Anggaran Rp13 Miliar Lewat Swakelola: Siapa Diuntungkan, Siapa Disingkirkan?


Sofifi, MI – Pemerintah Provinsi Maluku Utara (Pemprov Malut) kembali menjadi sorotan tajam setelah dua proyek bernilai belasan miliaran rupiah pada tahun anggaran 2025 tidak melalui proses lelang terbuka.
Padahal sebelumnya, Gubernur Sherly Tjoanda pernah menyebut kondisi kantor gubernur dipenuhi jamur hitam dan kerusakan struktural. Namun penanganannya justru dilakukan dengan metode swakelola, bukan melalui penyedia jasa profesional yang seharusnya bersaing dalam proses lelang terbuka.
Proyek tersebut yaitu rehabilitasi rumah dinas gubernur senilai Rp8,8 miliar dan rehabilitasi kantor gubernur senilai Rp4,2 miliar yang dikerjakan dengan skema swakelola oleh Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Malut.
Fakta ini menimbulkan kekhawatiran di kalangan penyedia jasa konstruksi lokal yang selama ini menantikan proses tender sebagai ruang kompetisi yang terbuka dan legal.
Para kontraktor lokal yang biasa berpartisipasi dalam tender-tender Pemprov Malut kini hanya bisa gigit jari. Jika skema swakelola ini terus dilakukan, maka ruang bagi pelaku usaha lokal untuk mendapatkan proyek pemerintah akan semakin sempit. Hal ini justru bertentangan dengan prinsip pemberdayaan ekonomi lokal.
Potensi pelaksanaan proyek-proyek di lingkungan Pemprov Malut tanpa mekanisme tender terbuka kini menjadi kekhawatiran serius.
Sinyal ini mulai tampak sejak dua proyek bernilai miliaran rupiah yaitu rehabilitasi rumah dinas dan kantor Gubernur Maluku Utara, yang secara terang-terangan dikerjakan menggunakan skema swakelola oleh Dinas PUPR.
Padahal, nilai kontrak masing-masing proyek tersebut jauh melampaui ambang batas pengadaan langsung, dan seharusnya tunduk pada mekanisme tender terbuka sesuai regulasi pengadaan barang dan jasa pemerintah.
Kondisi ini memunculkan kekhawatiran bahwa pola swakelola bisa menjadi metode utama dalam pengelolaan proyek di tahun anggaran 2025 oleh Pemprov Malut.
Informasi dari sumber internal menyebutkan bahwa terdapat sejumlah program fisik lain yang juga diarahkan untuk dikelola secara swakelola.
Jika pola ini dibiarkan tanpa pengawasan ketat dan landasan hukum yang sah, maka bukan tidak mungkin seluruh proyek strategis daerah, termasuk pembangunan infrastruktur jalan, gedung sekolah, dan fasilitas kesehatan akan dikerjakan tanpa melalui proses kompetitif yang transparan.
Skema swakelola dalam konteks proyek bernilai besar secara prinsip hanya diperkenankan dalam kondisi tertentu yang mendesak atau bersifat padat karya.
Namun apabila seluruh Organisasi Perangkat Daerah (OPD) menjadikan swakelola sebagai pola umum pengadaan, maka potensi pelanggaran aturan, konflik kepentingan, hingga praktik korupsi sistemik menjadi ancaman nyata.
Dalam situasi ini, peran pengawasan legislatif, lembaga antikorupsi, dan partisipasi masyarakat sipil menjadi sangat krusial untuk mengawal pelaksanaan anggaran agar tetap berada dalam koridor hukum dan etika publik.
Di bawah kepemimpinan Gubernur Sherly Tjoanda dan Wakil Gubernur Sarbin Sehe, tercatat bahwa proyek-proyek infrastruktur bernilai besar mulai cenderung dijalankan melalui metode swakelola.
Pantauan langsung MonitorIndonesia.com di lokasi rumah dinas gubernur di Sofifi memperlihatkan adanya kegiatan rehabilitasi yang sedang berlangsung.
Di lokasi terpampang papan proyek yang mencantumkan secara jelas bahwa proyek tersebut adalah kegiatan swakelola dengan nilai kontrak Rp8.854.900.000 dan waktu pelaksanaan selama 90 hari kalender.
Beberapa hari kemudian, papan proyek serupa juga terlihat di lokasi kantor gubernur. Dalam papan informasi tersebut tertulis kegiatan rehabilitasi kantor gubernur Maluku Utara dengan nilai kontrak Rp4.252.660.000, juga dikerjakan dengan sistem swakelola selama 90 hari. Keduanya bersumber dari Dana Alokasi Umum (DAU) tahun anggaran 2025.
Ketiadaan proses tender pada proyek bernilai miliaran rupiah ini menjadi sorotan keras, terlebih karena bertentangan dengan ketentuan umum pengadaan barang dan jasa pemerintah yang berlaku.
Menariknya, ketika dimintai tanggapan, Wakil Gubernur Sarbin Sehe memilih irit bicara. Ia justru meminta wartawan untuk langsung menanyakan kepada pejabat teknis di Dinas PUPR.
