Dibongkar Purbaya! Siapa ‘Benteng Perlindungan Koruptor’ di Bea Cukai?

Aldiano Rifki
Aldiano Rifki
Diperbarui 1 November 2025 3 jam yang lalu
Ilustrasi - Petugas Bea Cukai Indonesia (Foto: Istimewa)
Ilustrasi - Petugas Bea Cukai Indonesia (Foto: Istimewa)

Jakarta, MI - Kasus dugaan korupsi ekspor palm oil mill effluent (POME) atau limbah minyak kelapa sawit pada 2022 saat ini dinyatakan telah sampai ke tahap penyidikan.

Salah satu sasaran penyidikan, di antaranya yaitu melakukan penggeledahan di lima lokasi, seperti Kantor Direktur Jenderal (Dirjen) Bea Cukai bahkan hingga ke rumah pribadi milik pejabatnya.

“Yang jelas memang penggeledahan terkait dengan perkara di Bea Cukai ada penggeledahan lebih dari lima titik dan barang-barang yang sudah diambil ada dokumentasi-dokumentasi yang diperlukan dalam penyidikan,” kata Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung (Kejagung), Anang Supriyatna dikutip pada Sabtu (1/11/2025).

Namun, Anang belum memberikan keterangan perincian terkait lokasi-lokasi mana saja yang dilakukan penggeledahan. Dirinya hanya menyebut beberapa tempat berada di kawasan Jakarta dan sebagian lainnya di luar Jakarta. “Saya tidak hafal detailnya, tapi yang jelas lebih dari lima titik. Ada rumah pejabat. Yang jelas ada di sekitar Jakarta dan ada di luar juga ada (Jakarta),” lanjut Anang.

Dari hasil penggeledahan di lima titik yang baru masuk dalam tahap penyidikan secara umum tersebut, pihaknya telah mengamankan sejumlah dokumen yang berkaitan dengan kegiatan ekspor POME atau limbah minyak kelapa sawit.

Selain penggeledahan, penyidikan juga dilakukan dengan memeriksa sejumlah saksi, dengan jumlahnya yang mencapai 10 orang dari perkara tersebut.

“Saksi sudah diperiksa, penggeledahan sudah, pokoknya ketika melakukan upaya paksa dan salah satunya penggeledahan langkah hukum ini pastinya saksi-saksi sudah ada yang diperiksa, udah pasti itu. Lebih dari 10 (saksi sudah diperiksa),” demikian Anang.

Alih-alih terbongkarnya kasus dugaan korupsi di bea dan cukai, tak lepas dari peran Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewo. Dalam sebuah wawancara, Purbaya menyatakan bahwa praktik lancung sudah lama terjadi di kementerian yang dipimpinnya, terutama sektor pajak dan kepabeanan. Namun, praktik tersebut nyaris tak tersentuh.

Purbaya mengungkap adanya semacam benteng perlindungan yang melindungi aparat yang melakukan praktik lancung di lingkungan fiskal. Aparat pajak dan bea cukai yang terlibat pelanggaran justru mendapat perlindungan dari pihak tertentu. 

Purbaya Yudhi Sadewa
Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa (Foto: Dok MI/Istimewa)

Purbaya menceritakan pengalamannya berdialog dengan Jaksa Agung. Ia mengaku terkejut ketika mengetahui bahwa sebelumnya ada kebiasaan untuk tidak menindak pelanggaran aparat pajak atau cukai demi menjaga stabilitas penerimaan negara. 

“Saya ditanya, boleh nggak orang pajak atau cukai yang menyeleweng dihukum? Saya bilang, ya tentu boleh, semua sama di mata hukum. Rupanya sebelumnya dilindungi, supaya jangan diganggu karena dianggap bisa mengganggu pendapatan nasional,” kata Purbaya dinukil Monitorindonesia.com, Sabtu (1/11/2025).

Menurutnya, praktik itu menciptakan moral hazard dan memperparah budaya impunitas di birokrasi fiskal. Ia menyebut kondisi tersebut seperti memberi insentif bagi aparat untuk berbuat salah karena tahu akan dilindungi. 

