DPR akan Panggil Kejagung soal MoU Penyadapan Tanpa UU Khusus


Jakarta, MI - Komisi III DPR RI akan memanggil pihak Kejaksaan Agung untuk memberikan penjelasan terkait penandatanganan nota kesepahaman (MoU) dengan empat operator telekomunikasi nasional mengenai praktik penyadapan.
Langkah itu menuai sorotan lantaran belum adanya payung hukum khusus yang mengatur secara tegas tentang penyadapan di Indonesia.
Anggota Komisi III dari Fraksi PKS, Nasir Djamil, menilai penandatanganan MoU tersebut berpotensi melangkahi ketentuan hukum yang telah ditegaskan oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
“Putusan MK itu jelas menyatakan bahwa penyadapan harus diatur melalui undang-undang khusus. Sampai hari ini, beleid itu belum juga dibentuk, baik oleh pemerintah maupun DPR,” ungkap Nasir dalam keterangannya, Sabtu (28/6/2025).
Nasir merujuk pada Putusan MK Nomor 5/PUU-VIII/2010 yang menyatakan bahwa penyadapan penyadapan sebagai tindakan yang membatasi hak konstitusional warga negara. Karenanya hanya dapat dibenarkan jika diatur dengan undang-undang yang khusus dan tegas.
Ia menyatakan, sejauh ini Komisi III DPR telah beberapa kali menggelar pertemuan dengan berbagai pihak untuk menyerap masukan dalam rangka menyusun Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyadapan. Namun hingga saat ini, naskah resmi RUU tersebut belum juga masuk ke dalam tahap pembahasan formal di DPR.
Nasir juga menyoroti ketentuan Pasal 30C dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan, yang menyebut Kejaksaan memiliki kewenangan melakukan penyadapan. Menurutnya, ketentuan tersebut bersifat normatif dan belum dapat dijalankan tanpa payung hukum yang lebih spesifik.
“Ada kesepahaman antara pemerintah dan DPR saat itu bahwa pelaksanaan Pasal 30C baru bisa dilakukan jika UU Penyadapan sudah terbentuk,” jelasnya.
Menanggapi hal tersebut, Nasir Djamil menyatakan akan mendorong Komisi III DPR RI untuk segera mengagendakan pemanggilan Kejaksaan Agung guna meminta penjelasan resmi terkait substansi dan dasar hukum dari nota kesepahaman yang telah diteken.
“Mudah-mudahan awal Juli ini kami bisa mengundang Kejaksaan Agung. Salah satu agendanya tentu untuk meminta penjelasan terkait nota kesepahaman ini. Kami tidak ingin ada kesalahpahaman dalam memahami Pasal 30C,” kata Nasir.
Sebelumnya diberitakan, Kejaksaan Agung memperluas ruang geraknya dalam penegakan hukum dengan menjalin kerja sama strategis bersama empat operator telekomunikasi nasional. Kolaborasi ini dimaksudkan untuk mempermudah akses terhadap data dan informasi yang sebelumnya sulit dijangkau karena bersifat terbatas.
Adapun keempat operator itu adalah PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (Telkom), PT Telekomunikasi Selular (Telkomsel), PT Indosat Tbk, dan PT Xlsmart Telecom Sejahtera Tbk. Kolaborasi ini memungkinkan Kejaksaan mengakses data sampai menyadap informasi secara legal, sesuai ketentuan perundang-undangan.
“Nota kesepakatan ini berfokus pada pertukaran dan pemanfaatan data dan/atau informasi dalam rangka penegakan hukum, termasuk pemasangan dan pengoperasian perangkat penyadapan informasi serta penyediaan rekaman informasi telekomunikasi,” tutur Jaksa Agung Muda Intelijen (Jamintel), Reda Manthovani, Kamis (25/6/2025).
Ia menekankan bahwa kerja sama ini merupakan langkah signifikan dalam mendukung penegakan hukum, khususnya dalam menghadirkan informasi A1 yang kredibel untuk memburu pelaku kejahatan, termasuk buronan kelas kakap. Ia mencontohkan, pencarian buron dengan dukungan operator, maka keberadaan mereka bisa dilacak lewat sinyal telekomunikasi secara real time, bahkan hingga rekaman komunikasi terakhir.
“Data dan/atau informasi dengan kualifikasi A1 tersebut tentunya memiliki berbagai manfaat, diantaranya dalam tataran praktis seperti pencarianburonan atau daftar pencarian orang," pungkasnya.
Topik:
kejaksaan-agung penyadapan komisi-iii-dpr-ri