“Makanya deng PU nanti. Cari Plt PU, secara teknis dia paling paham,” ujar Sarbin saat ditemui di Kantor Gubernur Malut, Rabu (7/5/2025).
Namun hingga saat ini, Dinas PUPR belum memberikan keterangan resmi terkait alasan penggunaan skema swakelola untuk kedua proyek tersebut. Tidak ada penjelasan apakah telah dilakukan kajian teknis atau administratif sebagai dasar keputusan tersebut.
Ketua DPRD Maluku Utara, Ikbal Ruray, adalah pihak yang paling lantang mempertanyakan legalitas pelaksanaan proyek-proyek swakelola ini.
Dalam pernyataannya, Ikbal secara tegas menyebutkan bahwa setiap pengadaan barang dan jasa pemerintah dengan nilai di atas Rp400 juta wajib melalui mekanisme tender.
“Nilainya begitu besar, harus lelang. Kalau kegiatan yang dikelola sesuai pengadaan langsung, maksimal hanya Rp400 juta. Kalau sudah di atas Rp400 juta, itu wajib lelang,” tegas Ikbal, Kamis (8/5/2025), di Sofifi.
Ikbal menambahkan bahwa DPRD Malut akan menjadwalkan Rapat Dengar Pendapat (RDP) melalui Komisi III untuk memanggil Dinas PUPR dan Biro Pengadaan Barang dan Jasa (BPBJ). Langkah ini dilakukan agar proses dan keputusan proyek dapat diklarifikasi secara resmi dalam forum terbuka.
“Kami akan koordinasi dengan Komisi III untuk segera panggil Dinas PUPR dan BPBJ. Supaya semua proses dijelaskan secara resmi dalam forum terbuka, bukan koordinasi-koordinasi informal yang tidak bisa dipertanggungjawabkan,” katanya.
Menurut Ikbal, skema swakelola seharusnya digunakan secara terbatas dan dengan alasan kuat, seperti kondisi darurat, padat karya, atau proyek yang tidak bisa dilakukan oleh penyedia jasa profesional.
Namun, pada kasus ini, tidak ada penjelasan rasional atau urgensi luar biasa yang membenarkan penggunaan metode tersebut.
“Kalau swakelola itu harus ada alasan kuat dan mendesak. Tapi ini kan bukan urusan darurat, melainkan proyek rehab rumah dinas. Dan anggarannya sampai Rp8,8 miliar, itu wajib tender,” harapnya.
Ia juga memperingatkan bahwa jika pola ini terus dibiarkan, akan menjadi preseden buruk bagi organisasi perangkat daerah (OPD) lain di Pemprov Malut.
“Kalau sudah bikin contoh begitu, yang lain juga nanti ikut. Ini bukan soal suka atau tidak, ini soal aturan. Tabrak aturan itu tidak bisa dibiarkan,” tegas Ikbal.
Langkah Pemprov Malut yang memutuskan pengerjaan proyek-proyek besar melalui swakelola, bukan hanya menyalahi prosedur pengadaan, tetapi juga mematikan peluang usaha bagi penyedia jasa lokal. Mereka yang sudah menyiapkan diri untuk mengikuti tender kini hanya bisa menunggu tanpa kepastian.
Dalam diamnya PUPR dan minimnya penjelasan dari pemerintah provinsi, pertanyaan-pertanyaan besar masih menggantung:
- Apakah skema swakelola ini didasarkan pada kajian legal yang sah?
- Siapa yang benar-benar mengerjakan proyek di lapangan jika tidak ada penyedia jasa melalui lelang?
- Apakah ada keterlibatan pihak ketiga secara tidak resmi dalam pelaksanaan proyek?
Meski papan proyek terpampang dengan jelas di lokasi, namun transparansi dalam penunjukan pelaksana proyek swakelola, rincian biaya, hingga mekanisme pengawasan, masih jauh dari terang. Ketika aturan pengadaan barang dan jasa diabaikan, publik berhak bertanya: kemana arah penggunaan anggaran publik sebenarnya?
DPRD Malut kini menjadi garda depan satu-satunya yang mendorong akuntabilitas di tengah lemahnya respon eksekutif. RDP yang akan digelar diharapkan menjadi titik terang atas praktik-praktik pengadaan yang dianggap menyimpang dari prosedur hukum dan logika tata kelola keuangan yang sehat.
Namun tanpa komitmen transparansi dari Dinas PUPR dan BPBJ, serta tanpa pengawasan melekat dari lembaga pengaudit, dugaan penyimpangan ini berisiko menjadi praktik yang sistematis dan berulang.
Praktik pengadaan yang menghindari tender dalam proyek berskala besar bukan hanya persoalan administratif, tapi persoalan integritas dan tata kelola pemerintahan yang bersih. Proyek bernilai belasan miliaran rupiah tanpa proses tender adalah alarm bahaya bagi demokrasi anggaran. (Jainal Adaran)
Topik:
Pemprov Malut Dinas PUPR Malut DPRD Malut