Pagar Makan Lautan, APH Gigit Siapa?

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 29 Januari 2025 22:11 WIB
Pembongkaran pagar laut sepanjang 30 kilometer di Pantai Tanjung Pasir, Kecamatan Teluknaga, Kabupaten Tangerang, Banten (Foto: Dok MI)
Pembongkaran pagar laut sepanjang 30 kilometer di Pantai Tanjung Pasir, Kecamatan Teluknaga, Kabupaten Tangerang, Banten (Foto: Dok MI)

Jakarta, MI - Pagar laut siluman sepanjang lebih dari 30 kilometer di pesisir Tangerang telah memunculkan polemik serius.

Dampaknya bukan hanya kerusakan ekologis, tetapi juga ancaman terhadap keberlanjutan hidup masyarakat nelayan yang bergantung pada laut.

Pemagaran laut sebagai tindakan melanggar hukum dan prinsip pengelolaan sumber daya pesisir yang berkelanjutan. Kasus ini tidak hanya mencerminkan masalah pelanggaran hukum, tetapi juga kegagalan kolektif dalam menjaga kedaulatan kelautan Indonesia.

Belum terungkap siapa pemiliknya, kasus menjadi semakin ruwet setelah diketahui area pagar laut itu memiliki sertifikat hak guna bangunan (HGB) serta sertifikat hak milik (SHM). Pun dugaan rasuah dibalik itu menyeruak.

Berangkat dari hal itu, mantan Wakil Ketua KPK La Ode M Syarif turut menilai penerbitan SHGB dan SHM pagar laut di perairan Kabupaten Tangerang, Banten itu dapat ditelusuri unsur tindak pidana korupsinya. 

Seperti pengamat hukum dan pengamat kebijakan publik lainnya, dia mendesak Polri, Kejaksaan Agung, dan KPK menyeret pihak yang terlibat dalam proses pemberian izin sertifikat itu. 

"Apakah diperoleh dengan menyuap atau berpengaruh pengaruhi uang dengan menyogok pejabat-pejabat publik tertentu. Hal ini bisa ditarik ke arah tindak pidana korupsi," kata La Ode saat dikonfirmasi Monitorindonesia.com, Rabu (29/1/2025).

Sementara itu, Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI juga mendesak aparat penegak hukum agar menyeret semua pihak ke ranah hukum.

“Sepakat jika didapati memang terjadi pelanggaran ketentuan perundang-undangan atau pelanggaran hukum atas penerbitan HGB dan SHM tersebut, maka kemudian ada baiknya proses penyelidikan dan penyidikan bisa dilakukan oleh aparat penegak hukum," kata Ketua Komisi II DPR RI Muhammad Rifqinizamy Karsayuda, Selasa (28/1/2025).

"Ambil contoh, misalnya, jika nyata-nyata secara fisik hal itu berada di laut, tapi tetap saja dikeluarkan SHGB, maka seharusnya pejabat yang bersangkutan beserta pihak-pihak terkait bisa diseret ke ranah hukum,” timpal Rifqi sapaannya.

Tak hanya itu saja, dia meminta aparat penegak hukum untuk tidak hanya menyeret pejabat yang menerbitkan HGB pagar laut, tetapi juga aktor intelektualnya. "Harus dicek siapa aktor intelektualnya, siapa yang menyuruh, siapa yang memerintah, dan seterusnya,” tandas Rifqi.

Sementara itu, mantan Menkopolhukam, Mahfud MD menyarankan agar kasus pagar laut di Tangerang segera dinyatakan sebagai kasus pidana. Hal ini disampaikan Mahfud dalam akun media sosial X pribadinya @mohmahfudmd, Sabtu (25/1/2025). 

"Kasus pemagaran laut, seharusnya segera dinyatakan sebagai kasus pidana, bukan hanya ramai-ramai membongkar pagar," kata Mahfud, dikutip dari akun X pribadinya, Minggu (26/1/2025). 

Tak sampai situ, ia juga mengajak aparat penegak hukum segera memproses pagar laut ke dalam ranah pidana.

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi ini justru heran karena sampai saat ini aparat penegak hukum justru belum ada yang bergerak untuk menelusuri dugaan tindak pidana di dalamnya. 

"Tetapi kok tidak ada aparat penegak hukum pidana yang bersikap tegas?" ujarnya. Menurutnya, kasus ini perlu dinyatakan sebagai pidana karena dampak yang ditimbulkan akibat penerbitan sertifikat tersebut. "Di sana ada penyerobotan alam, pembuatan sertifikat ilegal, dugaan kolusi-korupsi," ungkap dia.

Sebagaimana diberitakan, bahwa pagar laut itu membentang sepanjang 30,16 kilometer dari Desa Muncung hingga Pakuhaji, Tangerang, Banten, dengan wujud berupa bambu yang ditancapkan di dasar laut. 

Berdasarkan temuan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Petahanan Nasional (ATR/BPN), ada 263 bidang tanah yang berbentuk SHGB. 

Menurut keterangan Menteri Koordinator Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) yang didapat dari Kementerian ATR/BPN, sertifikat tersebut diterbitkan pada 2023.

Rinciannya, atas nama PT Intan Agung Makmur sebanyak 234 bidang, PT Cahaya Inti Sentosa sebanyak 20 bidang, serta atas nama perseorangan sebanyak 9 bidang.

Berdasarkan aturannya, hak atas tanah dapat diberikan asalkan memperhatikan hak publik. Pemberian hak atas tanah di wilayah perairan harus mendapatkan izin yang diterbitkan oleh kementerian yang menangani bidang kelautan dan perikanan yaitu KKP. 

Hal itu tertuang dalam pasal 65 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18 Tahun 2021 tentang hak pengelolaan, hak atas tanah, satuan rumah susun, dan pendaftaran tanah. 

Namun, Menteri KP Sakti Wahyu Trenggono membantahnya. Dia mengatakan, penerbitan sertifikat HGB merupakan urusan Kementerian ATR/BPN. Pun pencabutan izin juga merupakan urusan Kementerian ATR/BPN. “Itu urusan ATR yang mencabut. Tapi bagi kami itu tidak ada,” kata Sakti.

Meski berdalih tidak memberikan izin, Sakti mengatakan, HGB di kawasan pagar laut itu merupakan sertifikat ilegal. Hal ini karena pendiri pagar ilegal tidak mendapatkan izin KKP. 

Dia lantas mengutip sebuah aturan turunan Undang-Undang Cipta Kerja yang menegaskan, sertifikat ilegal. Aturan itu yakni Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18 Tahun 2021 tentang hak pengelolaan, hak atas tanah, satuan rumah susun, dan pendaftaran tanah. Namun, dia tidak menjelaskan detail isi aturan tersebut.

Topik:

Pagar Laut Korupsi Pagar Laut