'Maling Kelas Paus' Kebal Hukum 11 Tahun

Darmawan Sepriyossa

Darmawan Sepriyossa

Diperbarui 24 Juli 2024 00:58 WIB
Alex Denni (Foto: Kolase MI)
Alex Denni (Foto: Kolase MI)

BOLEH saja James "Whitey" Bulger ditulis sejarah sebagai kriminal yang mampu lari dan bersembunyi dari aparat hukum Amerika Serikat selama 16 tahun. 

Tapi sejatinya ia bukan apa-apa dibandingkan Alex Denni. 'Maling kelas paus' itu bisa kebal dari hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia 11 tahun lamanya, tanpa harus main petak umpet dengan aparat, atau berpuasa dari medsos.

Warga dan aparat negeri kita memang sudah lama dikenal “aheng” alias mampu melakukan hal-hal di luar nalar. Jika Bulger harus hidup menyamar, menggunakan identitas palsu dan menjalani kehidupan rendahan agar tak mencolok, di Indonesia Alex Denni tak harus begitu. Alex bahkan bisa menempati sekian banyak jabatan strategis di Kementerian BUMN. 

Misalnya, ia sempat menjadi deputi Sumber Daya Manusia di Kementerian PANRB (2021-2023); komisaris PT Dana Tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri (2022), deputi Sumber Daya Manusia,Teknologi, dan Informasi BUMN (2020-2021), direktur Sumber Daya Manusia (SDM) dan Tranformasi (Human Capital & Transformation) PT Jasa Marga (2018-2020); chief Human Capital Officer PT Bank Negara Indonesia (BNI) (2016-2018); senior vice president Human Capital Strategy and Policy Group PT Bank Mandiri (2013), dan beberapa lainnya yang kian membuat kita malu sebagai bangsa. 

Yang bikin kening publik kian berkerut heran, selama ini Alex Denni tak tampak berusaha menyembunyikan diri. Paling tidak, Alex tetap mengisi akun yang ia miliki di Linkedin. 

Ia juga tergolong rajin melaporkan harta kekayaannya sebagai pejabat negara, setiap tahun. Pada 2022 lalu, Alex melaporkan total kekayaan sebesar Rp 25 miliar. 

Lalu, dihubungkan dengan sekian banyak jabatan di pemerintahan yang pernah ia emban, apa saja kerja lembaga-lembaga yang terkait proses seleksi ketat dan penelusuran rekam jejak sebelum seseorang bisa memangku satu jabatan publik? 

Paling tidak, Peraturan Presiden Nomor 177 Tahun 2014 Tentang Tim Penilai Akhir, Pengangkatan, Pemindahan, dan Pemberhentian Dalam dan Dari Jabatan Pimpinan Tinggi Utama dan Pimpinan Tinggi Madya, menegaskan pelibatan Sekretaris Kabinet, Tim Penilai Akhir, dan Badan Intelijen Negara dalam mencari dan menilai rekam jejak seseorang. 

Ke”woles”an Alex memang bisa jadi terputus setelah ia dicokok aparat Kejaksaan Negeri Bandung pada Jumat (19/7) lalu. Ia akan menjalani penjara paling lama satu tahun, sesuai vonis atas kasus korupsinya yang telah inkracht sejak 26 Juni 2013. 

Jauh bumi dengan langit dibanding vonis yang harus dijalani Bulger sebagai hukuman kejahatannya: dua kali penjara seumur hidup, plus lima tahun! 

Mengapa baru Alex baru diambil petugas 11 tahun kemudian, setelah terpidana begitu “santuy” berkarier di sekian banyak BUMN? “Faktanya kami baru menerima (salinan putusan kasasi) April dan langsung kami tindak lanjuti dengan pemanggilan dan pencarian, sampai akhirnya diterbitkan Surat Pencekalan. Hasil akhirnya adalah penangkapan beliau  di Bandara Soekarno Hatta Jakarta," kata Kepala Seksi Intelijen Kejari Kota Bandung, Wawan Setiawan. Lihat, Wawan bahkan masih menyebut maling itu dengan kata penghormatan “beliau”. 

