Menyoal 'Pengawasan' Massal Kejagung: UU PDP Dikangkangi?

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 29 Juni 2025 13:54 WIB
Kerja sama Kejaksaan Agung dengan sejumlah penyedia layanan telekomunikasi terkait penyadapan dinilai "problematis" oleh pengamat dan pegiat hak digital karena tindakan itu tergolong pengawasan massal yang berpotensi melanggar hak atas privasi. (Ilsutrasi)
Kerja sama Kejaksaan Agung dengan sejumlah penyedia layanan telekomunikasi terkait penyadapan dinilai "problematis" oleh pengamat dan pegiat hak digital karena tindakan itu tergolong pengawasan massal yang berpotensi melanggar hak atas privasi. (Ilsutrasi)

Jakarta, MI - Kejaksaan Agung (Kejagung) telah meneken nota kesepahaman dengan empat penyedia layanan komunikasi, yakni PT Telekomunikasi Indonesia Tbk, PT Telekomunikasi Selular, PT Indosat Tbk, dan PT Xl Smart Telecom Sejahtera Tbk, Selasa (24/6/2025) lalu.

Kerja sama ini dimaksudkan penguatan pertukaran dan pemanfaatan informasi untuk kebutuhan intelijen. Lantas mengapa perjanjian kerja sama soal penyadapan ini dianggap bermasalah?

Peneliti isu kebijakan digital, Wahyudi Djafar, mengatakan belum ada regulasi yang mengatur pembatasan aktivitas penyadapan oleh Kejagung.

"Menjadi problematis ketika membaca bagaimana kesepakatan antara Kejaksaan Agung dengan operator-operator ini...[karena] mengesankan bahwa Kejaksaan Agung akan melakukan istilahnya surveillance [pengawasan] massal," kata Wahyudi, Jumat (27/6/2025).

Undang-undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia pasal 30 C menyebut "penyadapan berdasarkan Undang-Undang khusus yang mengatur mengenai penyadapan dan menyelenggarakan pusat pemantauan di bidang tindak pidana."

"Sayangnya Undang-Undang Penyadapan itu belum ada," kata Wahyudi. Wahyudi menjelaskan, penyadapan tak dapat dilakukan secara sewenang-wenang karena sifatnya membatasi hak asasi seseorang. Karena itu, menurutnya, pembatasan harus ada. 

Bentuknya dapat berupa ketentuan, seperti penyadapan wajib mendapat surat perintah pengadilan atau untuk kasus-kasus dengan barang bukti yang cukup. "Tidak bisa kemudian secara umum melakukan pemantauan," kata Wahyudi.

Tanpa pembatasan penyadapan yang jelas, Kejaksaan bisa mengakses data secara terus-menerus. "Melakukan penyadapan secara terus-menerus terhadap komunikasi-komunikasi personal melalui provider-provider telekomunikasi yang melakukan kesepakatan dengan Kejaksaan Agung ini. Ini sangat-sangat mengancam perlindungan hak atas privasi warga negara," jelasnya.

Wahyudi mencontohkan lembaga penegak hukum lain seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) perlu meminta izin kepada organ internal, yakni Dewan Pengawas, untuk melakukan penyadapan.

Sementara pegiat hak digital dari Safenet, Nenden Sekar Arum, menjelaskan warga perlu memberikan persetujuan terlebih dahulu perihal hal-hal apapun yang dilakukan penyedia layanan telekomunikasi terhadap data pribadi milik mereka. Pun, Nenden mengacu pada Undang-undang tentang Perlindungan Data Pribadi (PDP) yang mengatur pemrosesan data pribadi.

"Karena kalau tidak ada persetujuan dari penggunanya, dari kita, itu sebenarnya sudah melanggar hak atas privasi yang ada di PDP," kata Nenden.

Ia menambahkan perusahaan penyedia layanan perlu juga menginformasikan jenis data apa yang dibagikan kepada aparat penegak hukum. Lebih jauh, Nenden mengatakan pembagian data kepada aparat penegak hukum ini juga perlu dilakukan terukur.

"Harusnya hanya orang-orang yang memberikan consent-lah [persetujuan] yang, kemudian datanya bisa dibagikan. Kalau enggak, berarti itu sudah melanggar ya hak atas privasi," ungkap Nenden.

Nenden menjelaskan warga atau konsumen yang tak berkenan dengan kebijakan ini bisa mencoba meminta penjelasan kepada perusahaan via layanan pelanggan. Menurut Nenden, jika konsumen tak mendapat layanan yang memuaskan, mereka bisa mulai menginisiasi tindakan hukum.

"Kalau misalnya kita enggak dapat jawaban yang memuaskan atau bahkan misalnya bilang customer service-nya enggak tahu soal itu, mungkin kita bisa lanjut ke konteks somasi," kata Nenden.

Namun menurut Ketua Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), Muhammad Arif, kerja sama antara Kejagung dan operator telekomunikasi sudah baik karena penyadapan dilakukan pihak yang tepat.

"Menurut saya itu bagus karena pihak-pihak yang bisa menyadap ini pihak-pihak yang bertanggung jawab, jadi enggak dipakai tidak pada tempat semestinya," kata Arif, Jumat (27/6/2025).

Arif menjelaskan, konsumen memang perlu memahami betul syarat dan ketentuan mengenai layanan telekomunikasi yang mereka gunakan. Hal ini menurutnya berguna agar konsumen memahami hal apa saja yang bisa dilakukan penyedia jasa terhadap data-data yang mereka miliki.

Namun, di sisi lain ia menilai, perusahaan juga perlu bersikap transparan mengenai kebijakan-kebijakan terkait kemungkinan penyadapan. "Baiknya memang disosialisasikan juga ke seluruh konsumen," kata Arif.

Sementara itu, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Harli Siregar, mengklaim pihaknya tidak akan sembarangan melakukan penyadapan.

"Ini murni karena dalam konteks penegakan hukum, perlu ada fungsi yang bisa mendukung membantu itu sehingga perlu dikerjasamakan," kata Harli, Kamis (26/6/2025).

Ketua DPR, Puan Maharani, menekankan perihal hak konstitusional atas data pribadi. "Penegakan hukum sangat penting, tapi Kejaksaan harus memperhatikan hak atas perlindungan data pribadi karena hak privat adalah hak konstitusional," kata Puan Maharani, Jumat (27/6/2025).

Topik:

Kejagung Penyadapan UU PDP