Ketua PN hingga Panitera Main Perkara Coreng Wajah Peradilan, Kejagung Didesak Periksa Ketua MA

Rival Haikal Hafizh
Rival Haikal Hafizh
Diperbarui 13 April 2025 21:02 WIB
Sekjen Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (Mahupiki) Azmi Syahputra (Foto: Dok MI)
Sekjen Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (Mahupiki) Azmi Syahputra (Foto: Dok MI)

Jakarta, MI - Wajah peradilan kembali tercoreng dengan ditetapkannya ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) Muhammad Arif Nuryanta (MAN) sebagai salah satu tersangka kasus dugaan suap dan/atau gratifikasi oleh Kejaksaan Agung pada Sabtu (12/4/2025) malam. 

Arif diduga telah menerima uang suap sebesar Rp60 miliar terkait dengan putusan lepas perkara korupsi pemberian fasilitas ekspor crude palm oil (CPO) atau minyak kelapa sawit mentah yang telah merugikan negara.  

Suap tersebut diterima saat Arif masih menjabat sebagai Wakil Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus). Dugaan suap ini berujung pada keluarnya putusan lepas (onslag) dari majelis hakim terhadap para terdakwa korporasi.

Adapun majelis hakim yang menangani perkara korupsi ekspor CPO ini adalah Djuyamto (ketua majelis), Ali Muhtarom, dan Agam Syarief Baharudin, serta panitera pengganti Agnasia Marliana Tubalawony. Mereka memutuskan bahwa PT Wilmar Group, PT Permata Hijau Group, dan PT Musim Mas Group terbukti melakukan perbuatan sebagaimana dakwaan jaksa, namun menyatakan perbuatan tersebut bukan merupakan tindak pidana.

Hakim kemudian membebaskan para terdakwa, memulihkan seluruh hak, kedudukan, dan martabat mereka seperti semula. Atas putusan tersebut, Kejaksaan Agung telah mengajukan kasasi. Saat ini, Kejaksaan Agung masih menelusuri aliran dana dugaan suap kepada majelis hakim yang menangani perkara tersebut. 

Penting diketahui bahwa kejadian sebelumnya ada mantan Ketua Pengadilan Negeri (PN) Surabaya Rudi Suparmono sebagai tersangka kasus dugaan suap pengurusan perkara terdakwa Gregorius Ronald Tannur dan dugaan menerima gratifikasi.

"Ini menunjukkan rentannya perilaku hakim dan pimpinan pengadilan yang terlibat suap dan gratifikasi. Lalu siapa yang mengawasi mereka atau pengawasan hanya sekadar formalitas? Dan ini jelas menjadi corengan hitam wajah lembaga peradilan yang tidak dapat dipungkiri," ujar Sekretaris Jenderal (Sekjen) Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (Mahupiki) Azmi Syahputra saat berbincang dengan Monitorindonesia.com, Minggu (13/4/2025) malam.

Kasus teranyar setelah kasus suap vonis bebas Ronald Tannur adalah Muhammad Arif Nuryatna, Panitera Muda Perdata Pengadilan Negeri Jakarta Utara Wahyu Gunawan, advokat Marcella Santoso dan Ariyanto, sebagai tersangka suap dan gratifikasi atas pengaturan vonis lepas perkara korupsi minyak goreng di Pengadilan Tipikor Jakarta itu.

Kasus ini terungkap dari pengembangan kasus dugaan suap penanganan perkara Ronald Tannur di PN Surabaya yang saat itu dijabat Rudi Suparmono. Azmi mengingatkan bahwa perbuatan dan kenyataan ini semuanya menciderai lembaga peradilan termasuk membuat runtuhya etik hakim, semakin tidak dipercayai masyarakat.

"Karena seolah kebanyakan hakim sudah ikut jadi bagian ‘makelar' mafia hukum bekerja sama dengan pengacara, panitera dan pengusaha, roboh dan rusak wibawa lembaga hukum itu sendiri," lanjut Azmi.

