APH Tak Kunjung Tangkap Dalang Pagar Makan Lautan, Eks Kabareskrim Geram

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 31 Januari 2025 14:24 WIB
Mantan Kabareskrim Polri, Komjen Purn Susno Duadji (Foto: Dok MI)
Mantan Kabareskrim Polri, Komjen Purn Susno Duadji (Foto: Dok MI)

Jakarta, MI - Mantan Kabareskrim Polri, Komjen Purn Susno Duadji, menyatakan bahwa jika aparat penegak hukum tak kunjung tangkap pelaku atau dalam dari pada kasus pagar makan lautan, maka rakyat hilang kepercayaan pada pemerintah.

"Kalau aparat penegak hukum tidak segera menangkap pelaku kejahatan dibalik pagar laut," kata Susno dalam cuitannya di X @susno2g dikutip Monitorindonesia.com, Jumat (31/1/2025).

Menurut dia, kasus pagar laut yang melibatkan dugaan pelanggaran hukum seperti penerbitan sertifikat laut, pemagaran wilayah perairan, pemalsuan dokumen, serta praktik suap dan korupsi, menjadi sorotan publik. "Sertifikat laut, memagar laut, dokumen palsu, suap, korupsi dan lain-lain, maka rakyat hilang kepercayaan pada pemerintah," pungkasnya.

Sementara itu, eks Ketua Komnas HAM, Prof. Hafiz Abbas, menyoroti berbagai kasus penggusuran yang terjadi di Indonesia, terutama di kawasan Pulau Rempang dan Pantai Indah Kapuk (PIK) 2.

Dia menilai bahwa praktik penggusuran paksa terhadap masyarakat adat oleh pemerintah adalah bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang serius.

Dikatakan Hafiz, Indonesia sebenarnya merupakan negara dengan wilayah yang sangat luas, baik darat maupun laut, mencapai 8,2 juta kilometer persegi dua kali lebih besar dari Uni Eropa.

Namun, ia mengkhawatirkan bahwa salah kelola tanah bisa menjadi ancaman besar bagi masa depan negara.

"Kita kelihatannya terancam bubar karena salah kelola. Ini yang kita risaukan, terutama masalah pertanahan," kata Hafiz dalam podcast Abraham Samad Speak Up, dikutip Monitorindonesia.com, pada Jumat (31/1/2025).

Ia menyoroti proyek strategis nasional (PSN) yang kerap kali menggusur penduduk setempat demi kepentingan investasi. Salah satu contoh yang ia angkat adalah kasus Pulau Rempang. Baginya, masyarakat adat di sana telah menetap sejak sebelum Indonesia merdeka, tetapi mereka tetap dipaksa pergi demi proyek pembangunan.

"Satu contoh di depan mata, PIK 2, Pulau Rempang, itu diambil negara dengan Force Eviction menggusur paksa dengan alasan PSN," katanya.

Hafiz juga menyinggung tindakan aparat dalam menangani warga yang menolak penggusuran, termasuk penggunaan gas air mata terhadap siswa-siswi di Rempang yang menyebabkan mereka dilarikan ke rumah sakit.

"Kita lihat Bahlil turun ke bawah, Aparat Kepolisian, pakai gas air mata segala macam disemprotkan ke siswa-siswi, dilarikan ke RS kan?," timpalnya.

Ia mempertanyakan mengapa masyarakat yang sudah tinggal di sana sejak lama harus digusur secara paksa, sementara investor asing justru diberikan akses luas terhadap lahan tersebut.

"Kalau di Rempang itu ada orang China mau bangun pabrik gelas. Ini satu hektar cukup luas lah, tapi orang China ini ingin ambil seluruh pulau itu dengan luas 17 ribu hektar," jelasnya.

"Kalau alasannya tidak punya bukti surat-surat meskipun tinggal di sana sebelum Indonesia ada, tapi kan orang China juga tidak ada. Kenapa ini harus digusur paksa?," imbuhnya.

Tak hanya Rempang, Hafiz juga menyoroti ekspansi besar-besaran kawasan PIK 2, yang menurutnya telah mengambil alih lahan di sembilan kecamatan dan dua kabupaten, yaitu Serang dan Tangerang.

"Sama juga di PIK 2, kita lihat dengan ekspansi dari PIK 1, menjangkau sembilan kecamatan dan dua kabupaten, Serang dan Tangerang. Ini diperkirakan lebih dari 100 ribu hektar," terangnya.

Proyek ini, menurutnya, diperkirakan mencakup lebih dari 100 ribu hektar lahan, termasuk ribuan hektar kawasan pantai dan hutan mangrove yang seharusnya menjadi tanah negara.

"Ada seribu hektar lagi kawasan Pantai dengan tanaman manggrove segala, sebenarnya itu tanah negara, itu juga diambil," tukasnya.

Hafiz menegaskan bahwa apa yang telah dilakukan pemeriksaan merupakan pelanggaran HAM berat terhadap rakyat.

"Ini sebenarnya tidak memenuhi standar internasional, tetap dianggap sebagai pelanggaran HAM berat," tandasnya.

Ia merujuk pada panduan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang mengatur bahwa penggusuran hanya boleh dilakukan dengan syarat yang sangat ketat.

"Kalau dilihat dari panduan dari PBB, jelas sekali bahwa penggusuran itu hanya diperbolehkan dengan sejumlah syarat. Ketat sekali," imbuhnya.

Hafiz bilang, penggusuran tidak boleh hanya berdasarkan keputusan eksekutif seperti gubernur, bupati, atau bahkan presiden, tetapi harus mendapatkan persetujuan dari DPR untuk memiliki legitimasi yang lebih tinggi.

"Tidak semata-mata keinginan Gubernur, Bupati, Presiden, harus persetujuan DPR. Mendapatkan legitimasi yang lebih tinggi dari sekadar pemimpin eksekutif," pungkasnya.

Topik:

Pagar Laut