memeriksa Direktur Utama (Dirut) PT Junatama Foodia Kreasindo (JFK), Andy Hoza Junardy.

Andy diperiksa di di BPKP Provinsi Jawa Barat (Jabar).

Tak hanya Andy, KPK juga mencecar Matheus Joko Santoso (MJS), eks Pejabat Pembuat Komitmen (PPK). Namun dia diperiksa di Lapas Sukamiskin.

Kerugian negara

KPK menyatakan jumlah dugaan kerugian negara yang muncul dari korupsi itu bertambah. 

Dugaan kerugian negara dalam kasus ini melonjak menjadi Rp 250 miliar, dari perhitungan awal Rp 125 miliar.

"Untuk potensi kerugian Bansos Banpres senilai Rp 250 miliar dan ini masih sementara," kata Tessa di kantornya, Jakarta, Selasa (2/7/2024).

Tessa mengatakan bertambahnya kerugian negara itu muncul setelah penyidik memeriksa saksi dan alat bukti tambahan. Auditor kemudian menyatakan kerugian negara dalam perkara ini lebih besar dari dugaan awal.

"Kami memeriksa saksi, mengecek alat bukti, ada perhitungan dari auditor juga, bertambahnya itu alat buktinya tambah sehingga nilainya tambah," katanya.

Tessa mengatakan penyidik menduga korupsi dilakukan dengan menurunkan kualitas isi bansos yang diberikan semasa Covid-19 tersebut. 

Misalnya dengan menurunkan kualitas beras.

"Kualitasnya diturunkan," jelasnya.

Terkait kasus ini, Presiden Joko Widodo alias Jokowi mempersilakan KPK untuk menangani kasus itu.

"Ya itu saya kira tindak lanjut dari peristiwa yang lalu ya, silakan diproses hukum sesuai dengan kewenangan yang dimiliki oleh aparat hukum," kata Jokowi di Kalimantan Tengah, Kamis (27/6/2024).

Hingga saat ini, penyidik KPK masih terus mengumpulkan alat bukti hingga akhirnya dinyatakan cukup untuk disidangkan di pengadilan tindak pidana korupsi (Tipikor). 

Penyidik KPK telah menetapkan satu orang tersangka bernama Ivo Wongkaren (IW).

Perbuatannya sejauh ini diduga menimbulkan kerugian negara Rp 125 miliar. 

Penting diketahui, bahwa kasus ini juga terungkap dalam dakwaan perkara distribusi bantuan sosial beras (BSB) di Kemensos yang menyeret Ivo Wongkaren.

BSB ditujukan kepada 10 juta Keluarga Penerima Manfaat (KPM) pada Program Keluarga Harapan (PKH) pada 2020 untuk mengurangi dampak pandemi Covid-19. 

Bantuan tersebut direncanakan dilaksanakan pada Agustus sampai Oktober 2020. 

Dalam waktu yang hampir bersamaan, Kemensos juga melaksanakan program Bansos Presiden di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek). 

Ivo terlibat dalam proyek itu dan menjadi salah satu vendor Pelaksana menggunakan PT Anomali Lumbung Artha (ALA).

Ia kemudian menjadi salah satu tersangka dalam kasus Bansos Presiden ini.

"Dalam pekerjaan bansos banpres, PT ALA memiliki paket dalam jumlah lebih besar dibandingkan perusahaan lain yang menjadi vendor pekerjaan bansos banpres," sebagaimana dikutip Monitorindonesia.com, dari surat dakwaan Jaksa KPK. 

Adapun Ivo telah dinyatakan bersalah dalam kasus distribusi bansos beras untuk KPM pada Program PKH Kemensos. 

Ia telah divonis 8 tahun 6 bulan penjara, denda Rp 1 miliar subsider 12 bulan penjara, serta uang pengganti Rp 62.591.907.120. (an)