Pemprov Malut Diduga 'Sarang' Suap, Gubernur Sherly Tjoanda Malas Bertindak!

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 21 Mei 2025 23:53 WIB
Gubernur Maluku Utara Sherly Tjoanda. (Foto: Dok MI/Istimewa)
Gubernur Maluku Utara Sherly Tjoanda. (Foto: Dok MI/Istimewa)

Sofifi, MI – Keputusan Gubernur Maluku Utara (Malut), Sherly Tjoanda, yang dengan sigap memberhentikan sementara Kepala Dinas Perhubungan Salmin Janidi karena laporan pribadi sang istri, mengundang kritik tajam dari berbagai kalangan. 

Langkah cepat yang diambil dalam kasus pribadi justru dinilai sangat kontras dengan sikap pasif dan cenderung abai terhadap sejumlah pejabat lain di lingkup Pemprov Malut yang namanya terseret dalam pusaran dugaan suap bernilai besar.

Pemberhentian Salmin Janidi dilakukan usai sang istri melaporkan dugaan pernikahan tanpa izin ke Badan Kepegawaian Daerah. Meskipun laporan tersebut belum diuji kebenarannya secara mendalam, Gubernur Sherly langsung mengambil tindakan administratif berupa pemberhentian sementara. 

Tindakan ini menuai pujian dari sebagian pihak karena menunjukkan respons cepat terhadap pelanggaran etik. Namun, bagi banyak pengamat dan praktisi hukum, keputusan ini justru membuka borok lain dalam tubuh pemerintahan, yakni ketidakadilan dalam penegakan disiplin aparatur negara.

Fadli S. Tuanany, praktisi hukum yang selama ini aktif mengawal isu-isu pemerintahan bersih, kepada Monitorindonesia.com, Selasa (20/5), menilai keputusan Gubernur tidak proporsional. 

Ia menegaskan bahwa pejabat-pejabat yang terseret dalam dugaan kasus suap juga semestinya dinonaktifkan dari jabatannya demi menjaga marwah birokrasi yang bersih dan akuntabel.

“Ini soal etika dan integritas birokrasi. Jika Gubernur bisa menonaktifkan Salmin hanya karena laporan pribadi, maka seharusnya pejabat yang namanya disebut dalam pusaran dugaan suap jauh lebih pantas untuk dicopot sementara. Kita berbicara soal komitmen menjalankan Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN,” tegas Fadli.

Nada lebih keras datang dari Halmahera Corruption Watch (HCW). Sekretaris organisasi tersebut, Sadam Dj. Saban, menyebut tindakan Gubernur sangat lemah dalam menghadapi isu suap yang kian terang-benderang di lingkungan Pemprov Malut. 

Ia mempertanyakan kredibilitas Gubernur yang kerap bicara soal pemerintahan bersih, namun tidak berani menyentuh lingkaran dalamnya sendiri.

“Ada pejabat-pejabat yang ruangannya hanya dipisahkan sekat dari ruang Gubernur, namun tak kunjung tersentuh sanksi administratif, meski namanya muncul dalam pengusutan kasus suap. Apakah Gubernur harus menunggu laporan pribadi lagi baru bisa bertindak? Komitmen terhadap pemerintahan bersih dipertanyakan,” kata Sadam.

Menurutnya, tindakan Gubernur yang hanya bereaksi ketika ada tekanan publik atau laporan resmi adalah bukti lemahnya pemahaman terhadap prinsip good governance dan akuntabilitas publik. “Seharusnya, pemimpin bertindak proaktif, bukan reaktif,” tegasnya.

Di sisi lain, akademisi hukum dari Universitas Khairun, Faisal Malik, memberikan perspektif berbeda. Menurutnya, kehadiran sejumlah pejabat Pemprov Malut sebagai saksi dalam pemeriksaan KPK tidak serta-merta membuktikan keterlibatan mereka dalam tindak pidana. Ia mengingatkan pentingnya memisahkan antara status saksi dan tersangka dalam proses hukum.

“Tidak bisa kita menyimpulkan mereka melanggar hukum hanya karena dipanggil sebagai saksi. Justru kehadiran mereka sebagai saksi adalah bentuk kepatuhan terhadap hukum dan proses penegakan keadilan,” ujar Faisal.

Namun ia tidak menampik bahwa jika ada pejabat yang dengan sengaja mangkir dari panggilan sebagai saksi, maka hal itu bisa dikategorikan sebagai obstruction of justice atau upaya menghalangi penyidikan, yang merupakan tindak pidana.

Faisal juga menyebut bahwa langkah Gubernur dalam kasus Salmin Janidi sebenarnya sah secara administratif.  Menurutnya, kepala daerah berwenang mengambil keputusan untuk menonaktifkan pejabatnya berdasarkan pertimbangan tertentu, termasuk menjaga stabilitas dan etika birokrasi.

“Dalam konteks Salmin Janidi, jika laporan istrinya telah masuk ke ranah kepolisian, maka tindakan administratif oleh Gubernur adalah bagian dari mekanisme kewenangan yang dimiliki kepala daerah. Tidak perlu menunggu status bersalah atau tidak bersalah,” jelas Faisal.

Polemik ini menyentuh titik sensitif soal keadilan dalam birokrasi. Ketika laporan pribadi ditindak dengan cepat, sementara dugaan keterlibatan dalam skandal keuangan negara justru disikapi dengan diam. Publik bertanya, apakah integritas itu hanya soal moralitas rumah tangga, bukan soal tanggung jawab terhadap keuangan negara?

Sampai saat ini, sejumlah nama pejabat eselon dua di lingkup Pemprov Malut sudah pernah dipanggil KPK untuk dimintai keterangan sebagai saksi dalam perkara yang melibatkan mantan Gubernur Abdul Gani Kasuba. Namun, tidak ada satupun dari mereka yang dinonaktifkan atau dikenai sanksi etik oleh Gubernur Sherly Tjoanda.

Kisruh ini menjadi cerminan betapa rapuhnya prinsip keadilan dalam birokrasi jika tindakan pemimpin tidak konsisten. 

Gubernur Sherly Tjoanda kini berada dalam sorotan tajam, apakah akan tetap membiarkan ketimpangan ini berlangsung, atau akan menunjukkan komitmen nyata terhadap tata kelola pemerintahan yang adil, bersih, dan bebas dari KKN.

Publik menanti. Karena membangun pemerintahan yang bersih bukan hanya tentang mencopot satu dua pejabat, melainkan soal keberanian menegakkan keadilan secara menyeluruh, tanpa pandang bulu. (Jainal Adaran)

Topik:

Maluku Utara Gubernur Maluku Utara Malut Pemprov Malut Sherly Tjoanda