Terlalu banyak drama 
Lambannya Tim Tabur (Tangkap Buronan) Kejaksaan itu tentu menjadi hal yang mengherankan. Pasalnya, Tim tersebut selama ini dikenal paling senang berkabar kepada pers bila ada buronan yang berhasil ditangkap. 

Bahkan, tak jarang bukan buron sekali pun disebut sebagai buron. Entah apa alasannya. Misalnya kasus yang menimpa dua terpidana kasus “Obor Rakyat”, pada 2018 lalu. 

Saat itu seluruh pemberitaan menyebutkan bahwa Tim Intelijen Kejaksaan Agung bekerja sama dengan Tim Kejaksaan Negeri (Kejari) Jakarta Pusat menangkap kedua terpidana kasus “Obor Rakyat”, Setyardi Budiono dan Darmawan Sepriyossa, sebagai buron pada Selasa, 8 Mei 2018. 

Disebutkan, Setyardi diamankan di daerah Gambir, Jakarta Pusat, sementara Darmawan diamankan di daerah Tebet Timur, Jakarta Selatan. Kesamaan pemberitaan itu wajar menimbulkan kesan bahwa memang sumber berita itu adalah Tim Kejaksaan. 

Alhasil, berita yang menyudutkan kedua terpidana itu dibantah, baik oleh Setiyardi maupun Darmawan. "Sejak awal proses hukum Tabloid Obor Rakyat di Mabes Polri, Kejaksaan, dan sidang di PN Jakpus, suami saya tak ditahan. 

Suami saya sangat kooperatif, bahkan tak pernah sekalipun terlambat datang," tulis Wieny Soraya, istri Setiyardi, dalam pernyataan pers yang ia sebar ke berbagai media.

Menurut Wieny, saat Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, menjatuhkan vonis, jaksa penuntut tak menahan suaminya. 

Saat itu, baik Setiyardi maupun Darmawan mengajukan banding, hingga kasasi. Waktu putusan kasasi keluar, Setiyardi tidak memonitornya. Kejaksaan juga tak memberitahukan isi putusan. 

"Tak pernah ada telepon atau surat 'panggilan eksekusi' dari kejaksaan,"kata Wieny. Kebetulan lagi, rumah Setiyardi di kawasan Jakarta Timur persis bersebelahan dengan kediaman Jaksa Agung Muda bidang Intelijen (saat itu), Adi Toegarisman. 

Menurut Wieny, mereka bertetangga baik dengan Jamintel. Bahkan, hampir setiap hari, setiap akan ke masjid, suaminya sering bertegur sapa dengan para petugas jaga kediaman Jamintel. 

"Jelas suami saya tak buron, tetap di rumah bersama kami. Ini klarifikasi, demi Allah, klarifikasi ini benar adanya," tulis Wieny. 

Sementara Darmawan, yang ditangkap di sebuah kafe di Tebet, memang datang untuk menemui Erwin Indraputra, jaksa penuntut dalam kasus itu. 

“Saya datang membawa beberapa buku komunikasi dan hukum, yang akan dipinjam Jaksa Erwin,” kata Darmawan, saat berbicara dengan wartawan Radio Trijaya yang saat itu mem-bezoek-nya di Lapas Cipinang. 

Buku-buku itu, menurut Darmawan, diminta Erwin untuk dipinjam seiring pembuatan tesis masternya. “Kami berdua saling mengenal baik, seiring persidangan,” kata Darmawan. 

Buku-buku itu sendiri diserahkan Darmawan kepada Tim Kejaksaan yang menangkapnya untuk dipinjamkan kepada Erwin. “Karena memang itu maksud kedatangan saya ke kafe tersebut. Saya tak tahu kasus saya waktu itu sudah  inkracht,”kata Darmawan. Menurut Darmawan, ia sudah merelakan buku-buku tersebut".

“Yang masih jadi hak saya untuk ditanyakan, mungkin di Pengadilan Tuhan, adalah mengapa harus bikin sekian banyak kebohongan kalau hanya untuk meminta saya masuk Lapas? Toh kan sudah jelas putusannya berkuatan hukum tetap. Tinggal minta saja.”

Penafian: Monitorindonesia.com tidak bertanggung-jawab atas kiriman artikel langsung dari pembaca dalam rubrikasi forum atau opini.