Komisi I DPR Desak Revisi RUU Penyiaran, Atur OTT seperti Netflix dan TikTok

Rizal Siregar
Rizal Siregar
Diperbarui 17 Juni 2025 14:42 WIB
Anggota Komisi I dari Fraksi Golkar, Abraham Sridjaja (Foto. Rizal)
Anggota Komisi I dari Fraksi Golkar, Abraham Sridjaja (Foto. Rizal)

Jakarta, MI  -  Revisi Undang-Undang Penyiaran kembali menjadi sorotan utama Komisi I DPR RI. Anggota Komisi I dari Fraksi Golkar, Abraham Sridjaja, menegaskan bahwa pembahasan RUU ini harus segera diselesaikan dengan tetap mempertimbangkan perkembangan teknologi digital dan penguatan kewenangan lembaga pengawas.

“Saya dari Komisi I hari ini diundang untuk membahas RUU Penyiaran. Seperti yang teman-teman ketahui, RUU ini sudah lama masuk Prolegnas prioritas, sejak tahun 2012, namun sampai sekarang belum ada kesepakatan,” kata Abraham,  dalam dikusi Menjawab Tantangan Era Digital Lewat Rancangan Undang-Undang Penyiaran Baru  di   Ruang PPIP Gedung Nusantara  I DPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa  (17/6/2025).

Menurutnya, perkembangan teknologi digital membuat revisi RUU ini semakin mendesak. Platform seperti Netflix, TikTok, YouTube, dan berbagai layanan Over the Top (OTT) lainnya tidak diatur dalam versi RUU tahun 2012, yang saat itu hanya fokus pada siaran konvensional berbasis frekuensi.

“Kondisi ini menciptakan kekosongan hukum. TV konvensional diatur ketat, tapi OTT tidak. Ini menimbulkan keresahan, terutama soal konten vulgar yang beredar tanpa sensor,” ujarnya.

Namun Abraham mengingatkan, revisi ini tidak boleh dilakukan secara terburu-buru. Salah satu kekhawatiran utama adalah potensi tumpang tindih kewenangan antar lembaga, seperti Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Dewan Pers, dan Direktorat Pengawasan Ruang Digital di bawah Kominfo (Komdigi).

“RUU ini harus hati-hati. Kita tidak ingin ada benturan antara KPI dan Dewan Pers, atau antara KPI dan Komdigi. Kalau definisi ‘penyiaran’ diperluas ke ranah digital, maka KPI bisa terlalu super power. Lalu untuk apa ada Komdigi?” tegasnya.

Abraham menyebutkan, secara prinsip penyiaran melalui frekuensi dan layanan berbasis internet adalah dua hal berbeda, sehingga idealnya diatur dengan undang-undang terpisah. Ia mencontohkan praktik di Amerika Serikat, di mana TV konvensional diawasi oleh FCC, sementara layanan OTT seperti Netflix atau YouTube diawasi oleh lembaga berbeda, FPC.

“Kalau mau semua diatur dalam satu undang-undang, judulnya juga harus diganti. Misalnya, ‘RUU Penyiaran dan Platform Digital’ atau ‘RUU Penyiaran dan Konten Digital’. Kalau tidak, akan ada celah tumpang tindih dan penyalahgunaan wewenang,” paparnya.

Abraham mengungkapkan bahwa Komisi I sudah melakukan rapat bersama Badan Keahlian DPR RI untuk membahas skema ideal pengawasan konten digital, termasuk kemungkinan pembentukan lembaga baru yang fokus pada platform OTT dan media digital lainnya.

“Intinya, komitmen kami di Komisi I adalah menyelesaikan revisi RUU Penyiaran ini secepat mungkin, tapi juga dengan cermat. Jangan sampai menimbulkan tumpang tindih atau malah jadi alat permainan oknum tertentu,” pungkasnya.

Revisi RUU Penyiaran saat ini masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025. Pemerintah dan DPR diharapkan segera menemukan titik temu dalam perumusan norma-norma hukum yang menjawab tantangan era digital sekaligus menjaga kebebasan pers dan integritas lembaga penyiaran.

 

Topik:

OTT DPR RUU Penyiaran Prolegnas