FITRA Soroti Konflik Kepentingan Organ Yayasan Karya Bhakti Adhyaksa

Albani Wijaya
Albani Wijaya
Diperbarui 6 Desember 2024 08:46 WIB
Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Adhyaksa (Foto: Dok MI/Aswan)
Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Adhyaksa (Foto: Dok MI/Aswan)

Jakarta, MI - Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) menyoroti pengurus Yayasan Karya Bhakti Adhyaksa yang diisi pejabat Kejaksaan Agung (Kejagung) dan seorang pengusaha. 

Pasalnya, Yayasan Karya Bhakti Adhiyaksa yang berada di Jalan Margasatwa Jakarta Selatan itu tidak berada di bawah naungan Badan Pendidikan dan Latihan (Badiklat) Kejaksaan Agung (Kejagung).

"Untuk mengurangi konflik kepentingan sebaiknya harus clear secara kelembagaan, terlebih banyak pengurusnya yang masih aktif sebagai penyelenggara negara." kata Manager Riset FITRA, Badiul Hadi kepada Monitorindonesia.com, Jum'at (6/12/2024).

Diketahui bahwa Organ Yayasan Karya Bhakti Adhiyaksa terdiri dari Ketua Dewan Pembina, Prof. DR. ST. Burhanuddin, SH., MM., MH (saat ini menjabat Jaksa Agung RI); Anggota Dewan Pembina. DR. Reda Manthovani, SH,. LLM (saat ini sebagai JAM Bid. Intelijen); Anggota Dewan Pembina, Maya Miranda Ambarsari, SH., M.I.B (pengusaha); Ketua Dewan Pengawas, DR. Bambang Sugeng Rukmono, SH., MH (JAM Bidang Pembinaan; Anggota Dewan Pengawas, DR. Ali Mukartono, SH., M.M (JAM Bidang Pengawasan); Anggota Dewan Pengawas, Prof. DR. Asep N. Mulyana, SH., M.Hum (JAM Bidang Pidana Umum)p; dan Ketua Pengurus Yayasan, DR. Narendra Jatna, SH., LLM (JAM Datun).

Badiul Hadi
Badiul Hadi (Foto: Dok MI)

Struktur kepengurusan itu, lanjut Badiul Hadi, bisa menimbulkan problem akuntabilitas dan pengawasan, terlebih jika keputusan yang diambil berkaitan dengan institusi tempat bernaung atau pribadi.

Selain itu, Independensi lembaga pendidikan bisa terpengaruh oleh konflik kepentingan. Sementara lembaga pendidikan harus dijaga independensinya.

"Untuk menghindari konflik kepentingan, perlu dikedepankan prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan lembaga atau yayasan," tandasnya.

Sementara itu, pakar hukum pidana dari Universitas Indonesia (UI) Kurnia Zakaria menyatakan bahwa dunia pendidikan bisa juga dipakai untuk tindak pidana pencucian uang walaupun belum tentu menguntungkan investor.

Tetapi, kata dia, bila ada dugaan STIH Adhyaksa menjamin lulusannya pasti diterima menjadi ASN di institusi kejaksaan agung maka tentu saja para lulusan SMA/SMK maksimal berumur di bawah usia 30 tahun tentu saja menjadi rebutan masuk STIH Adhyaksa dan pasti dijamin mahasiswanya akan banyak walaupun bukan sekolah kedinasan. 

"Tentu saja STIH Adhyaksa yang berdiri tahun 2022 menguntungkan investor para pelaku kejahatan dapat laba dari placenent (penempatan uang) ke STIH Adhyaksa baik dalam bentuk PTS mengajukan kredit bank atau pinjaman dari lembaga keuangan non bank, ataupun dalam bentuk sumbangan donatur," kata Kurnia kepada Monitorindonesia.com.

Nanti, tambah Kurnia, PTS membayar utang kredit ke bank maupun pinjaman ke lembaga pembiayaan istilahnya layering. Sedangkan sumbangan individu para pelaku kejahatan nanti dianggap terima gaji atau honor (integration).  

"Sedangkan aset yang dibeli yang dananya dari para investor TPPU dikembalikan dalam bentuk fasiltas kampus. Dunia pendidikan bisnis nirlaba bisa ternoda TPPU. Jadi uang TPPU dikembalikan dalam bentuk sah secara hukum," pungkas Kurnia Zakaria. (an)

Topik:

FITRA Kejagung STIH Adhyaksa Yayasan Karya Bhakti Adhyaksa