Maka sudah sepantasnya, penyidik gedung bundar Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus), ungkap Azmi, memperluas penyidikan kasus ini. Sebab dugaan Azmi kasus ini hanya fenomena gunung es. Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat kala itu juga perlu diperiksa.

"Bisa jadi mengingat banyak catatan tersangkut masalah hukum ketua pengadilan. Karenanya penting untuk evaluasi dan menyoroti pentingnya transparansi, akuntabilitas, dan pengawasan terhadap lembaga peradilan, termasuk dalam mendapatkan jabatan ketua pengadilan," bebernya.

Di lain sisi, Azmi menyoroti posisi Ketua Mahkamah Agung (MA) Sunarto yang tak tesentuh penyidik Jampidsus Kejagung di kasus suap vonis bebas Ronal Tannur turut menyeret eks Ketua PN Surabaya Rudi hingga eks pejabat MA, Zarof Ricar.

Azmi lantas menyinggung soal hubungan Zarof dengan Sunarto. Bahwa diduga Zarof Ricar adalah tim sukses Sunarto saat pemilihan Ketua MA, Rabu (16/10/2024) lalu. Pada hasil hitung suara, Sunarto menang telak dengan mengantongi 30 suara. 

Ia mengungguli tiga hakim agung lainnya yang mencalonkan diri, yakni Haswandi (4 suara), Soesilo (1 suara), dan Yulius (7 suara). Diketahui, Haswandi merupakan Hakim Agung Kamar Perdata, Soesilo Hakim Agung Kamar Pidana, dan Yulius menjabat Ketua Kamar Tata Usaha Negara.

Sidang paripurna itu dihadiri 45 dari 46 hakim agung. Adapun jumlah suara masuk adalah 44 suara yang terdiri dari 42 suara sah dan dua suara tidak sah, sementara satu suara lainnya abstain.

Namun ketika dikonfirmasi, juru bicara (Jubir) MA, Hakim Yanto membantah semua tudingan terhadap Sunarto. Dia juga membantah bahwa surat mencantumkan perjalanan Sunarto dengan Zarof Ricar, beserta para pimpinan dan pejabat di Mahkamah Agung (MA) lainya ke Sumenep. Pada surat bernomor 14/WKMA.Y/SB/HM2.1.1/IX/2024, terdapat logo garuda dan tulisan ‘Wakil Ketua Mahkamah Agung Bidang Yudisial’. Kata dia itu bukan surat resmi. 

Meski begitu, tegas Azmi, tak ada alasan kepada pihak Kejagung untuk tidak memeriksanya. "Diduga ada kedekatan khusus tampaknya Zarof dan Ketua MA sekarang. Maka mutlak untuk diperiksa juga," tegasnya.

Adapun dugaan kedekatan Sunarto dengan Zarof bukan tanpa dasar. Sebab pada faktanya Zarof yang sudah pensiun sejak 2022 masih bisa ikut perjalanan dinas bersama Sunarto dan beberapa hakim lainnya ke Sumenep, Madura, pada September lalu.

"Patut diduga ada sesuatu termasuk kesepakatan kesepakatan rahasia atau dugaan penyalahgunaan wewenang kah? Kedekatannya tidak lazim. Jika sdh pensiun dimasukkan dalam surat tugas," papar Azmi.

Cek alat bukti dan barang bukti yg disita, bandingkan dgn catatan dan nomor kode perkara. Bisa jadi apakah  ada majelis hakim Peninjauan Kembali yang juga ketua MA saat ini. Ini bisa jadi pintu masuk? Ini juga harus diperluas penyidikannya oleh jaksa. Jaksa harus berani panggil Ketua MA Sunarto," tambah dosen hukum pidana Universitas Trisakti (Usakti) itu.

Azmi lantas menegaskan bahwa kasus ini semestinya dijadikan menjadi upaya bersih-bersih pejabat pengadilan termasuk evaluasi rekrutmen di jajaran Mahkamah Agung, agar MA tidak selalu dibayang-bayangi citra buruk akibat ulah oknum pengadil lainnya yang mengabaikan fungsi kemuliaannya, sehingga lupa diri dalam menjalankan tugasnya. "Apalagi bila berhadapan dengan keadaan tawaran transaksi uang guna memenangkan suuatu perkara," tandas Azmi.

