DPR Tolak RPMK Soal Rokok: Industri Terancam, Pajak Bisa Hilang Rp160 Triliun

Rizal Siregar
Rizal Siregar
Diperbarui 10 Juni 2025 08:39 WIB
Nurhadi (Dok.  MI)
Nurhadi (Dok. MI)

Jakarta, MI  – Rencana Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menerbitkan aturan baru soal pengendalian produk tembakau menuai sorotan tajam dari DPR. Aturan tersebut tertuang dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) sebagai turunan dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024.

Salah satu poin utama dalam RPMK ini adalah kewajiban kemasan polos (plain packaging) untuk produk rokok, larangan iklan, serta pembatasan penjualan dalam radius 200 meter dari kawasan pendidikan dan taman bermain.

Kebijakan ini langsung mendapat respons kritis dari anggota Komisi IX DPR RI, Nurhadi, yang mempertanyakan urgensi serta efektivitas RPMK tersebut. Ia mengaku belum melihat penjelasan komprehensif dari Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin saat rapat bersama Komisi IX DPR beberapa waktu lalu.

“Saya mendorong agar pemerintah mengevaluasi kembali dan melibatkan lebih banyak pihak sebelum RPMK ini disahkan,” tegas Nurhadi, Selasa (10/6/2025).

Politikus Partai NasDem ini mengaku khawatir RPMK justru akan menimbulkan efek domino yang merugikan, khususnya bagi daerah yang menggantungkan perekonomiannya pada industri tembakau seperti Bondowoso dan Kediri.

“Saya bukan perokok, tapi saya berempati pada 1.300 industri rokok yang mempekerjakan sekitar 600 ribu orang, serta ratusan ribu petani dan pedagang kecil yang menggantungkan hidupnya dari tembakau,” kata dia.

Ia bahkan mengibaratkan kebijakan ini sebagai pengemudi yang nekad menabrak kerbau yang sedang menyeberang di jalan.

“Kalau pengemudi nekat, bisa saja kerbaunya mati, mobilnya rusak, dan pengemudinya luka-luka. Tapi kalau sabar sedikit, semua bisa selamat. Pak Menteri pintar, tapi saya merasa kebijakan ini kurang bijaksana,” ujar Nurhadi.

Menurutnya, Kemenkes terlalu tergesa menerapkan regulasi tanpa mempertimbangkan dampak ekonomi yang luas. Ia menyebut, jika tiga poin utama dalam RPMK diterapkan secara penuh, potensi kehilangan ekonomi bisa mencapai Rp308 triliun, atau setara 1,5 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Tak hanya itu, dari sisi penerimaan negara, pemerintah disebut berisiko kehilangan Rp160,6 triliun dari pajak tembakau, yang setara 7 persen dari total penerimaan pajak nasional.

“Kemenkes bilang ini soal pengendalian rokok, tapi kalau kebijakan ini justru menyuburkan rokok ilegal, lalu siapa yang diuntungkan?” sindir Nurhadi.

Lebih lanjut, ia juga mempertanyakan keberadaan rencana kompensasi atau program alternatif untuk petani tembakau dan pedagang kecil yang terdampak. Selain itu, tidak adanya pelibatan organisasi masyarakat seperti Serikat Petani Tembakau dalam proses penyusunan RPMK juga disesalkan.

“Kalau ini diterapkan tanpa transisi yang bijak, kita bisa ulang kesalahan seperti saat industri sapi perah kolaps. Setiap hari sapi dibuang karena tidak laku. Ini bisa terjadi juga pada tembakau,” ujarnya.

Nurhadi menilai kebijakan ini hanya fokus pada aspek kesehatan tanpa memperhitungkan dampak sosial dan ekonomi yang akan terjadi.

“Negara ini lucu kalau setiap kebijakan selalu menunggu kegaduhan baru kemudian dievaluasi. Saya keras menolak RPMK ini bukan karena saya merokok, tapi karena saya melihat langsung dampaknya bagi rakyat kecil,” tandasnya.

Sementara itu, Kabiro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes, Siti Nadia Tarmizi, menegaskan bahwa RPMK bertujuan untuk mengendalikan konsumsi rokok dan zat adiktif, bukan untuk melarang aktivitas merokok secara menyeluruh.

“Kami tidak melarang orang merokok. Itu hak individu. Tapi kami ingin ada pengendalian agar prevalensi perokok bisa turun,” ujarnya.

Namun, di tengah niat baik itu, muncul kekhawatiran bahwa kebijakan ini justru bisa menciptakan celah bagi peredaran rokok ilegal.

Pengamat kebijakan publik Dwijo Suyono juga ikut angkat suara. Ia menilai industri tembakau seharusnya tidak ditekan dengan regulasi berlebihan, mengingat kontribusinya yang besar terhadap pendapatan negara.

“Pajak rokok pada 2023 tercatat sebesar Rp213,48 triliun, hampir 10 persen dari total penerimaan pajak. Tapi kenapa industri ini justru dibebani dengan begitu banyak pembatasan?” ujarnya.

Dwijo menilai, pendekatan yang lebih proporsional dan melibatkan seluruh pemangku kepentingan harus menjadi landasan sebelum kebijakan RPMK disahkan.

Topik:

Rokok Tolak RPMK DPR