Kerusakan Alam dan Pemiskinan, Tanggung Jawab Siapa?

Yoyon Suryono - Profesor Emeritus Universitas YPIB Majalengka

Yoyon Suryono - Profesor Emeritus Universitas YPIB Majalengka

Diperbarui 25 Juli 2024 00:47 WIB
Yoyon Suryono, Profesor Emeritus Universitas YPIB Majalengka (Foto: Istimewa)
Yoyon Suryono, Profesor Emeritus Universitas YPIB Majalengka (Foto: Istimewa)

PEMBANGUNAN ekonomi yang menekankan pada pertumbuhan (growth), menyisakan kerusakan lingkungan alam karena eksploitasi kekayaan alam secara besar-besaran berbau rakus dan sering tidak terkendali. Akibatnya lingkungan alam jadi rusak disertai kandungan kekayaan alam berkurang, menipis, dan suatu saat habis, tidak bisa didaur ulang.

Muncul perspektif baru yang disebut pembangunan berkelanjutan, suatu teori yang diniatkan untuk mengurangi resiko rusaknya lingkungan alam sehingga pembangunan akan berjalan berkelanjutan, alam lestari, dan muncul ekonomi hijau yang ramah lingkungan.

Namun, ikhtiar perubahan paradigma pembangunan ini belum terlihat ada hasilnya sejak sepuluh tahun lalu sampai kini di tahun 2024.

Akankan terjadi perbaikan dalam ikhtiar pembangunan berkelanjutan? Di level teori diyakini ya. Namun di level praktek secara kasat mata tidak terjadi. Kerusakan lingkungan terus terjadi dan malah bertambah parah terutama di sektor pertambangan dan industri.

Pembangunan ekonomi masih tetap model pertumbuhan yang diidolakan meski nyata-nyata menimbulkan kesenjangan antara kelompok penikmat dan kelompok korban.

Kesenjang pendapatan, ekonomi, sosial, politik, pendidikan, kesehatan, kebutuhan dasar, sampai gaya hidup, dan bahkan passion, hedonisme.

Kelompok para penikmat bergelimang harta lebih dari cukup untuk tujuh turunan. Kelompok korban bergelimang penderitaan berselimut kelaparan dan kemiskinan yang bisa jadi turun temurun juga yang selalu dininabobokan dengan diksi “sabar”.

Penikmat itu para pengusaha kaya, elit politik pelupa konstituen, pejabat “keblinger” dan para koruptor. Para korban adalah penerima bansos, penerima bantuan langsung tunai, dan kelompok hidup susah tidak punya akses ke sumber-sumber produksi dan finansial. Plus akar rumput yang kerap tergusur; itu semua bisa jadi sasaran pemiskinan dan pembodohan.

Kerusakan alam makin menjadi bertambah. Kebijakan pembangunan yang tidak sejalan dengan tema baru pembangunan (ekonomi) berkelanjutan menjadi pangkal segala masalah. Alih-alih menyejahterakan masyarakat, kebijakan investasi terbuka dengan mengundang para investor luar malah kontra produktif. Liberalisasi ekonomi menjadi panglima.

Beberapa program penting dipertanyakan kemanfaatannya untuk meningkatkan kesejahteraan kelompok korban. Malah sebaliknya.Tidak heran kalau kesenjangan dalam banyak hal semakin lebar.

Kerusakan alam
Daftar kerusakan alam semakin panjang. Fenomena yang terlihat sebagai akibatnya berupa antara lain hutan gundul, banjir bandang, tanah longsor, air bersih makin langka, daya rusak air kotor semakin luar biasa, sampah dan limbah menggunung, lahan produktif berkurang, lahan kritis bertambah, cadangan minyak menipis, pertambangan merajalela: tidak sekedar emas tapi juga timah, bauksit, batu bara, nikel dan bahkan batu kapur serta bebatuan yang tergolong galian golongan C dan pasir hasil sedimentasi laut.

Konsekuensi kerusakan alam itu ditengarai oleh pemanasan global, anomali cuaca, perubahan iklim, dan hal lain yang mempengaruhi siklus alam yang berubah. Dalam konteks ini perlunya pertanian hijau, ramah lingkungan, sampai ke pentingnya ketahan pangan yang merupakan ancaman di masa depan.

Tanggung jawab siapa
Para regulator, pembuat kebijakan, pelaksana, pengusaha, juga masyarakat di tiap level harus bertanggung jawab atas perkara di atas itu. Jangan mewariskan alam yang rusak kepada anak cucu. Hindari aji mumpung. Jangan serakah apalagi egois.

Tentu hal itu tidak mudah. Ekosistem mesti berpengaruh. Dan membangun ekosistem pembangunan yang mencerdaskan bangsa dan menyejahterakan masyarakat yang berkeadilan perlu pemangku kepentingan yang kompak, berkomitmen, tidak saling sandera dan menjatuhkan pada tiga ranah utama: politik, ekonomi, dan penegakkan hukum yang tidak koruptif. 

Opini Terkait