Menyandera Ketua MA?

Tidak dilekatkannya pasal suap dan tindak pidana pencucian uangan (TPPU) dalam Surat Dakwaan terdakwa Zarof Ricar terkait barang bukti uang sebesar Rp 920 miliar dan 51 kilogram emas patut diduga telah terjadi  permainan hukum, penyalahgunaan wewenang, dan kejahatan dalam jabatan  yang layak dimintai pertanggungjawaban kepada Febrie Adriansyah, selaku pimpinan tertinggi pada Jaksa Agung Muda Pidana Khusus yang memiliki kekuasaan penyidikan dan penuntutan perkara korupsi. 

“Barang bukti uang senilai Rp 920 miliar dan 51 kilogram emas sudah lebih terang dari cahaya malah sengaja dibuat gelap oleh jaksa selaku penuntut umum, dengan hanya mendakwa terdakwa Zarof Ricar dengan pasal gratifikasi," kata ahli hukum pidana dari Universitas Trisakti (Usakti), Azmi Syahputra kepada Monitorindonesia.com, Selasa (25/3/2025) lalu.

Padahal, ungkap Azmi, sebagai penanggungjawab penyidik, Jampidsus Febrie Adriansyah sangat memahami bahwa Zarof Ricar  tidak memiliki kapasitas untuk mendapatkan gratifikasi, mengingat kedudukannya tidak sebagai hakim pemutus perkara. 

Bahkan diyakini terdapat meeting of minds antara pemberi dan Zarof Ricar selaku perantara penerima suap dalam kaitan dengan barang bukti uang sebesar Rp 920 miliar dan 51 kilogram emas, yang bersumber dari tindak pidana. 

"Sehingga mutlak harus diterapkan pasal suap dan TPPU terhadap terdakwa Zarof Ricar. Diduga terjadi dugaan tindak korupsi dalam penyidikan kasus ini," jelas Azmi.

Menurutnya, Jampidsus Febrie Adriansyah tentu memahami keberadaan pasal 143 KUHAP yang mewajibkan penuntut umum untuk merumuskan dakwaan dengan lengkap dan cermat. 

Tetapi faktanya Surat Dakwaan Ricar Zarof sengaja dibuat tidak lengkap dengan tidak mengurai asal usul uang yang diduga suap sebesar Rp 920 miliar dan 51 kilogram emas, yang ditemukan pada saat dilakukan penggeledahan di  rumah kediaman Zarof Ricar di bilangan Jl. Senayan No. 8, Kel. Rawa Barat, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. 

Padahal, ditemukan petunjuk yang dapat didalami penyidik. Pada saat penggeledahan misalnya, ditemukan  bukti catatan tertulis antara lain “Titipan Lisa“, “Untuk Ronal Tannur: 1466/Pid.2024”, “Pak Kuatkan PN” dan “Perkara Sugar Group  Rp. 200 miliar” yang patut diduga uang sebesar Rp. 200 milyar itu merupakan bagian uang suap kepada hakim agung yang menangani perkara sengketa perdata antara PT. Sugar Group Company (SGC/Gunawan Yusuf) Dkk melawan Marubeni Corporation (MC) Dkk, sebagaimana pengakuan Zarof Ricar serta  menyebut nama-nama hakim agung yang terlibat. Termasuk Ketua MA, Soltoni Mohdally, mantan Ketua Kamar Perdata MA yang berasal dari Lampung dan Hakim Agung Syamsul Maarif. 

"Namun alih-alih mendalami, Jampidsus Febrie Adriansyah berdalih  dengan tidak masuk akal penyidik tidak harus memeriksa A apabila tersangka menyebutkan A. Febrie Adriansyah dapat dijerat dengan pasal  412 KUHP dan pasal 216 KUHP," tutur Azmi.

Sementara itu Ketua IPW, Sugeng Teguh Santoso, menduga pasal suap sengaja tidak diterapkan dalam dakwaan Zarof Ricar, dengan mengandung mens rea untuk menyelamatkan para pemberi suap agar tidak menjadi tersangka, dengan diduga menerima suap. 

