Kursi Empuk Komisaris BUMN: Penghargaan Politik!

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 28 Juli 2024 3 jam yang lalu
Ilustrasi - Kursi empuk komisaris perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) (Foto: Dok MI/Aswan)
Ilustrasi - Kursi empuk komisaris perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) (Foto: Dok MI/Aswan)

Jakarta, MI - Kursi komisaris di perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tampak menjadi sarana untuk balas budi dari kepentingan politik pemegang kekuasaan. Ini dikhawatirkan bakal menjadi bumerang bagi perusahaan pelat merah ke depan.

Sekretaris Jenderal Transparansi Internasional Indonesia Danang Widoyoko mengungkapkan, pembagian kursi komisaris yang terjadi saat ini menunjukkan pemegang saham terbesar, dalam hal ini pemerintah, lebih condong mempertimbangkan kepentingan politik, ketimbang kinerja dan fungsi BUMN yang sebenarnya.

"Ini memang pertimbangannya lebih kepada bagi-bagi jabatan, penghargaan politik, mungkin karena kerja kerasnya membantu selama (tahun) politik, atau katakanlah memberi imbalan kepada pendukung. Ini tidak dicek lagi latar belakang, soal kapasitas, track record-nya apakah memang mempunyai keterampilan di bidang yang dibutuhkan BUMN," ujar Danang, Minggu (28/7/2024).

Danang menambahkan, penunjukan sosok untuk menduduki kursi komisaris di perusahaan milik negara itu sedianya telah berlangsung dalam sepuluh tahun terakhir. Banyak individu yang memiliki hubungan politik erat dengan pemegang kekuasaan.

Jika praktik tersebut terus berlangsung dan langgeng di pemerintahan baru, dikhawatirkan kinerja perusahaan BUMN bakal melempem. Danang risau fungsi perusahaan BUMN ke depan hanya akan menjadi alat transaksi politik, alih-alih melayani masyarakat.

"Ini kan tujuannya politik, memberikan reward kepada para pendukung, bukan mencetak keuntungan, atau katakanlah memberi pelayanan yang baik kepada masyarakat," jelasnya.

Menjadikan sosok terafiliasi politik dan demi melakukan balas budi politik telah menabrak aturan. Pengamat BUMN dari Datanesia Institute Herry Gunawan menilai Menteri BUMN telah melanggar ketentuan yang dibuat, yakni Peraturan Menteri BUMN Per-3/MBU/03/2023 tentang Organ dan Sumber Daya Manusia BUMN.

"Tampaknya ada pengulangan kebijakan yang marak menjadi sorotan dalam 5-10 tahun terakhir dalam pengangkatan komisaris. Cenderung mengabaikan soal etis, bahkan cenderung nyerempet pelanggaran terhadap peraturan," katanya.

Setidaknya, beberapa waktu terakhir ini pemerintah membongkar pasang jabatan komisaris di sejumlah BUMN. Nama-nama yang kini dipasang menduduki kursi pengawas perusahaan pelat merah itu diketahui terafiliasi, atau bahkan merupakan pengurus partai politik.

Burhanuddin Abdullah merupakan Ketua Dewan Pakar Gerindra, diangkat menjadi Komisaris Utama PLN. Lalu Andi Arief diangkat jadi Komisaris PLN saat menjabat sebagai Ketua Badan Pemenangan Pemilu Partai Demokrat.

Kemudian Fauzi Baadila, merupakan Wakil Sekjen Gerindra dan diangkat sebagai Komisaris PT Pos Indonesia. Selain itu tiga anggota Dewan Pembina Gerindra turut diangkat sebagai komisaris seperti Fuad Bawazier di MIND ID, Simon Aloysius Mantiri di Pertamina, dan Felicitas Tallulembang di BSI.

Diketahui, Burhanuddin Abdullah merupakan eks terpidana korupsi. Herry menilai itu kian menegaskan bahwa pemerintah kerap mengabaikan etika dalam berbagai aspek.

"Burhanuddin itu mantan terpidana korupsi. Ini soal etika atau kepantasan. Pernah terbukti merugikan negara, tapi kini mengelola aset negara. Karena itu, memang pengangkatan para politisi ini sepantasnya disebut sebagai balas budi, bahkan bagi-bagi jatah. Jadi mirip bansos. Dan korbannya adalah BUMN, kekayaan negara yang dipisahkan," jelasnya.

Karenanya, dia skeptis terhadap kinerja BUMN ke depan. Sebab, begitu tingginya konflik kepentingan politik di perusahaan pelat merah. Kondisi itu membuka potensi penambahan beban yang tak biasa bagi perusahaan BUMN yang pengawasnya terafiliasi partai politik.

"Seharusnya pemerintahan ke depan menyudahi praktik merekrut Komisaris BUMN dengan cara yang tidak etis. Apalagi tidak pantas. BUMN itu kan aset negara. Kekayaan negara yang dipisahkan. Sepatutnya dijaga bersama-sama," tutur Herry.

"Jangan sampai gara-gara pengangkatan komisaris yang kurang pantas ini menurunkan reputasi Prabowo. Apalagi jika pengangkatan komisaris dari partai politik tersebut merupakan inisiatif atau tawaran dari menteri yang saat ini menjabat, misalnya dengan tujuan cari muka". 

"Padahal tanpa disadari, reputasi Prabowo dan Gerindra pelan-pelan membusuk," imbuhnya.