“Itulah yang menciptakan moral hazard. Seolah dikasih insentif untuk berbuat dosa. Kalau begini, korupsi di negara ini sulit diberantas karena dilindungi,” bebernya.

Purbaya menegaskan, dirinya tidak akan memberi perlindungan bagi pegawai yang terbukti melakukan pelanggaran hukum. Namun, ia berkomitmen untuk melindungi aparat yang bekerja dengan jujur dan sesuai aturan. 

“Petugas pajak yang baik nggak usah takut. Tapi yang miring-miring boleh takut sekarang. Kalau benar tapi diganggu, saya lindungi habis-habisan. Tapi kalau mencuri atau terima uang lalu minta perlindungan, nggak ada itu,” ungkapnya.

Ia menambahkan bahwa fenomena tersebut menunjukkan akar persoalan korupsi yang sistematis di lembaga pengumpul pendapatan negara. Oleh karena itu, reformasi kelembagaan di sektor perpajakan dan kepabeanan disebut menjadi prioritas agar integritas aparatur dapat pulih.

Temuan BPK

Tempus delicti dugaan korupsi POME itu pada tahun 2022. Menukil pada temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terdapat sejumlah kelemahan dalam pengelolaan kegiatan pengawasan dan audit di Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan selama periode 2021–2023. 

Salah satu temuan utama BPK adalah belum adanya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) yang mengatur tata cara pelayanan dan pengawasan terhadap pengangkutan Barang Tertentu dalam daerah pabean, sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Kepabeanan.

Dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) I Tahun 2024, BPK menilai kekosongan aturan tersebut membuka peluang terjadinya penyalahgunaan atau penyelundupan barang antar pulau. Hingga akhir 2023, belum ada instansi teknis yang menyampaikan penetapan Barang Tertentu yang perlu diawasi lintas wilayah.

“Dengan belum ditetapkannya PMK, terdapat potensi penyalahgunaan dan penyelundupan barang melalui modus pengangkutan antarpulau,” demikian laporan BPK dalam IHPS I/2024 sebagaimana diperoleh Monitorindonesia.com, Sabtu (1/11/2025).

Dengan demikian, maka BPK merekomendasikan agar Menteri Keuangan segera menetapkan PMK yang mengatur tata cara pelayanan dan pengawasan terhadap pengangkutan Barang Tertentu dalam daerah pabean, sesuai amanat UU Kepabeanan.

Selain itu, BPK juga menyoroti lemahnya pendokumentasian Kertas Kerja Audit (KKA) di lingkungan DJBC. Laporan menyebutkan, banyak dokumen pendukung audit yang tidak lengkap atau tidak ditatausahakan dengan baik. 

Dasar penetapan tarif dan nilai pabean juga tidak terdokumentasi secara tertib, sementara pedoman penyusunan KKA hingga kini belum ditetapkan. BPK RI mengungkap sejumlah kelemahan Ditjen Bea dan Cukai sebagaimana dilaporkan dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester I tahun 2024.  

Kelemahan administrasi tersebut membuat Laporan Hasil Audit (LHA) DJBC tidak dapat dievaluasi secara optimal dan KKA tidak dapat dijadikan acuan untuk audit berikutnya. 

Menindaklanjuti temuan itu, BPK meminta Menteri Keuangan memerintahkan Direktur Jenderal Bea dan Cukai untuk segera menyusun pedoman penyusunan dan penatausahaan KKA yang mengatur pendokumentasian dokumen pendukung serta bukti audit, termasuk format kertas kerja yang menjadi dasar penetapan tarif atau nilai pabean.

Adapun audit tersebut dilakukan BPK dalam rangka mendukung pilar pertumbuhan dan daya saing ekonomi, khususnya reformasi fiskal, serta mendorong pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) ke-16 tentang lembaga yang efektif, akun tabel, dan transparan.

Topik:

Bea Cukai Kejagung Korupsi POME Menkeu Purbaya Yudhi Sadewa