Sekaligus  untuk kepentingan “menyandera” Ketua MA, Sunarto  dan sejumlah hakim agung yang diduga sebagai pihak penerima suap. 

“Penyidik pidsus Kejagung dibawah kepemimpinan Jampidsus Febrie Adriansyah disorot sering melakukan maladministrasi secara segaja, merekayasa kasus-kasus korupsi dengan melakukan praktek tebang pilih. Untuk mengamankan putusan atas tuntutan perkara-perkara korupsi yang dilimpahkan ke pengadilan ia perlu “menyandera” Ketua MA melalui penanganan perkara Zarof Ricar “ jelas Sugeng.

Menurutnya tidak diuraikannya asal usul sumber uang suap sebesar Rp 920 miliar dan 51 kilogram emas dalam surat dakwaan  memang mencurigakan. 

Pasalnya, sebagaimana yang telah riuh diberitakan media, sebagian sumber uang suap sebesar Rp.200 miliar itu diduga berasal dari penanganan perkara sengketa perdata antara  SGC Dkk melawan MC dan kawan-kawan, yang telah menyebabkan Hakim Agung Syamsul Maarif  nekat melanggar Pasal 17 ayat (5) UU No. 48 Tahun  2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. 

Syamsul Maarif adalah hakim agung yang memutus perkara  Peninjauan Kembali (PK)  No. 1362 PK/PDT/2024, tanggal 16 Desember 2024 -- hanya dalam tempo 29 hari. Padahal tebal berkas perkara mencapai tiga meter. 
 
Menurut Sugeng Teguh Santoso, perkara PK  No. 1362 PK/PDT/2024, tanggal 16 Desember 2024 itu sendiri, terkait perkara sengketa perdata antara  PT Sugar Group Company (SGC) milik Gunawan Yusuf Dkk melawan Marubeni Corporation (MC) Dkk, bernilai triliunan rupiah, yang pada tahun 2010 telah memiliki kekuatan hukum tetap (inkraht), berdasarkan  putusan kasasi No. 2447 K/Pdt/2009 tanggal  19 Mei 2010 dan No. 2446 K/Pdt/2009 tanggal  19 Mei 2010, dimenangkan oleh MC Dkk. 
 
Pihak SGC Dkk kemudian melakukan perlawanan, dengan memanfaatkan azas ius curia  novit, sebagaimana ditegaskan Pasal 10  UU No. 48 Tahun  2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, dimana pengadilan tidak boleh menolak memeriksa dan mengadili perkara, dengan obyek yang sama Gunawan Yusuf Dkk mendaftarkan kembali gugatan baru. 

Kini perkara tersebut tengah dalam pemeriksaan di Mahkamah Agung RI, sebagaimana perkara No. 1363 PK/Pdt/2024, No. 1364 PK/Pdt/2024 dan No. 1362 PK/Pdt/2024, yang diduga dengan bertumpu pada kekuatan uang suap, melalui perantara Zarof Ricar. Itu sebabnya tak heran meskipun telah purna tugas, Zarof Ricar tetap diikutsertakan dalam pelbagai perjalanan dinas pimpinan Mahkamah Agung RI. 
 
Total jumlah uang suap seluruhnya yang digelontorkan oleh PT. Sugar Group Company kepada Zarof Ricar diduga lebih dari Rp.200 milyar. Sebelumnya diduga telah digelontorkan untuk memenangkan perkara-perkara yang didaftarkan PT. Sugar Group Company  No. 394./Pdt.G/2010/PN.Jkt. Pst, No. 373/Pdt.G/2010/PN.Jkt.Pst, No. 470/Pdt.G/2010/Jkt.Pst dan No.18/Pdt.G/2010/Jkt.Pst.

Apa kata MA?

MA menyatakan menghormati proses hukum yang dilakukan Kejagung dan mendorong agar penyelidikan dilakukan secara transparan, adil, dan akuntabel. 

