Menjaga Pasal 21 UU Tipikor: Perisai Integritas Proses Hukum ”Bukan Pasal Karet”

Azmi Syahputra - Dosen Hukum Pidana Universitas Trisakti

DI TENGAH upaya pemerintah maupun harapan masyarakat untuk memberantas perbuatan korupsi, saat ini sedang berlangsung pengujian Pasal 21 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Mahkamah Konstitusi, perkara Nomor 136/PUU-XXIII/2025.
Saya menghargai dan memberikan apresiasi atas langkah konstitusional yang ditempuh oleh para pihak yang mengajukan pengujian ini sebagai bagian dari ikhtiar mencari keadilan.
Namun bagi saya, Pasal 21 tidak boleh dipahami secara sempit atau dianggap sebagai pasal karet.
Ia justru harus dimaknai sebagai perisai integritas bagi proses hukum dalam pemberantasan korupsi sebuah benteng moral yang melindungi kejujuran aparat dan kemurnian proses keadilan dari pengaruh kekuasaan dan uang.
Pasal 21 hadir untuk mengisi kekosongan hukum yang tidak dijangkau oleh KUHP maupun KUHAP.
Norma ini berfungsi melindungi proses keadilan itu sendiri, bukan sekadar menjerat pelaku korupsi.
Tanpa pasal ini, tahapan hukum mulai dari pintu masuknya perkara di fase penyelidikan, pengumpulan alat bukti, penyidikan, hingga penuntutan dan persidangan menjadi rentan terhadap distorsi dan manipulasi.
Bukti dapat dihilangkan, saksi dapat ditekan, dan arah penyidikan dapat dikendalikan oleh kekuatan uang atau kelompok kekuasaan struktural.
Oleh karena itu, Pasal 21 bukan semata-mata norma tentang obstruction of justice, melainkan instrumen protection of the justice process, yaitu perlindungan terhadap kebenaran dan integritas penegakan hukum itu sendiri.
Karenanya, apabila ditelusuri sejak awal, pembentuk undang-undang secara sadar menempatkan tindak pidana korupsi sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime).
Sifat luar biasa ini menuntut adanya perangkat hukum yang juga luar biasa, baik dari segi norma maupun mekanisme penegakannya.
Korupsi bukan hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga merupakan mesin perusak sistemik yang melemahkan fondasi perekonomian dan memperlambat kesejahteraan masyarakat.
Oleh karena itu, keberadaan serta fungsi Pasal 21 UU Tipikor harus dipahami sebagai bentuk perlindungan terhadap hak masyarakat untuk mendapatkan penegakan hukum yang bersih.
Serta sebagai perisai integritas bagi aparat penegak hukum dan sistem peradilan agar tidak dilemahkan oleh intervensi, tekanan politik, atau kekuatan ekonomi yang berupaya menggagalkan proses keadilan.
Sebagaimana fakta yang telah berulang kali terjadi dalam berbagai kasus besar korupsi, yang sering menggagalkan penyidikan bukan semata pelaku utamanya.
Tetapi justru jejaring di sekelilingnya, adanya pihak-pihak yang memiliki kekuasaan, pengaruh ekonomi, atau kedekatan struktural dengan organ kekuasaan.
Mereka bisa berupa oknum pejabat, oknum praktisi hukum yang menyimpang dari etikanya, maupun kelompok kepentingan tertentu yang menggunakan kekuatan uang dan posisi untuk memanipulasi arah proses hukum.
Mereka bukan pelaku korupsi dalam arti mengambil uang negara secara langsung, namun menjadi simpul yang melindungi atau dapat dikatakan jadi bagian dari penghalang keadilan yang berupaya menggangu maupun melumpuhkan mata rantai penegakan hukum itu sendiri.
Sehingga bila norma ini dihapus atau dilemahkan, yang hilang bukan sekadar satu pasal, tetapi benteng moral dan pilar etik dalam sistem pemberantasan korupsi.
Proses hukum akan mudah diintervensi, saksi dapat ditekan, dan penyidik dapat diintimidasi. Itu bukan langkah maju, melainkan kemunduran dalam membangun integritas bangsa.
Pasal 21 harus dipahami bukan sebagai ancaman, melainkan sebagai penjaga kemurnian proses keadilan.
Ia memastikan kebenaran dapat menemukan jalannya dalam ruang hukum yang bersih.
Dan apabila muncul kekhawatiran akan penyalahgunaan, jawabannya bukan mencabut norma, melainkan memperkuat tata kelola penerapan yang proporsional, transparan, dan berbasis alat bukti yang sah
Pada akhirnya, Pasal 21 masih layak dipertahankan sebagai jantung semangat pemberantasan korupsi di Indonesia, agar tidak ada ruang bagi kegelapan merusak terang keadilan.
Tantangannya bukan mencabut pasal ini, tetapi memastikan penerapannya berjalan dengan ukuran hukum yang jelas, akuntabel, dan rasional.
Selama penegakan hukum berpihak pada kebenaran, Pasal 21 akan tetap relevan sebagai simbol keberanian dan penjaga kemurnian proses hukum.
Topik:
Azmi Syahputra UU Tipikor MK Korupsi KUHP KUHAP Pasal 21 UU Tipikor