Juru bicara MA, Yanto, mengungkapkan bahwa Rudi akan diberhentikan sementara sebagai hakim setelah surat resmi penahanan diterima. Proses promosi Rudi menjadi hakim tinggi di Pengadilan Tinggi Sumatera Selatan juga dihentikan akibat status hukumnya.

Yanto mengatakan MA juga menyerahkan penyidikan kasus Rudi Suparmono kepada Kejagung. MA meminta agar kasus itu diusut secara transparan.

Rudi Suparmono ternyata sedang dalam proses promosi jadi hakim tinggi Palembang. Namun proses tersebut disetop karena Rudi tersangka kasus dugaan suap vonis bebas Ronald Tannur.

Sebagai informasi, setelah menjadi Ketua PN Surabaya, Rudi dipindah tugas menjadi Ketua PN Jakarta Pusat. Rudi kemudian dipromosikan sebagai hakim tinggi di Pengadilan Tinggi Sumatera Selatan (PT Sumsel).

Juru bicara Mahkamah Agung, Yanto, menjelaskan, promosi itu diberikan saat Rudi menjabat Ketua PN Jakarta Pusat. Yanto mengatakan promosi jabatan terjadi sebelum kasus dugaan suap di PN Surabaya diungkap oleh Kejagung.

“Beliau (Rudi) dipromosikan sebelum ada peristiwa. Begitu ada peristiwa, kemudian pimpinan Mahkamah Agung melarang untuk melantik,” kata Yanto.

Yanto mengatakan Rudi masih belum resmi menjadi hakim tinggi, proses promosi Rudi terhenti. Terjerat kasus dugaan suap, Rudi mendekam di balik jeruji besi alih-alih promosi.

“Tatkala ada peristiwa di Surabaya, pimpinan melarang untuk tidak dilantik. Belum dilantik sebagai hakim tinggi, jadi belum jadi promosi,” tuturnya. 

Terkait kasus ketua PN Jaksel Muhammad Arif Nuryanta, Juru bicara Mahkamah Agung (MA), Yanto mengatakan pihaknya akan memberikan keterangan pers terkait penangkapan Ketua Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, MAN pada Senin, 14 April 2025 besok. 

“Keterangan resmi akan disampaikan besok (Senin, 14/4/2025),” kata Yanto, Minggu (13/4/2025). 

Jejak M Arif Nuryanta

Dilihat Monitorindonesia.com dari situs Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Minggu (13/4/2025), Arif menjabat sebagai Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan sejak 6 November 2024. Dia sebelumnya menjabat sebagai Wakil Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sejak 17 Januari 2024.

Di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Arif memiliki golongan/pangkat Pembina Utama Muda. Pendidikan terakhirnya merupakan strata dua.

Arif memulai karir dengan menjadi calon hakim pada Pengadilan Negeri Batang sejak Agustus 2021. Setahun berselang, atau tepatnya 13 September 2002, ia menjadi hakim tingkat pertama Pengadilan Negeri Tanah Grogot.

Arif lalu pernah melalang buana menjadi Hakim Tingkat Pertama pada Pengadilan Negeri Banjar Baru, Pengadilan Negeri Banjar Negara hingga Pengadilan Negera Karawang. Karir itu dijalani Arif selama periode 2007 hingga 2013.

Karir Arif lalu mulai melonjak dengan ditunjuk sebagai Wakil Ketua Pengadilan Negeri Bangkinang pada 31 Agustus 2015. Setahun berselang, ia menjabat sebagai Ketua Pengadilan Negeri Bangkinang.

Jabatan Arif makin mentereng usai didapuk sebagai Wakil Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 17 Januari 2024. Jabatan itu berlangsung selama 11 bulan usai ia dilantik sebagai Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan sejak 6 November 2024.

Perjalanan Arif di dunia kehakiman kini berhenti usai ia ditangkap dan ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejagung. Arif diduga menerima suap Rp 60 miliar sebagai pemulus untuk mengatur vonis lepas tiga terdakwa korporasi dalam kasus korupsi minyak goreng. (wan)

Topik:

Kejagung MA PN Surabaya PN Jaksel PN Jakpus Zarof Ricar CPO Ronald Tannur